LEMPUING, NUSALY.com – Umpatan kasar dan ancaman sebatang besi menjadi awal mula tragedi berdarah yang menggemparkan Lempuing, Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan. Di sebuah warung manisan sederhana milik Irawan di Dusun V Desa Tugumulyo, nyawa SH (17), seorang pelajar SMA, melayang di tangan teman sebayanya sendiri, IE (13), yang masih duduk di bangku kelas II SMP. Peristiwa tragis pada Senin sore, 23 Desember 2024, ini bukan sekadar perkelahian remaja biasa. Di baliknya, terkuak ironi pahit tentang pergaulan anak-anak di bawah umur, mudahnya akses terhadap senjata tajam, dan lemahnya sistem pengawasan yang berujung pada hilangnya sebuah nyawa.
Kurang dari 24 jam setelah kejadian, tim Opsnal Unit Reskrim Polsek Lempuing berhasil meringkus IE di kediamannya. Dalam pemeriksaan intensif di Satreskrim Polres OKI, terungkaplah motif di balik aksi nekat IE. “Pelaku tersinggung saat korban mengeluarkan kata-kata kasar terhadapnya dan sempat akan memukulnya menggunakan besi,” ungkap Kasatreskrim Polres OKI, Iptu Rio Trisno, seperti dikutip dari SUMATERA EKSPRES, Selasa, 24 Desember 2024.
Pengakuan IE menguak detail kejadian yang memilukan itu. Menurut Iptu Rio, IE yang merasa terdesak dan terhina, lantas mengambil sebilah pisau yang, menurut pengakuannya, sudah disimpan di sebelah warung tempat mereka biasa berkumpul. Tanpa berpikir panjang, IE menghunuskan pisau tersebut ke dada sebelah kanan SH. Satu tusukan fatal, menembus paru-paru, merenggut nyawa SH seketika.
“Pelaku dan korban ini sering nongkrong di warung itu. Banyak anak-anak lain juga yang mabar (main bareng game online) atau sekadar kumpul-kumpul di sana,” tambah Iptu Rio, menggambarkan suasana pergaulan remaja di sekitar lokasi kejadian. Ironisnya, tempat yang seharusnya menjadi ruang sosialisasi dan rekreasi bagi anak-anak muda, justru menjadi saksi bisu sebuah tragedi yang merenggut masa depan.
Pisau Disimpan di Warung: Perencanaan atau Kebiasaan?
Pertanyaan besar yang menggelayuti benak publik adalah, mengapa IE, yang masih berusia 13 tahun, bisa dengan mudah mengakses pisau? Pengakuan IE bahwa pisau tersebut sudah disimpan di sebelah warung, memunculkan dua kemungkinan: perencanaan atau kebiasaan membawa senjata tajam.
“Kami masih mendalami apakah pelaku memang sengaja menyimpan pisau itu untuk berjaga-jaga atau ada motif lain,” ujar Iptu Rio. Hingga berita ini diturunkan, pisau yang digunakan IE untuk menusuk korban masih dalam pencarian. “Kami masih menyisir lokasi kejadian dan meminta keterangan dari saksi-saksi yang mungkin melihat pelaku membuang pisau tersebut,” tambahnya.
Keberadaan pisau yang “disimpan” di tempat umum ini mengindikasikan lemahnya pengawasan terhadap peredaran senjata tajam di kalangan remaja. Apakah ini merupakan fenomena yang lazim di Lempuing? Apakah anak-anak di sana terbiasa membawa senjata tajam untuk “berjaga-jaga”? Pertanyaan-pertanyaan ini perlu dijawab tuntas untuk mencegah kejadian serupa terulang kembali.
Anak Berhadapan dengan Hukum: Antara Keadilan dan Perlindungan
Status IE sebagai Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) menghadirkan dilema tersendiri dalam penegakan keadilan. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) memberikan perlindungan khusus bagi anak yang terlibat tindak pidana. Meskipun IE dijerat dengan Pasal 32 ayat 1 KUHP dengan ancaman hukuman 7 tahun penjara, ia tidak dapat ditahan sebagaimana pelaku dewasa.
“Berdasarkan UU SPPA, anak yang berumur di bawah 14 tahun dan diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman 7 tahun atau lebih, dapat dititipkan di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS),” jelas Iptu Rio. Proses penyidikan terhadap IE tetap dapat dilakukan, namun dengan pendekatan yang berbeda dan mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak.
Keputusan ini, meski sesuai dengan undang-undang, tetap menyisakan tanya di benak publik. Apakah penitipan di LPKS cukup memberikan efek jera? Bagaimana dengan rasa keadilan bagi keluarga korban? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi PR besar bagi penegak hukum dan pemerintah untuk mencari solusi terbaik yang menyeimbangkan antara keadilan dan perlindungan anak.
Warung Manisan, Mabar, dan Potret Suram Pergaulan Remaja
Terungkapnya fakta bahwa IE dan SH kerap nongkrong bersama di warung manisan milik Irawan, tempat kejadian perkara, membuka kotak pandora tentang potret suram pergaulan remaja di Lempuing. Warung yang seharusnya menjadi tempat bersosialisasi yang positif, justru menjadi lokasi di mana senjata tajam disimpan dan perkelahian berujung maut terjadi.
“Anak-anak di sini memang sering kumpul di warung itu. Main game, ngobrol, kadang sampai larut malam,” ungkap salah seorang warga sekitar yang enggan disebutkan namanya. Pengakuan ini mengindikasikan minimnya pengawasan orang tua dan lingkungan terhadap aktivitas remaja di luar rumah.
Keberadaan game online yang kerap dimainkan bersama (mabar) di warung tersebut juga memunculkan pertanyaan. Apakah game yang dimainkan mengandung unsur kekerasan yang dapat memicu perilaku agresif? Meskipun belum ada bukti kuat yang menghubungkan game online dengan kekerasan, pengaruh lingkungan dan pergaulan di dunia maya tetap perlu diwaspadai.
Duka Keluarga Korban dan Luka yang Menganga
Di tengah peliknya kasus ini, duka mendalam tentu masih menyelimuti keluarga SH. Kepergian SH yang mendadak dan tragis meninggalkan luka yang menganga. Kesedihan dan trauma yang mendalam masih jelas terasa.
Kematian SH bukan hanya kehilangan bagi keluarga, tetapi juga bagi teman-teman dan masa depannya yang terenggut paksa. Kasus ini menjadi tamparan keras bagi semua pihak untuk lebih peduli terhadap tumbuh kembang dan pergaulan anak-anak.
Menyusuri Akar Masalah: Dari Keluarga, Sekolah, Hingga Lingkungan
Tragedi penusukan yang menewaskan SH bukanlah kasus kriminal biasa. Ini adalah puncak gunung es dari permasalahan yang lebih kompleks, yang berakar dari lemahnya pengawasan orang tua, rapuhnya sistem pendidikan karakter di sekolah, dan permisifnya lingkungan terhadap kekerasan.
“Kita tidak bisa hanya menyalahkan anak. Orang tua, sekolah, dan lingkungan juga punya peran penting dalam membentuk karakter anak,” ujar Dr. Asep Sunandar, S.Psi., M.Psi., Psikolog Anak dan Remaja, saat dihubungi melalui sambungan telepon. Menurut Asep, kasus ini harus menjadi momentum untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pola pengasuhan anak, sistem pendidikan, dan pengawasan lingkungan.
“Orang tua harus lebih intens berkomunikasi dengan anak, memantau pergaulan mereka, dan memberikan pemahaman tentang nilai-nilai moral dan agama. Sekolah juga harus memperkuat pendidikan karakter dan budi pekerti. Dan yang tak kalah penting, lingkungan sekitar, termasuk tokoh masyarakat dan aparat desa, harus lebih peduli dan aktif dalam mengawasi aktivitas remaja,” tegasnya.
Menanti Langkah Konkret: Mencegah Tragedi Serupa Terulang
Kasus penusukan pelajar SMA di Lempuing ini menjadi alarm keras bagi semua pihak. Pemerintah daerah, aparat kepolisian, pihak sekolah, orang tua, dan masyarakat harus bersinergi untuk mencegah tragedi serupa terulang kembali. Langkah konkret seperti peningkatan patroli keamanan di lingkungan sekolah dan tempat-tempat keramaian, razia senjata tajam, serta pembinaan dan penyuluhan kepada remaja perlu dilakukan secara intensif dan berkelanjutan.
Selain itu, perlu ada upaya serius untuk memberantas peredaran minuman keras dan narkoba yang kerap menjadi pemicu tindak kekerasan di kalangan remaja. Pemerintah daerah juga perlu menyediakan ruang-ruang publik yang positif dan bermanfaat bagi remaja untuk menyalurkan energi dan kreativitas mereka.
Tragedi penusukan yang merenggut nyawa SH di Lempuing, OKI, dengan pelaku yang masih berusia 13 tahun dan duduk di bangku SMP, bukan sekadar kasus kriminal biasa. Peristiwa ini mengungkap sisi gelap pergaulan remaja, lemahnya pengawasan, dan mudahnya akses terhadap senjata tajam.
Terungkapnya motif penusukan yang dipicu oleh umpatan kasar dan ancaman pukulan menunjukkan betapa rentannya emosi remaja dan betapa pentingnya pendidikan karakter dan budi pekerti.
Kasus ini menjadi tamparan keras bagi orang tua, sekolah, dan masyarakat untuk lebih peduli dan berperan aktif dalam membina dan mengawasi anak-anak.
Keadilan bagi korban dan keluarganya harus ditegakkan, sementara hak-hak pelaku sebagai anak di bawah umur juga harus dilindungi.
Lebih dari itu, kasus ini harus menjadi momentum untuk melakukan perbaikan sistemik dalam pengawasan, pembinaan, dan perlindungan anak di Indonesia, agar tragedi serupa tak terulang di masa depan. Pekerjaan rumah besar ini menanti uluran tangan semua pihak, demi masa depan generasi penerus bangsa yang lebih baik. (dhi)
NUSALY Channel
Dapatkan kabar pilihan editor dan breaking news di Nusaly.com WhatsApp Channel. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.