Fokus

Di Kaki Menara Gas, Kisah Manis Madu Muara Enim dan Nafas Biru Mangrove Sungsang

×

Di Kaki Menara Gas, Kisah Manis Madu Muara Enim dan Nafas Biru Mangrove Sungsang

Sebarkan artikel ini

Medco E&P Merumuskan Ulang Efek Berganda Hulu Migas: Dari Sumber Energi Fosil, Menjadi Jangkar Ketahanan Ekonomi Sirkular dan Mitigasi Iklim Global.

Di Kaki Menara Gas, Kisah Manis Madu Muara Enim dan Nafas Biru Mangrove Sungsang
Bustam Arifin, tokoh kunci kelompok budidaya lebah madu di Desa Aur Duri, memamerkan hasil panen yang berhasil menjadi perisai ekonomi stabil di tengah fluktuasi harga komoditas karet. (Dokumentasi Humas Medco E&P)

Keheningan di Dekat Deru Mesin

PALEMBANG, NUSALY – Udara di Desa Aur Duri, Muara Enim, Sumatera Selatan, dipenuhi kontras yang tajam—sebuah kontradiksi yang menantang nalar. Di kejauhan, fasilitas vital negara yang dibangun dari baja dan beton terus bekerja tanpa henti. Terdengar deru konstan kompresor dan suara mendesis dari pipa baja yang meliuk-liuk, menyalurkan ribuan meter kubik gas bumi dari perut bumi. Bau gas tipis menguar bersama hawa panas yang mengepung dari pusat operasi Medco E&P Lematang, jantung yang memompa energi ke jaringan nasional.

Namun, hanya beberapa langkah dari pagar keamanan yang kokoh itu, suasana berubah total, hening. Suara mesin yang memekakkan telinga digantikan oleh dengungan lembut ribuan lebah madu Apis Cerana. Aroma gas tergantikan oleh harum nektar bunga yang dibawa angin dari rimbunnya hutan karet dan sawit yang mengelilingi desa. Di bawah teduh pepohonan yang memayungi, ratusan kotak kayu kecil berjejer rapi, menjadi istana bagi lebah-lebah pekerja.

Di sini, lebah madu yang halus dan raksasa migas yang masif hidup berdampingan.

Keheningan di Dekat Deru Mesin
Kontras di Muara Enim. Aktivitas fasilitas vital Medco E&P Lematang yang memproduksi gas, beroperasi berdampingan dengan kegiatan budidaya lebah madu masyarakat lokal. (Dokumentasi Humas Medco E&P)

Inilah perwujudan paling puitis dari narasi Efek Berganda Hulu Migas. Ini adalah kisah yang melampaui sekadar program tanggung jawab sosial, melainkan sebuah deklarasi filosofis yang tegas: industri ekstraktif yang terbatas usianya tidak perlu meninggalkan luka atau jurang, tetapi harus menumbuhkan warisan kemandirian yang bertahan melampaui masa pakai sumur migas itu sendiri.

Kisah ini membawa kita pada dua dimensi ketahanan yang terpisah secara geografis namun terhubung oleh satu komitmen tunggal: ketahanan ekonomi sirkular dan perlindungan mata pencaharian di daratan Muara Enim, dan ketahanan iklim global melalui blue carbon di pesisir Sungsang.

Madu Emas Aur Duri: Pagar Seng, Beruang, dan Harga Karet yang Ambruk

Kisah sukses ekonomi di Desa Aur Duri, Kecamatan Rambang Dangku, harus dimulai dari sebuah kerentanan. Selama bertahun-tahun, perekonomian di wilayah ini memiliki satu titik tumpu, yaitu komoditas tunggal: karet.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, luas perkebunan karet rakyat di Kecamatan Rambang Dangku mencapai 16.453 hektare pada tahun 2019. Produksi yang dihasilkan pun masif, mencapai 18.030 ton. Namun, ketergantungan ini adalah pedang bermata dua.

“Kalau harga karet ambruk, kami tidak bisa berbuat apa-apa. Penghasilan merosot tajam, padahal kebutuhan anak sekolah dan kebutuhan pokok keluarga terus ada,” tutur Bustam Arifin (64), seorang peternak lebah di Desa Aur Duri.

Bustam menceritakan bagaimana penurunan harga karet sering berkorelasi dengan munculnya masalah sosial di wilayah operasional Medco E&P. Ini yang menjadikan peningkatan ekonomi masyarakat menjadi salah satu fokus utama dalam program pengembangan perusahaan.

Bustam sendiri telah menggeluti budidaya lebah sejak 2014, jauh sebelum intervensi korporasi. Namun, usahanya terbatas. Modal minim, peralatan seadanya, dan yang paling mengancam keberlanjutan usahanya adalah konflik satwa liar.

“Sebelum ada pagar seng, beruang suka datang malam-malam, menghancurkan kotak-kotak sarang lebah kami. Kami rugi besar, harus menelan kerugian panen satu musim,” kenang Bustam, menunjukkan bekas cakaran di salah satu batang pohon besar di kebunnya.

Baca juga  Peningkatan Layanan Pajak Kendaraan, Pemprov Sumsel Resmikan Gedung Kantor Bersama Samsat Palembang IV dan OKI I

Intervensi Medco: Jembatan Damai dan Kualitas Premium

Kehadiran Medco E&P Lematang pada tahun 2016 menjadi titik balik. Bantuan yang diberikan sangat spesifik dan strategis, di bawah payung Program Pengembangan Masyarakat (PPM). Medco tidak hanya memberi modal, tetapi menawarkan solusi tuntas terhadap ancaman terbesar komunitas.

Pertama dan yang paling vital, Medco mendirikan pagar seng yang kokoh di sekeliling area budidaya. Pagar ini menjamin perlindungan sarang dari serangan beruang liar, menyelesaikan konflik satwa yang selama ini menjadi momok. Solusi ini juga didasari pertimbangan ekologis yang matang.

“Kebetulan kami beroperasi di sekitar wilayah tanaman hutan produksi, sehingga di situ sering ada konflik lahan (antara manusia dengan satwa) dan sebagainya. Ini yang kita cari solusi bersama, kira-kira apa kegiatan ekonomi bersama yang tanpa merusak lingkungan sekitar, salah satunya adalah budidaya lebah madu,” terang Hirmawan Eko Prabowo, Manager Field Relations & Community Enhancement Medco E&P South Sumatra Region.

Intervensi Medco: Jembatan Damai dan Kualitas Premium
Aksi nyata. Bustam Arifin (64) membuka penutup kotak madu untuk melihat kondisi sarang. Madu menjadi penyangga ekonomi yang stabil bagi masyarakat Aur Duri. (Dokumentasi Humas Medco E&P)

Kedua, Medco E&P melakukan pendampingan, pelatihan, dan transfer teknologi yang mengubah total skala usaha. Lahirlah Kelompok Budi Daya Lebah Madu Karya Maju Bersama yang beranggotakan 9 orang. Mereka beralih dari panen madu liar yang kotor menjadi produksi madu premium dengan standarisasi manajemen peternakan yang modern.

Transformasi ini menghasilkan angka yang impresif. Dalam setahun (hingga Oktober 2025), kelompok ini telah menembus produksi mencapai 170 kilogram madu, dengan rata-rata panen 15-20 kg per bulan pada musim puncaknya, yakni antara Juli hingga Oktober.

Nilai jual produk mereka meningkat signifikan. Madu murni kini dibanderol premium, mencapai Rp 130.000 per kilogram, atau Rp 65.000 untuk kemasan botol 450 mililiter, dan telah menjangkau pasar regional hingga ke Provinsi Jambi, Bengkulu, Lampung, dan bahkan Pulau Jawa.

“Dipanen kena madu, dapat duit. Bisa lah, bantu-bantu kebutuhan keluarga dan biaya pendidikan anak,” ujar Bustam, menyoroti madu sebagai penyangga ekonomi yang sangat stabil. Madu ini menjadi perisai ekonomi yang melindungi masyarakat dari dampak fluktuasi harga karet.

Infografis: Madu Muara Enim
Grafik Peningkatan Produksi dan Nilai Jual Madu Kelompok Karya Maju Bersama.

Filosofi Dividen Sosial Jangka Panjang

Keberhasilan madu Aur Duri menembus pasar premium adalah bukti bahwa industri hulu migas dapat menciptakan solusi ekonomi sirkular yang bernilai tinggi.

Medco E&P melihat program ini sebagai investasi yang paling stabil: dividen sosial jangka panjang. Hirmawan Eko Prabowo menjelaskan, “Industri migas memang berfluktuasi, tapi kebutuhan akan madu murni terus ada. Kami ingin energi yang kami hasilkan tetap memberi kehidupan, bahkan setelah minyaknya habis. Madu ini adalah dividen sosial jangka panjang bagi masyarakat, investasi dalam kemandirian yang tidak akan lekang.”

Program ini adalah masterclass dalam transfer ilmu pengetahuan dan teknologi sederhana yang menghasilkan nilai tinggi, mengubah masyarakat yang bergantung pada hasil kebun musiman menjadi produsen produk premium dengan jaminan kualitas dan rantai pasok yang kuat.

Pergeseran fokus narasi kemudian membawa kita jauh dari hawa kering Muara Enim, menuju aroma asin dan lembap di pesisir Sungsang IV.

Sungsang: Kerapuhan Pesisir dan Nafas Global

Jika Muara Enim berbicara tentang stabilitas ekonomi, Sungsang IV, Kabupaten Banyuasin, berhadapan dengan cerita tentang kerapuhan ekologis yang diancam oleh bencana iklim dan abrasi.

Sungsang: Kerapuhan Pesisir dan Nafas Global
Garis depan kerapuhan. Rumah panggung di pesisir Desa Sungsang IV. Masyarakat di wilayah ini adalah yang paling rentan terhadap abrasi dan gelombang pasang, menjadi alasan utama program restorasi mangrove. (Dok. Kemenparekraf RI)

Di garis pantai yang rentan ini, kisah Samsul (50), seorang nelayan lokal, adalah kisah perjuangan pesisir. “Dulu, sebelum hutan kembali lebat, ombak itu datang seperti tangan raksasa, menghantam rumah-rumah kami dan mengikis daratan. Kami hidup dalam ketakutan setiap musim hujan, karena tangkapan ikan juga berkurang drastis,” katanya, suaranya dipenuhi memori getir akan masa-masa sulit.

Baca juga  Presiden Prabowo Resmi Luncurkan Gerakan Indonesia Menanam (Gerina) di Banyuasin: Dorong Partisipasi Publik dan Pertanian Inovatif untuk Ketahanan Pangan

Di Sungsang IV, peran industri hulu migas bergeser dari produsen energi fosil menjadi agen mitigasi iklim, sebuah filosofi Efek Berganda yang menjangkau batas atmosfer global.

Mangrove: Gudang Karbon Biru Tersembunyi

Program restorasi mangrove yang melibatkan Medco E&P Indonesia, Medco E&P Grissik Ltd., SKK Migas, Pertamina Hulu Energi Jambi Merang, bersama dengan Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Sungsang IV, datang sebagai penyelamat.Sejak tahun 2024, lebih dari 31.000 batang mangrove telah ditanam kembali di sepanjang garis pantai Sungsang.

Angka ini bukan sekadar statistik kuantitas, melainkan jumlah perlindungan yang diberikan dari bencana abrasi dan jumlah ekosistem yang direstorasi.Inilah titik di mana Efek Berganda mencapai dimensi ilmu pengetahuan global. Mangrove Sungsang bukan hanya berfungsi sebagai pagar hidup, melainkan sebagai Gudang Penyimpan Karbon Biru (Blue Carbon) yang sangat efektif.

Mangrove: Gudang Karbon Biru Tersembunyi
Tesis Ilmiah. Akar nafas (pneumatofora) mangrove yang kokoh, merupakan kunci kemampuan ekosistem ini menyerap dan mengunci karbon biru (blue carbon) dalam sedimen lumpur, menjadikannya solusi mitigasi iklim jangka panjang. (Dok. forestdigest.com)

Assoc. Prof. Dr. Ian Kurniawan dari Universitas Sriwijaya memberikan perspektif ilmiah yang krusial. “Secara ilmiah, satu hektare mangrove mampu menyerap dan menyimpan karbon empat hingga lima kali lebih banyak dibanding hutan tropis di daratan. Dan yang terpenting, karbon itu terkunci di sedimen lumpur selama ribuan tahun, menjadikannya solusi mitigasi iklim yang berkelanjutan,” urai Dr. Ian, menekankan pentingnya peran Indonesia yang memiliki 3,4 juta hektare hutan mangrove.

Dengan berinvestasi pada penanaman mangrove, Medco E&P secara langsung berkontribusi pada pencapaian target iklim nasional (Nationally Determined Contribution/NDC). Ini adalah redefinisi total dari tanggung jawab industri migas: dari sumber emisi, menjadi bagian dari solusi mitigasi.

Bagi warga Sungsang, manfaatnya terasa lebih praktis. Barisan mangrove yang tumbuh subur meredam energi ombak. Mangrove juga berfungsi sebagai katalisator perikanan, tempat ikan, udang, dan kepiting bertelur, sehingga hasil tangkapan nelayan meningkat drastis. Kepala Desa Sungsang IV, Romi Adi Candra, menyaksikan bangkitnya gairah baru.

“Anak-anak muda sudah mulai merancang wisata mangrove. Kami mendapatkan energi ekowisata dari hutan yang lestari. Ini energi baru bagi desa,” katanya.

Infografis Mangrove Sungsang
Infografis Mangrove Sungsang

Visi Kebijakan: Hulu Migas sebagai ‘Jangkar Keberlanjutan’

Program di Muara Enim dan Sungsang adalah representasi sempurna dari visi SKK Migas yang kini melihat industri hulu tidak hanya sebagai produsen, tetapi sebagai penggerak ekosistem sosial-lingkungan, di bawah payung regulasi Panduan Tata Kerja (PTK) 017.

Safei Syafri, Kepala Departemen Formalitas dan Komunikasi SKK Migas Perwakilan Sumbagsel, menggarisbawahi peran industri hulu migas yang melampaui produksi.

“Tanggung jawab kami meluas. Kami tidak hanya mengelola cadangan migas. Mangrove ini adalah blue carbon, dan madu ini adalah social capital. Bersama Medco E&P, kami menempatkan industri hulu sebagai ‘Jangkar Keberlanjutan’ yang mendukung ketahanan energi nasional dalam arti yang paling luas—energi, lingkungan, dan ekonomi rakyat,” tegas Safei, menegaskan bahwa PPM adalah kontribusi wajib yang terukur dan disesuaikan dengan skala prioritas kebutuhan masyarakat.

Dukungan ini diamini oleh pemerintah daerah. Drs. H. Koimudin, SH, MM, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan, memuji inisiatif ini sebagai contoh positif bagi pemegang kewajiban PPKH lainnya.

“Komitmen ini tidak berhenti di penanaman, tapi melibatkan pengawasan langsung oleh Kepala Desa. Ini memastikan keberlanjutan program hingga ke akar rumput,” ujarnya, menekankan pentingnya internalisasi komitmen hingga ke level komunitas.

Energi Sejati Adalah Warisan Abadi

Pada akhirnya, kisah di Muara Enim dan Sungsang memberikan jawaban yang tegas atas pertanyaan fundamental yang sering dilontarkan pada industri ekstraktif: Warisan apakah yang ditinggalkan oleh industri yang bersifat terbatas usianya?

Warisan itu bukanlah pipa baja yang kelak berkarat atau sumur yang mengering. Warisan itu adalah keseimbangan harmonis yang diciptakan dan dipertahankan.

Di Muara Enim, industri migas menanamkan benih kemandirian ekonomi, melindungi masyarakat (seperti Bustam Arifin) dari fluktuasi harga karet dan ancaman satwa liar, menghasilkan madu sebagai sumber penghidupan kedua yang stabil.

Di Sungsang, industri migas menanamkan benih keberlanjutan iklim global, melindungi bumi (blue carbon) dan memastikan laut tetap menjadi sumber kehidupan bagi generasi nelayan mendatang.

Inilah Energi Sejati yang dirumuskan ulang oleh Medco E&P: sebuah kekuatan yang melampaui batas waktu dan komoditas, sebuah cetak biru yang mengubah Efek Berganda dari kewajiban menjadi sebuah warisan abadi bagi Indonesia dan dunia.

(Suherman)

NUSALY Channel

Dapatkan kabar pilihan editor dan breaking news di Nusaly.com WhatsApp Channel. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.