Banner Pemprov Sumsel Pemutihan Pajak
Ekonomi Lokal

Jembatan Digital untuk Songket Palembang: Menjual Kisah, Bukan Sekadar Kain

×

Jembatan Digital untuk Songket Palembang: Menjual Kisah, Bukan Sekadar Kain

Sebarkan artikel ini

Songket Palembang adalah kain yang menuntut kesabaran tinggi. Proses penenunannya bisa memakan waktu hingga tiga bulan, membuat harganya melambung hingga jutaan rupiah. Namun, ironisnya, songket kini terancam kalah bersaing di pasar modern. Tim Pengabdian Masyarakat (PKM) Ilmu Komunikasi UNSRI bergerak cepat, melatih perajin Limbang Jaya II agar mampu menjual songket lewat strategi digital.

Jembatan Digital untuk Songket Palembang: Menjual Kisah, Bukan Sekadar Kain
UNSRI melatih perajin songket cara mempromosikan produk mereka lewat media sosial. (Dok. Istimewa/Nusaly.com)

Ogan Ilir, Nusaly — Tantangan ekonomi selalu membayangi pelestarian budaya. Di Limbang Jaya II, Ogan Ilir, Sumatera Selatan, para perajin tenun songket merasakan betul sengitnya kompetisi pasar.

Harga songket memang tinggi, berkisar Rp5 juta hingga puluhan juta per helai. Angka ini sulit dijangkau pembeli massal. Pada saat yang sama, produk tekstil yang lebih murah membanjiri rak-rak toko. Warisan budaya terancam kehilangan panggung.

UNSRI merespons ancaman ini. Tim PKM dari Program Studi Ilmu Komunikasi mengadakan pelatihan komunikasi digital. Kegiatan itu berlangsung Rabu (5/11/2025). Sasarannya spesifik: membekali ibu-ibu perajin di desa tersebut dengan keterampilan praktis videografi. Tujuannya jelas, yakni agar songket mereka bisa menembus batas geografis, menjangkau pembeli muda dan pasar global via media sosial.

“Ini adalah injeksi digital yang krusial bagi keberlanjutan tradisi,” tegas Mutiah, S.Sos., M.I.Kom, Ketua Tim PKM. Mutiah menjelaskan, songket adalah aset budaya sekaligus ekonomi. Proses pembuatannya sangat lama dan menuntut ketelitian tinggi. “Sangat disayangkan, visualisasi proses penenunan ini jarang terekspos. Akibatnya, nilai jual songket tidak tersampaikan seutuhnya,” paparnya.

Tiga Bulan di Balik Sehelai Kain

Songket Palembang, dengan motif khas seperti Lepus atau Naga Besaung, bukan sekadar kain, melainkan rekaman sejarah yang ditenun manual.

Menurut salah seorang perajin, Ibu Farida (48), satu helai songket kualitas menengah membutuhkan minimal 30 hari penenunan. Untuk motif yang rumit, prosesnya bisa mencapai tiga bulan penuh.

“Selama ini, kami hanya mengandalkan penjualan dari rumah ke rumah atau turis yang datang ke Palembang. Kami tidak tahu cara buat video yang bagus, apalagi kirim ke luar kota. Foto yang kami buat pun sering gelap,” keluh Ibu Farida, yang telah menenun selama dua dekade.

Baca juga  Sumsel Jadi Andalan Ketahanan Pangan Nasional, Optimalisasi Lahan Rawa dan Cetak Sawah Baru

Inisiatif digital dari UNSRI mencoba menjembatani kesulitan ini. Mutiah menambahkan, pelatihan ini juga ditujukan untuk menarik minat generasi muda. “Jika proses dan cerita di balik songket dikemas menarik di platform seperti Instagram atau TikTok, songket akan menjadi produk yang relevan. Bahkan, ini bisa menjadi kebanggaan bagi anak-anak muda Limbang Jaya II untuk melanjutkan usaha ini,” ujarnya.

Merumuskan Narasi Wisata dalam Konten

Sekretaris Desa Limbang Jaya II, Rozali, membuka kegiatan ini secara resmi. Ia melihat PKM ini sebagai langkah strategis untuk mengintegrasikan potensi desa ke dalam peta wisata digital.

“Desa kami punya Songket dan potensi wisata alam di sekitar Ogan Ilir. Selama ini, dua potensi ini berjalan sendiri-sendiri. Harapan kami, perajin tidak hanya menjual kain, tetapi juga menjual cerita tentang Limbang Jaya II sebagai destinasi wisata budaya,” ujar Rozali.

Pelatihan dirancang dalam dua sesi yang saling mendukung: strategi branding dan praktik teknis.

Materi pertama yang dibawakan Misni Astuti, S.Sos., M.I.Kom, fokus pada Strategi Promosi Digital dan Branding Kota Wisata. Misni menekankan pentingnya narasi kuat (storytelling) yang menghubungkan songket dengan identitas Palembang sebagai kota sungai, sejarah Sriwijaya, dan pariwisata.

“Konten visual harus diimbangi teks yang kuat. Jangan hanya tampilkan produk. Tampilkan perajinnya, kesulitan menenunnya, dan filosofi di balik motifnya. Inilah yang membedakan songket dari kain pabrikan,” tegas Misni.

Praktik Videografi Mobile dan Audio Visual

Praktik Videografi Mobile dan Audio Visual
Tim Pengabdian kepada Masyarakat (PKM) Ilmu Komunikasi UNSRI memberikan materi pelatihan promosi digital dan videografi kepada para perajin songket di Desa Limbang Jaya II, Ogan Ilir, Rabu (5/11/2025). (Dok. Istimewa/Nusaly.com)

Sesi praktik dipimpin oleh Feny Selly Pratiwi, S.I.Kom., M.I.Kom, berfokus pada Kreasi Video menggunakan Smartphone. Feny mengajarkan bagaimana memaksimalkan kamera ponsel, terutama mengatasi masalah pencahayaan yang kerap menjadi kelemahan video promosi amatir.

Baca juga  Pemulihan Ekosistem Gambut Jadi Prioritas, Sekda Sumsel Buka Workshop Internasional

Beberapa poin teknis mendalam yang diajarkan meliputi:

  1. Teknik Pencahayaan Alami: Memanfaatkan jendela atau jam-jam tertentu (golden hour) untuk menangkap warna kain yang otentik.
  2. Komposisi dan Angle: Penggunaan close-up untuk menonjolkan benang emas dan perak, serta mid-shot untuk menunjukkan keindahan motif.
  3. Dasar Editing Cepat: Penggunaan aplikasi edit video sederhana di ponsel, serta penyesuaian ritme visual agar pas dengan durasi optimal media sosial (Reels atau TikTok).

Mahasiswa Ilmu Komunikasi mendampingi perajin membuat video promosi pertama mereka, memastikan setiap produk kini memiliki digital awareness yang lebih baik. PKM UNSRI berencana memonitor perkembangan akun media sosial desa dan mengukur dampak langsungnya pada peningkatan penjualan songket selama tiga bulan ke depan.

(apm)

NUSALY Channel

Dapatkan kabar pilihan editor dan breaking news di Nusaly.com WhatsApp Channel. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.