Investigasi

Monumen Kegagalan Rp 8,4 Miliar di Tepi Sungai Komering

×

Monumen Kegagalan Rp 8,4 Miliar di Tepi Sungai Komering

Sebarkan artikel ini

Ketika Uang Negara Sirna dan Janji Terkhianati, Akuntabilitas Menjadi Pertanyaan Terbesar.

Monumen Kegagalan Rp 8,4 Miliar di Tepi Sungai Komering
Monumen Kegagalan Rp 8,4 Miliar di Tepi Sungai Komering

Sepanjang serial investigasi ini, kita telah melihat wajah kegagalan dari berbagai sisi. Mulai dari tiang-tiang beton yang berdiri canggung di tengah sungai sebagai bukti fisik dari pemborosan, dilanjutkan dengan pembongkaran lelang janggal dan janji-janji palsu yang menguap, hingga penderitaan warga yang hidup di tengah ancaman penyakit dan ekonomi yang lumpuh. Di akhir perjalanan ini, semua temuan itu menyatu menjadi satu kesimpulan pahit: Proyek penahan eceng gondok di Sungai Komering adalah sebuah monumen kegagalan yang tidak bisa ditutupi.

Simbol Kegagalan yang Tak Terbantahkan

Saat ini, apa yang tersisa dari proyek senilai Rp 8,4 miliar ini hanyalah dua tiang beton yang berkarat, menjadi penanda tragis dari uang rakyat yang terbuang sia-sia. Proyek yang seharusnya membebaskan sungai dari gulma invasif, kini justru menjadi perangkap sampah yang membusuk, sarang nyamuk, dan ancaman nyata bagi keselamatan warga. Kondisi fisik di lokasi membuktikan bahwa tidak ada perawatan yang pernah dilakukan, dan janji penggunaan alat berat seperti ekskavator amfibi tidak pernah terealisasi di tempat yang seharusnya.

Kerusakan ini bukanlah hasil dari bencana alam. Ini adalah buah dari sebuah kegagalan yang sistematis. Pemecahan proyek menjadi dua paket tender, diikuti oleh pola lelang yang hanya melibatkan satu penawar di setiap tahapnya—BUMI KITA di tahap I dan CV. JAYA KONTRINDO MANDIRI di tahap II—mengindikasikan adanya celah serius dalam pengawasan. Setiap tahapan, dari perencanaan hingga implementasi, dipenuhi dengan kejanggalan yang akhirnya membawa pada kerugian total bagi negara dan penderitaan tak berkesudahan bagi masyarakat.

Baca juga  Kajari OKI Hendri Hanafi Kawal Usulan Jargas, Tegaskan Komitmen Dukung Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

Menggali Jejak di Balik Angka

Proyek ini tidak hanya gagal secara teknis, tetapi juga secara fundamental. Dana sebesar Rp 4,915 miliar yang disalurkan pada tahun 2021 dan tambahan Rp 3,433 miliar pada tahun 2022 seharusnya menghasilkan sebuah solusi permanen. Namun, seperti yang diungkap oleh Dr. Andi Pratama, Pakar Lingkungan Universitas Sriwijaya, kegagalan proyek ini adalah akibat dari “manajemen operasional dan teknis yang tidak berjalan.” Dana miliaran rupiah itu ludes tanpa menghasilkan sistem yang berkelanjutan.

Dalam situasi normal, kerugian sebesar ini akan memicu respons cepat dari lembaga pengawas. Namun, ironisnya, yang kita temukan adalah keheningan. Tidak ada laporan resmi dari Inspektorat Daerah OKI atau BPK yang dipublikasikan secara transparan mengenai kegagalan proyek ini. Pihak-pihak yang bertanggung jawab, dari pejabat teknis hingga kepala dinas terkait, seolah menghilang dari sorotan, meninggalkan pertanyaan besar di benak publik: Mengapa tidak ada yang dimintai pertanggungjawaban atas kerugian yang begitu besar?

Menuntut Pertanggungjawaban yang Hilang

Warga sudah tidak lagi percaya pada janji. Mereka hanya menginginkan solusi. “Kalau tidak ada gunanya, mending dicabut saja tiang-tiang itu,” ungkap Ketua RT 1 Kelurahan Sukadana, Dedy, mewakili kekecewaan kolektif yang tak terukur. Permintaan ini adalah sebuah tamparan keras bagi pejabat yang seharusnya bertanggung jawab.

Laporan ini adalah sebuah panggilan. Panggilan untuk otoritas terkait—seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)—untuk segera melakukan audit forensik terhadap seluruh proses proyek ini. Warga memiliki hak untuk mengetahui ke mana larinya uang mereka. Ke mana uang miliaran rupiah yang seharusnya bisa membangun sekolah, pusat kesehatan, atau infrastruktur lain yang benar-benar bermanfaat.

Proyek penahan eceng gondok di Sungai Komering telah menjadi pelajaran mahal tentang bahaya dari pengabaian, ketidakpedulian, dan ketiadaan akuntabilitas. Monumen kegagalan ini akan terus berdiri, bukan sebagai pengingat keberhasilan, melainkan sebagai peringatan bahwa ketika integritas hilang, uang rakyat pun akan ikut sirna. (dhi)