KAYUAGUNG, NUSALY – Setelah tiang-tiang beton di bibir Sungai Komering berdiri sebagai saksi bisu dari kegagalan yang tampak di mata, investigasi kami kini menelusuri jejak di balik layar. Sebuah pertanyaan besar mengemuka: Bagaimana proyek senilai Rp 8,4 miliar, yang digagas untuk menyelamatkan sungai, justru berakhir menjadi monumen pemborosan? Penelusuran kami menemukan bahwa kegagalan di lapangan adalah cerminan dari borok yang lebih dalam: sebuah proses pengadaan yang disinyalir telah diatur.
Dua Tender, Dua Pemenang, Satu Pola Janggal
Analisis tim investigasi terhadap data Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) mengungkap sebuah pola janggal yang merugikan keuangan negara. Proyek “Penahan Eceng Gondok Sungai Komering” dengan total nilai Rp 8,415 miliar tidak dilelang dalam satu paket, melainkan dipecah menjadi dua tahap. Tahap pertama, senilai Rp 4,95 miliar, digarap pada tahun 2021. Tahap kedua, senilai Rp 3,465 miliar, dilanjutkan pada tahun 2022.
Kejanggalan utama terungkap saat kami membedah catatan tender tersebut. Tender Tahap I, yang diikuti oleh 17 peserta, hanya memiliki satu penawar yang kemudian memenangkan lelang, yaitu BUMI KITA. Pola yang sama terulang di Tahap II. Dari dua peserta yang tercatat, hanya satu perusahaan yang mengajukan penawaran dan kemudian menjadi pemenang, yaitu CV. JAYA KONTRINDO MANDIRI. Pola ini menguatkan dugaan adanya pengaturan di balik proses lelang, yang membuat proyek raksasa ini terhindar dari persaingan yang sehat.
Janji Kosong di Atas Tumpukan Gulma
Seiring dengan dimulainya pengerjaan proyek, pemerintah Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) berulang kali memberikan janji optimis. Mereka mengklaim bahwa perawatan rutin akan dilakukan untuk memastikan keberlanjutan proyek, bahkan dengan menggunakan ekskavator amfibi, sebuah alat yang dirancang khusus untuk bekerja di lingkungan perairan. Janji ini menjadi harapan bagi warga yang muak dengan bau busuk dan tumpukan eceng gondok.

Namun, tim investigasi kami menemukan fakta yang kontradiktif. Di saat proyek penahan eceng gondok terbengkalai, ekskavator amfibi yang dijanjikan justru tidak pernah terlihat beroperasi di lokasi. Laporan dari warga mengonfirmasi bahwa alat berat tersebut terlihat beroperasi di bagian hilir sungai, jauh dari area yang seharusnya dibersihkan.
Kondisi ini bukan lagi sekadar kegagalan teknis. Ini adalah potret dari janji palsu dan kelalaian yang terstruktur, yang dimulai dari proses lelang yang dipertanyakan dan diakhiri dengan pembiaran.
Temuan ini hanya sebagian kecil dari kerugian yang ditimbulkan. Di Bagian III, kita akan mengungkap bagaimana kegagalan ini tidak hanya merugikan uang negara, tetapi juga menciptakan penderitaan tanpa akhir bagi warga. (dhi)
NUSALY Channel
Dapatkan kabar pilihan editor dan breaking news di Nusaly.com WhatsApp Channel. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.