GARIS PANTAI adalah medan perang abadi. Selama bertahun-tahun, Desa Sungsang IV, di kuala Sungai Musi, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, hanya mengenal abrasi sebagai musuh yang tak terhindarkan. Kawasan Hutan Desa seluas 553 hektare telah terdegradasi parah; sedikitnya 65 hektare lahan produktif telah terkikis oleh gelombang besar dan naiknya air pasang.
Ancaman itu diperparah oleh krisis yang lebih besar: perubahan iklim global. Berdasarkan studi akademis Universitas Sriwijaya, nelayan di kawasan Sungsang menghadapi tantangan nyata berupa kenaikan permukaan air laut, perubahan pola cuaca, serta meningkatnya frekuensi badai dan arus laut yang secara langsung menghambat produktivitas mereka.
Sebagian besar nelayan beroperasi dalam skala kecil dan harus menerapkan strategi adaptasi yang sulit, seperti diversifikasi mata pencaharian melalui usaha sampingan atau reparasi kapal.
Bagi Junaidi (55), seorang nelayan lokal yang berprofesi di kampung yang unik di atas air ini, abrasi bukan hanya isu lingkungan, tetapi momok ekonomi yang mengancam dapur keluarganya.
“Dulu, kita cemas setiap musim pasang. Rumah tetangga sempat dihantam. Paling parah, ikannya hilang,” katanya dengan nada getir.
Kepunahan biota laut, khususnya spesies bernilai tinggi, adalah indikator paling menyakitkan dari kerusakan ekosistem. Ikan Tirusan (Otolithoides pama), primadona perairan Selat Bangka yang gelembung renangnya dihargai mahal di pasar ekspor, sempat menjadi legenda yang hilang.

Krisis ini memunculkan resistensi di kalangan masyarakat. Abdullah Mustar, Ketua Lembaga Desa Pengelola Hutan Desa (LDPHD) Sungsang IV, bercerita tantangan terbesar adalah meyakinkan warga bahwa menjaga hutan itu sama menguntungkannya dengan ‘membuka hutan’ untuk hasil cepat. Perlu ada jembatan ekonomi dan kepercayaan.
Jembatan itu dibangun bukan hanya oleh kearifan lokal, tetapi oleh komitmen lintas sektor.
Melampaui PPKH: Pilar Konservasi Tanpa Paksaan
Titik balik bagi Sungsang IV bermula dari sebuah inisiatif ambisius yang secara strategis menempatkan tanggung jawab sosial jauh di atas batas kepatuhan regulasi.
Pada tahun 2024, SKK Migas menggandeng 12 Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) wilayah Sumbagsel untuk melakukan penanaman mangrove skala besar. KKKS yang terlibat mencakup: PHR Regional 1 Zona 4, PHE Jambi Merang, Medco E&P Indonesia, Medco E&P Grissik Ltd, Seleraya Merangin Dua, Sele Raya Belida, Tately N.V., Repsol Sakakemang BV, Odira Energi Karang Agung, Tiarabumi Petroleum, SSY Petroleum Pte Ltd, dan Tropik Energi Pandan.
Kegiatan ini menargetkan penanaman lebih dari 33.000 batang mangrove hingga tahun 2025, setelah berhasil menanam 31.000 batang pada periode awal 2024.
Kunci orisinalitas program ini terletak pada pernyataan tegas dari Safei Syafri, Kepala Departemen Formalitas dan Komunikasi SKK Migas Sumbagsel, yang menegaskan bahwa program ini adalah bagian dari Program Pengembangan Masyarakat (PPM) Bidang Lingkungan yang dilakukan di luar kewajiban Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH).
“Tugas kami bukan hanya mencari minyak dan gas, tetapi juga menjaga lingkungan. Program ini kami jalankan sebagai bentuk tanggung jawab sosial di luar PPKH. Ini adalah warisan hijau untuk generasi berikutnya,” ujar Safei.

Dalam konteks industri hulu migas, PPKH adalah mekanisme legal-formal yang mewajibkan penanaman pengganti di lokasi tertentu sebagai syarat penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan operasional. Ketika sebuah korporasi memilih berinvestasi besar pada konservasi di luar kewajiban tersebut, hal itu menunjukkan pergeseran filosofi bisnis: dari sekadar compliance (kepatuhan) menjadi commitment (komitmen yang melekat pada nilai inti).
Integrasi Kerangka Penelitian Global
Komitmen Hulu Migas ini tidak berdiri sendiri, melainkan terintegrasi dengan kerangka penelitian konservasi yang lebih luas di kawasan tersebut. Sejak tahun 2021, Sungsang telah menjadi lokasi proyek penelitian aksi partisipatif selama lima tahun, yang dikenal sebagai Sungsang Mangrove Restoration and Ecotourism (SMART). Proyek ini didukung oleh Temasek Foundation dari Singapura, melibatkan CIFOR-ICRAF (Center for International Forestry Research and World Agroforestry), dan diimplementasikan bersama Universitas Sriwijaya dan Forum DAS Sumsel.
Tujuan utama SMART adalah mengembangkan model bisnis berbasis komunitas yang berkelanjutan, yang sejalan dengan tujuan Hulu Migas. Kolaborasi antara korporasi (Hulu Migas) dan institusi penelitian internasional (CIFOR-ICRAF/Temasek) ini memberikan bobot ilmiah yang tak terbantahkan, memastikan bahwa setiap bibit yang ditanam memiliki basis data dan metodologi restorasi yang teruji secara ekologis.

Drs. H. Koimudin, SH, MM, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan, mengapresiasi langkah ini sebagai preseden positif. Beliau menyebut upaya kolektif SKK Migas – KKKS Sumsel ini telah menciptakan “Standar Emas” bagi pemegang kewajiban PPKH lainnya. Pengakuan ini memberikan bobot legitimasi kebijakan yang sangat penting bagi keberlanjutan proyek Sungsang IV.
Memburu Tirusan Ratusan Juta: Narasi Ekonomi Biru yang Pulih
Restorasi ekosistem tidak hanya menahan laju air pasang, tetapi juga mengalirkan rezeki. Dampak paling dramatis terlihat pada kembalinya Ikan Tirusan di perairan yang kini terlindungi oleh sabuk hijau mangrove muda.
Ikan Tirusan, yang juga dikenal sebagai jewfish atau maws, adalah harta karun laut. Gelembung renangnya (swim bladder) kering, atau fish maw, merupakan komoditas ekspor bernilai fantastis, mencapai ratusan juta rupiah per kilogram di pasar Asia Timur untuk konsumsi mewah dan pengobatan tradisional.
“Kami seperti mendapat anugerah kembali. Menemukan dua ekor ikan Tirusan saja sudah bisa menutupi kebutuhan hidup nelayan selama dua hingga tiga bulan,” kata Romi Adi Candra, Kepala Desa Sungsang IV, matanya berbinar.
Kembalinya ikan Tirusan secara ilmiah membuktikan keberhasilan ekologis. Kawasan Sungsang, sebagai ekosistem estuari yang kaya nutrien, secara historis berfungsi sebagai tempat memijah (spawning ground) dan pengasuhan anakan (nursery ground) yang vital bagi biota perairan, termasuk ikan, udang, dan kepiting. Konservasi mangrove terbukti menciptakan lingkungan perairan yang lebih jernih dan sehat, memulihkan fungsi kritis ekosistem ini.
Geliat Ekonomi Berganda dan Kemandirian Kelembagaan
Efek berganda dari konservasi ini menjalar ke seluruh sendi kehidupan Sungsang IV. Masyarakat kini tidak hanya berburu di laut, tetapi juga memanen potensi hutan secara berkelanjutan. Melalui pendampingan, warga Desa Sungsang IV berhasil mengolah hasil non-kayu hutan mangrove menjadi produk bernilai tambah, menandai transisi ekonomi dari eksploitasi menjadi konservasi berbasis hasil.
Mereka memproduksi mulai dari pempek udang khas Sungsang, sabun cuci tangan berbahan baku mangrove, hingga dodol dan sirup mangrove. Geliat ini terasa signifikan pada skala usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).
LPHD mencatat, omset UMKM lokal kini stabil di kisaran Rp15 juta per bulan, dan mampu melonjak tajam hingga Rp100 juta pada periode puncak kunjungan wisata, menegaskan bahwa konservasi adalah motor penggerak ekonomi yang jauh lebih stabil dan berkelanjutan daripada metode penebangan lama.

Peningkatan ekonomi ini diperkuat oleh akselerasi sektor pariwisata. Kawasan Sungsang IV kini berkembang menjadi Eko-Eduwisata Mangrove. Keuntungan lokasinya yang strategis—berbatasan langsung dengan Taman Nasional Sembilang, sebuah Cagar Biosfer Dunia yang diakui UNESCO—menjadikannya destinasi pendidikan dan relaksasi pesisir yang menjanjikan.
Sejak resmi dibuka pada Oktober 2025, kawasan ini telah menarik kunjungan hingga 5.000 wisatawan dari Palembang dan sekitarnya, mengukuhkan peran konservasi sebagai infrastruktur sosial baru.
Legalitas Jangka Panjang dan Jejak Blue Carbon Global
Untuk memastikan keberlanjutan program ini, langkah legalitas tertinggi telah dicapai. Pemerintah desa Sungsang IV kini memegang wewenang penuh dalam mengelola kawasan hutan desa seluas 553 hektare.
Landasan hukum ini diperkuat oleh SK Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. SK.6219/MENLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/6/2023 yang diterbitkan pada Juni 2023. Kepemilikan legal ini mengeliminasi risiko program seremonial dan menjamin bahwa visi konservasi akan terintegrasi dalam rencana pembangunan desa jangka panjang.
Dalam skala yang lebih luas, inisiatif Sungsang IV berkontribusi pada mitigasi krisis iklim melalui peran Blue Carbon (Karbon Biru). Menurut studi akademisi Universitas Sriwijaya, Tengku Zia Ulqodry, Ph.D., ekosistem mangrove memiliki kapasitas penyerapan karbon yang luar biasa.
“Satu hektare mangrove bisa menyerap karbon empat kali lebih banyak dibanding hutan tropis daratan. Ini adalah investasi jangka panjang yang mendukung agenda iklim global dan target Net Zero Emission nasional,” jelas Tengku Zia.
Hirmawan Eko Prabowo, Manager Field Relations & Community Enhancement Medco E&P, melihat program ini sebagai bukti nyata kolaborasi yang sukses. “Program ini adalah tentang menumbuhkan kesadaran. Kami ingin kegiatan hulu migas tidak hanya memenuhi kebutuhan energi, tetapi juga memberi manfaat ekologis dan sosial yang berkelanjutan.”
Di Sungsang IV, kerangka besi rig pengeboran di kejauhan kini berdampingan dengan bibit-bibit mangrove yang tumbuh kokoh.
Melalui komitmen kolektif yang melampaui regulasi dan terintegrasi dengan kerangka penelitian ilmiah, industri hulu migas tidak hanya menambang energi dari bumi, tetapi juga menanamkan harapan baru di pesisir yang rentan.
Kisah ini adalah representasi paling utuh dari Efek Berganda Hulu Migas, yang telah mengubah ancaman abrasi menjadi kekuatan ekonomi biru yang berkelanjutan dan berkelas dunia.
(emen)
NUSALY Channel
Dapatkan kabar pilihan editor dan breaking news di Nusaly.com WhatsApp Channel. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.







