Fokus

Ancaman Remiliterisasi Polri, Mengikis Supremasi Sipil Dua Dekade Reformasi

Wacana keamanan nasional memicu kekhawatiran Remiliterisasi Polri. Komjen (P) Didi Widayadi menegaskan: "Negara yang menundukkan polisi di bawah senjata, menundukkan rakyat di bawah ketakutan."

Ancaman Remiliterisasi Polri, Mengikis Supremasi Sipil Dua Dekade Reformasi
Mantan Ka BPKP Komjen Pol (P) Drs. Didi Widayadi. Foto: Dok. Antara Foto

JAKARTA, NUSALY – Wacana dan kebijakan di ranah keamanan nasional belakangan ini memunculkan kekhawatiran mendalam. Isu ini seolah menghidupkan kembali pola-pola otoritarian masa lalu. Dalam pola tersebut, peran kepolisian sebagai penegak hukum sipil dikikis oleh bayang-bayang kekuatan bersenjata. Ancaman Remiliterisasi Polri kini nyata.

Dua dekade setelah Reformasi 1998 memisahkan Polri dari ABRI untuk menegakkan civilian policing, kini muncul tanda-tanda kooptasi halus. Hal ini berpotensi mengembalikan Polri ke dalam sistem keamanan yang didominasi militer. Kekhawatiran ini menguat pada Rabu (8/10/25), merespons pernyataan tokoh kepolisian.

Sinyal Bahaya Remiliterisasi Polri

Isu pembentukan Kementerian Keamanan Nasional, peleburan fungsi-fungsi strategis Polri ke dalam lembaga ekstra-polri, hingga absennya korps Bhayangkara dalam perayaan hari besar militer, kami nilai sebagai remiliterisasi Polri yang mengancam supremasi sipil. Kekhawatiran ini berakar pada sejarah panjang pendirian Polri.

Polri, yang didirikan pada 19 Agustus 1945, sebetulnya lahir lebih dulu daripada TNI (5 Oktober 1945). Oleh karena itu, sejak awal Republik, Polri adalah institusi pertama yang mengemban amanat hukum dan ketertiban sipil. Namun, trauma Orde Baru—saat Polri dilebur di bawah ABRI—kini seperti hendak terulang dalam wajah baru yang lebih halus. Sinyal ini bersembunyi di balik narasi efisiensi menghadapi ancaman keamanan hibrida.

Membela Polri Adalah Benteng Hukum Sipil

Reformasi 1998, Tap MPR No. VI–VII Tahun 2000, serta UU No. 2 Tahun 2002 bertindak sebagai tonggak penting yang memulihkan kemandirian Polri. Tujuan fundamental reformasi ini adalah memisahkan kekuasaan bersenjata dari penegakan hukum yang berorientasi pada keadilan rakyat.

Prinsip dalam sistem demokrasi internasional sangat jelas: Militer menjaga kedaulatan negara, sementara Polisi menjaga keadilan rakyat. Pelibatan TNI dalam urusan siber, terorisme, dan narkoba, bersamaan dengan wacana struktur keamanan gabungan, secara perlahan mengikis batas tegas ini. Akibatnya, akuntabilitas publik akan memudar.

Mantan Ka BPKP Komjen Pol (P) Drs. Didi Widayadi menegaskan pentingnya peran Polri sebagai benteng sipil dalam demokrasi.

“Membela Polri bukan soal membela institusi, melainkan membela roh hukum dan demokrasi itu sendiri,” ujarnya, Rabu (8/10/25).

Menurutnya, Polri harus tetap berada di garda terdepan sebagai penjaga keadilan sipil. “Karena kita harus ingat, negara yang menundukkan polisi di bawah senjata, pada akhirnya akan menundukkan rakyat di bawah ketakutan,” pungkasnya.

Konsekuensi Demokrasi dari Remiliterisasi Polri

Ketika identitas profesional Polri hilang dan fungsinya dilebur, legitimasi publik akan runtuh. Melemahkan Polri sama dengan melemahkan kontrol sipil atas kekuasaan bersenjata. Ini adalah langkah mundur yang berisiko menyeret negara kembali ke era represif.

Oleh karena itu, penegasan kembali supremasi sipil menjadi krusial. Reformasi Polri harus dipandang sebagai upaya menjaga demokrasi konstitusional. Diperlukan penegasan batas domain yang jelas antara TNI dan Polri. Selain itu, penguatan lembaga pengawas seperti Kompolnas dan Ombudsman, serta pembangunan Good Policing Governance (GPGov) sangat mendesak. (emen)

NUSALY Channel

Dapatkan kabar pilihan editor dan breaking news di Nusaly.com WhatsApp Channel. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Exit mobile version