Di Lempuing, Ogan Komering Ilir (OKI), produksi padi bukan sekadar hajat lokal; ia adalah urusan strategis negara dalam mewujudkan Energi Berkeadilan. Wilayah ini secara konsisten menjadi salah satu penopang utama lumbung pangan di Sumatera Selatan, yang menempatkan provinsi ini pada peringkat 5 produsen padi nasional. Di atas lahan subur ini, potensi telah terbukti luar biasa; petani di beberapa sentra OKI sudah mampu mencatatkan panen hingga tiga kali dalam setahun, sebuah prestasi yang melampaui rata-rata.
Namun, potensi itu terasa jauh bagi mayoritas petani. Mereka terperangkap pada siklus dua kali panen karena alasan yang kompleks, namun berpangkal pada satu hal: keterbatasan pasokan energi dan biaya operasional yang mencekik margin keuntungan.
Bagi Suparno (55 tahun), seorang petani di Lempuing, rutinitas pengolahan sawah adalah perang harian melawan inefisiensi yang sudah berakar puluhan tahun. Selama itu, mekanisasi pertanian hanya berarti mengganti tenaga kerbau dengan mesin diesel. Transformasi ini—yang seharusnya membawa kemajuan—justru memindahkan kerumitan fisik menjadi beban ekonomi yang tersembunyi.
Suparno harus merogoh kocek dalam-dalam untuk membeli BBM mesin pompa airnya, bahkan hanya demi menjaga dua kali panennya tetap stabil. Peningkatan indeks pertanaman (IP) menjadi tiga kali dalam setahun, yang didengungkan pemerintah, secara praktis menjadi mustahil diwujudkan olehnya dan petani lain di wilayah tersebut, karena risiko biaya operasional yang tak tertanggungkan.
Ironisnya, tantangan Suparno bukan hanya harga BBM yang tinggi, tetapi juga ketersediaan BBM bersubsidi. Ia dan petani lain kerap berhadapan dengan antrean panjang di SPBU dan keterbatasan kuota pembelian BBM bersubsidi, memaksa sebagian petani membeli dengan harga pasar gelap yang jauh lebih mahal.
Ketersediaan BBM bersubsidi seringkali tak sebanding dengan kebutuhan irigasi masif yang diperlukan saat musim tanam kedua dan ketiga. Seringkali, untuk menalangi kebutuhan mendesak ini, petani terpaksa meminjam uang dengan suku bunga informal yang tinggi dari tengkulak, menjadikan biaya irigasi diesel ini tidak hanya tinggi secara nominal, tetapi juga menciptakan jebakan utang baru.
Beban logistik harian juga tak terhindarkan. Setiap malam, Suparno harus mempertimbangkan risiko untuk mengangkut dan menyimpan mesin pompa airnya di rumah agar aman dari risiko pencurian, kemudian mengusungnya lagi saat subuh. Hal ini merupakan rutinitas yang telah dialami petani se-Sumatera Selatan dan Jawa selama berdekade.
Beban BBM, logistik, dan kekhawatiran harian ini telah menguras margin keuntungan secara dramatis, mengubah impian panen ketiga menjadi kemampuan yang mahal dan sangat tidak berkelanjutan secara finansial. Suparno tahu, untuk terus menopang beban ketahanan pangan nasional, efisiensi dan akses energi yang adil adalah kunci stabilitas jangka panjang.
Harapan untuk memangkas biaya dan menggapai panen ketiga datang dari inisiatif Listrik Masuk Sawah (LMS), sebuah program unggulan PT PLN (Persero) di sektor Electrifying Agriculture. Program ini didorong sebagai jawaban revolusioner atas kebuntuan mekanisasi pertanian berbasis fosil. Dukungan politik terhadap inisiatif ini sangat kuat.
Legislator RI Dewi Yustiana dan Wakil Bupati Supriyanto menegaskan visi krusial program ini di Lempuing, OKI, pada September 2025: “Dengan listrik yang tersedia, petani bisa meningkatkan produksi dari dua kali panen menjadi tiga kali setahun, sehingga pendapatan mereka meningkat.”
Visi ini bukan tentang janji kosong, melainkan tentang membuka akses Suparno agar dapat menyamai prestasi petani OKI lainnya, dengan cara yang murah, mudah, dan berkelanjutan.

Membongkar Logika Bisnis: Bukti Angka di Balik Efisiensi PLN
Kekuatan Listrik Masuk Sawah (LMS) terletak pada data keekonomian yang terbukti dan telah diuji coba di berbagai lumbung pangan nasional. Angka ini menjadi validasi terbaik untuk investasi PLN di sektor agrikultur, mengubah janji peningkatan kesejahteraan menjadi hitungan bisnis yang solid. Ini adalah transformasi yang membawa pertanian dari era konsumsi fosil ke era elektrifikasi.
Secara teoritis, efisiensi listrik sudah tak terbantahkan. Astu Unadi, TAM Bidang Mekanisasi dan Alsintan PLN, memaparkan perbandingan biaya per jam yang menjadi dasar logika LMS (Majalah Hortus Archipelago, 14 April 2024). Untuk Pompa Bensin (5 Horse Power), biaya bahan bakar dan operasional mencapai Rp 13.700 per jam.
Biaya ini belum termasuk biaya tambahan seperti penggantian oli berkala, perawatan mesin yang sensitif terhadap debu, dan depresiasi nilai aset yang sangat cepat akibat getaran dan panas mesin.
Suku cadang mesin diesel seringkali mahal dan sulit ditemukan di daerah terpencil. Sebaliknya, Pompa Listrik (dengan daya yang sama) setelah dikonversi menjadi daya listrik, biaya yang dibebankan hanya sekitar Rp 6.000 per jam (dengan tarif dasar Rp 1.600/kWh). Perbandingan ini menunjukkan perbedaan lebih dari dua kali lipat dalam biaya langsung.
LMS juga menawarkan kualitas irigasi yang jauh lebih superior. Pompa elektrik, terutama jenis submersible yang digunakan dalam sumur dangkal, mampu memberikan debit air yang lebih stabil dan berkelanjutan tanpa jeda pengisian bahan bakar. Kontinuitas air ini sangat vital, terutama saat periode kritis pertumbuhan padi, memastikan tanaman mendapatkan nutrisi optimal tanpa stres kekeringan.
Selain itu, penggunaan listrik memungkinkan petani mengadopsi sistem kendali otomatis atau timer untuk mengoperasikan pompa air dari jarak jauh tanpa perlu pengawasan manual 24 jam, membebaskan waktu Suparno dari rutinitas fisik dan menghilangkan risiko pencurian mesin.

Angka teoritis ini bahkan terlampaui di lapangan. Berdasarkan laporan dari Dinas Kominfo Provinsi Jatim (Mei 2024), petani yang beralih ke listrik di Nganjuk merasakan dampak luar biasa. Petani Sumartono di Nganjuk mengklaim penghematan mencapai 81%—untuk satu kali penyiraman, kebutuhan bahan bakar dieselnya mencapai Rp 27.000, sementara listrik PLN hanya membutuhkan Rp 5.000.
Lebih dari itu, Sumartono juga mengutarakan bahwa masalah keterbatasan kuota BBM 30 liter/hari dan antrean panjang sepenuhnya teratasi dengan listrik. LMS adalah subsidi energi cerdas yang sangat dibutuhkan Suparno, karena ia mengeliminasi mata rantai biaya dan kerumitan logistik sekaligus meningkatkan kualitas produksi.
Kisah Kontras: Cahaya PLN Mengubah Kehidupan di Muba
Pentingnya kontinuitas program PLN semakin nyata jika dibandingkan dengan keberhasilan yang sudah terwujudkan di sektor lain. Musi Banyuasin (Muba) menjadi bukti sukses model energi berkeadilan yang diwujudkan PLN melalui Program Bantuan Pasang Baru Listrik (BPBL) dari Kementerian ESDM.
Tepat saat azan Magrib berkumandang pada 16 Oktober 2025, di Desa Bandar Jaya, Musi Banyuasin, lampu bohlam berwarna putih cerah untuk pertama kalinya menerangi rumah buruh tani Ruslan (52 tahun). Ruslan tersenyum haru. Setelah kembali dari merantau dan hidup tanpa listrik selama hampir satu dekade, dirinya akhirnya mendapatkan sambungan listrik gratis. Selama penantian itu, ia harus berjuang dengan biaya genset yang mencapai Rp 25.000 hingga Rp 50.000 per malam, yang menguras margin keuangannya.
Kini, suara genset berganti dengan bunyi “klik” kecil sakelar. “Terima kasih saya ucapkan kepada pemerintah yang telah memberikan fasilitas pemasangan listrik gratis. Alhamdulillah, ini sangat menunjang sekali bagi saya,” ujar Ruslan, penuh syukur.
Listrik tidak hanya soal penerangan, tetapi fondasi masa depan. “Kalau malam, anak-anak belajar pakai lampu minyak. Kalau habis minyak, ya sudah, belajar seadanya. Sekarang mereka bisa belajar lebih lama dan makin nyaman. Mudah-mudahan semangat belajarnya makin tinggi,” katanya.
Harapan ekonomi pun kembali bersemi. Ruslan, yang istrinya adalah seorang penjahit, kini melihat peluang pendapatan baru: “Kalau ada listrik, saya bisa beli kulkas, nanti bisa berjualan es atau minuman dingin. Istri saya penjahit, saya yakin dan percaya ke depannya akan lebih banyak pemasukan dari menjahit baju.” Harapan sederhana akan kulkas, es, dan mesin jahit adalah definisi paling jujur dari kehadiran negara di wilayah 3T.

Suara perubahan juga datang dari kalangan ibu dan pelajar. Ibu Rokiah menceritakan bagaimana cahaya PLN mengubah rutinitas subuhnya. “Ibu sering nak nonton tv, Ibu kalau shubuh itu nak nonton orang yang besura (ceramah) itu, nak ngaji, nak sholat (Ibu ingin nonton TV, Ibu kalau usai ibadah shubuh ingin nonton orang ceramah, mau ngaji, mau sholat-red),” ujarnya lirih. Rutinitas ibadah kini tak lagi terhalang gelap.
Di sudut lain desa, Ibu Nova melihat peluang bisnis yang dulunya mustahil. “Pengennyo biso jualan es,” harapnya. Sementara Nabila Chintya Bella, seorang siswi SMP, melihat listrik sebagai kunci digital. “Tobo nyari PR dak susah lagi nyari sinyal (kita nyari materi PR jadi mudah, tidak susah lagi nyari sinyal-red), terimakasih untuk bapak presiden semoga saya bisa belajar digital,” katanya penuh harap.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengatakan, bantuan ini merupakan bentuk nyata kehadiran negara untuk mewujudkan keadilan sosial sebagaimana amanat konstitusi.
“Kami di Kementerian ESDM itu kan ada program listrik desa dan pemasangan listrik ke rumah tangga. Ini target Bapak Presiden yang kami terjemahkan dalam arah kebijakan selesai di 2029-2030. Semuanya adalah sebagai bentuk kehadiran pemerintah dalam memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan rakyat,” ujar Bahlil.
Program BPBL sendiri menargetkan 215 ribu rumah tangga tidak mampu yang belum berlistrik pada tahun 2025, setelah sukses melistriki lebih dari 367 ribu rumah tangga hingga tahun 2024.
Model keberhasilan ini diperkuat oleh dampak luar biasa pada produktivitas:
- Di OKU Timur (tetangga OKI), LMS terbukti meningkatkan produktivitas sawah yang semula hanya 4 ton gabah kering panen (GKP) per hektar menjadi 6 ton GKP per hektar (Kompas.id, Juli 2023). Peningkatan 50% ini terjadi karena petani dapat mengatur irigasi secara optimal.
- Petani kebun jeruk di Gresik, Jawa Timur, melaporkan peningkatan hasil panen hingga 150% setelah beralih ke pompa elektrik yang dialiri listrik PLN.
Dampak multiplier effect ini menegaskan bahwa LMS bukan hanya solusi biaya, tetapi solusi peningkatan daya saing dan produktivitas nasional secara fundamental.
Kerangka Pikir PLN: Menjembatani Sinergi Antar Sektor dan Keberlanjutan
Program LMS di OKI tidak bisa dilihat sebagai proyek tunggal, melainkan bagian dari kerangka pikir Electrifying Agriculture PLN yang lebih luas. Visi ini bertujuan untuk menciptakan ekosistem pertanian terintegrasi dan efisien, sekaligus mendukung transisi energi yang lebih bersih.
Dari sudut pandang lingkungan dan keberlanjutan, langkah ini sangat signifikan. Setiap liter solar yang tidak dibakar oleh pompa Suparno adalah kontribusi nyata terhadap penurunan emisi karbon. Elektrifikasi pertanian adalah cara PLN untuk menyelaraskan mandat ketahanan pangan dengan komitmen nasional terhadap Net Zero Emission (NZE) 2060.
Penggunaan listrik memindahkan beban emisi dari area sawah (yang tidak terkontrol) ke pembangkit listrik PLN, yang emisinya lebih mudah dikelola dan dapat diimbangi dengan sumber energi baru dan terbarukan (EBT) di masa depan. LMS, dalam konteks ini, adalah investasi strategis untuk pertanian yang lebih hijau.
Ketua Organisasi Tani Merdeka Indonesia (TMI) Kabupaten Ogan Komering Ilir, Syamsu Riadi, S.E.I, menegaskan bahwa pihaknya sangat optimistis dan mendesak keberlanjutan.
“Listrik Masuk Sawah adalah jaminan bahwa kami dapat membantu petani seperti Suparno untuk mencapai panen ketiga, bukan hanya dengan cara yang sulit, tetapi dengan cara yang efisien. Ini adalah kepastian untuk mempertahankan performa lumbung pangan nasional tanpa tercekik biaya BBM dan pembatasan kuota,” ujar Syamsu.
Ia memberikan pandangan kritis yang konstruktif dan strategis mengenai sinergi yang harus diwujudkan:
“Komitmen PLN harus disambut kesiapan irigasi sekunder dari Pemerintah Daerah. Listrik hanya menggerakkan pompa, tetapi infrastruktur saluran airnya harus prima. Jangan sampai jaringan listrik sudah menjangkau sawah, tetapi saluran airnya tidak sampai atau rusak. Sukses panen ketiga yang kita cita-citakan itu bukan kerja satu sektor, melainkan membutuhkan sinergi multi-sektor antara energi, pertanian, dan infrastruktur. Kementan dan Pemda perlu mengalokasikan dana khusus untuk modernisasi saluran irigasi primer dan sekunder agar sejalan dengan elektrifikasi yang dibawa PLN.”
Isu pendampingan juga krusial. Petani seperti Suparno membutuhkan pelatihan intensif dari Kementan untuk mengoperasikan peralatan elektrik (pompa submersible, traktor mini elektrik) dan mengelola pola tanam IP-300 yang membutuhkan presisi air. LMS adalah investasi hardware, sementara pelatihan adalah investasi software yang akan menentukan kesuksesan jangka panjang.
Program penyambungan baru LMS untuk Suparno dan kelompok petani yang masih menunggu sedang menanti keputusan alokasi anggaran berikutnya pasca kesuksesan di tahun 2024. Hal ini menegaskan bahwa keberlanjutan program ini adalah taruhan stabilitas lumbung pangan dan komitmen PLN terhadap transisi energi yang berkeadilan.
Menjaga Komitmen Nasional: Energi Berdaulat untuk Ketahanan Pangan
Di Muba, Ruslan, Ibu Rokiah, dan Nabila telah mendapatkan kesejahteraan sosialnya. Di Lempuing, Suparno dan para petani lainnya menanti kepastian. Mereka tidak lagi menuntut janji, melainkan menuntut hak untuk mendapatkan akses ke efisiensi energi yang sudah terbukti secara data. Kontras antara keberhasilan program sosial yang menyentuh hati dan urgensi program ekonomi yang menyentuh perut nasional adalah ujian nyata komitmen PLN.
Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, menegaskan bahwa PLN siap all out menyukseskan Program BPBL, sekaligus mendukung program Electrifying Agriculture. “Arahan Bapak Presiden dan Menteri ESDM jelas, agar tidak boleh ada lagi saudara kita yang hidup dalam kegelapan. Untuk itu, kami siap all out menyukseskan Program BPBL. Bagi kami, listrik bukan hanya soal penerangan, melainkan fondasi untuk mempercepat pemerataan pembangunan, menggerakkan roda perekonomian, menciptakan lapangan kerja, serta membantu mengentaskan kemiskinan,” pungkas Darmawan.
PLN, sebagai BUMN energi, memikul tanggung jawab yang melampaui sekadar bisnis kelistrikan. Mereka adalah agen pembangunan. Pengembangan Electrifying Agriculture melalui LMS adalah wujud nyata upaya negara untuk memutus mata rantai inefisiensi biaya operasional yang selama ini menghalangi petani mencapai IP-300.
Inilah esensi sejati dari Energi Berdaulat, yang ketika disalurkan dengan adil, mampu menopang stabilitas, meningkatkan produktivitas, dan menjamin Hasil yang berkelanjutan bagi bangsa. Dukungan untuk LMS di OKI adalah investasi paling strategis dalam menjaga kedaulatan pangan Indonesia dan masa depan lingkungan yang lebih bersih.
(dhi)
NUSALY Channel
Dapatkan kabar pilihan editor dan breaking news di Nusaly.com WhatsApp Channel. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.






