Banner Pemprov Sumsel Pemutihan Pajak

Berita

Podcast Boleh Tampilkan Rokok, Kenapa Lembaga Penyiaran Tidak? Ketidakadilan UU Penyiaran di Era Digital Disoroti

×

Podcast Boleh Tampilkan Rokok, Kenapa Lembaga Penyiaran Tidak? Ketidakadilan UU Penyiaran di Era Digital Disoroti

Sebarkan artikel ini

GRADASI soroti jurang perbedaan regulasi antara media konvensional dan platform internet dalam FGD bersama KPI. Aturan lama dinilai tak relevan dengan kemajuan teknologi.

Podcast Boleh Tampilkan Rokok, Kenapa Lembaga Penyiaran Tidak? Ketidakadilan UU Penyiaran di Era Digital Disoroti
Arfi Bambani Amri, Ketua Tim Kedaulatan Digital Generasi Digital Indonesia (GRADASI), menjadi narasumber dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Senin (15/9/2025). Foto: Dok. Gradasi Jakarta

JAKARTA, NUSALY — Wacana revisi Undang-Undang Penyiaran kembali memanas seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi digital. Isu ketidakadilan regulasi menjadi sorotan utama dalam sebuah Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Senin (15/9/2025).

Dalam forum tersebut, Arfi Bambani Amri, Ketua Tim Kedaulatan Digital Generasi Digital Indonesia (GRADASI), menjadi narasumber kunci. Ia secara lugas menggarisbawahi adanya jurang perbedaan aturan antara lembaga penyiaran konvensional dan platform internet, yang menurutnya menciptakan “ketidakadilan” di mata hukum.

Ketidakselarasan Aturan di Era Digital

Menurut Arfi, Undang-Undang Penyiaran yang ada saat ini lahir dari semangat transisi demokrasi dan euforia kebebasan pers. Namun, ia menilai, regulasi tersebut belum sepenuhnya menyadari lompatan teknologi informasi yang begitu cepat.

“Ada ketidakadilan antara platform Internet dan Lembaga Penyiaran,” kata Arfi dalam paparannya. Ia mencontohkan, konten-konten yang beredar di internet, seperti podcast, dapat dengan bebas menampilkan adegan merokok, makan, atau minum. Hal ini sangat kontras dengan aturan ketat yang berlaku bagi lembaga penyiaran, yang melarang keras hal-hal serupa.

Selain itu, Arfi juga menyoroti konten-konten yang berbau seksual atau kekerasan. Platform internet cenderung memiliki toleransi yang lebih longgar, sementara lembaga penyiaran dibatasi oleh aturan yang sangat ketat untuk melindungi khalayak, terutama anak-anak.

Pengalaman Jurnalis dan Akademisi di Balik Pandangan Kritis

Pandangan Arfi Bambani Amri tidak datang tanpa dasar. Ia adalah sosok yang memiliki pengalaman panjang di dunia media dan kebijakan publik. Ia dikenal sebagai Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) periode 2014-2017, dan kini menjabat sebagai Staf Khusus Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) 2024-2029. Latar belakang akademisnya sebagai lulusan Master in Public Administration dari Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore, juga memberikan bobot analisis yang mendalam.

Baca juga  Pers untuk Planet Bumi: Menjaga Suara Kritis di Tengah Krisis Lingkungan

Dalam paparannya, Arfi menekankan bahwa revisi UU Penyiaran menjadi sebuah keharusan agar aturan main dapat sejalan dengan perkembangan teknologi digital, menciptakan ekosistem media yang lebih adil dan relevan.

GRADASI, sebagai organisasi yang bergerak untuk menciptakan ruang digital yang berdaulat, aman, dan bermanfaat bagi seluruh rakyat Indonesia, berkomitmen untuk terus mengawal isu-isu kedaulatan digital dan memberikan kontribusi nyata dalam perumusan kebijakan yang adil dan berpihak pada kepentingan publik. (awn)

NUSALY Channel

Dapatkan kabar pilihan editor dan breaking news di Nusaly.com WhatsApp Channel. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.