PALEMBANG, NUSALY – Fakta dakwaan dalam kasus Korupsi PMI Palembang yang menyeret mantan Wakil Wali Kota, Fitrianti Agustinda, dan suaminya, Dedi Siprianto, mengungkap dimensi baru yang meresahkan: banalitas korupsi. Babak baru persidangan ini menguak krusial: skandal ini bukan hanya tentang pasangan politisi, melainkan telah menjadi jaringan. Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak hanya mendakwa kedua terdakwa memperkaya diri sendiri, tetapi juga memperkaya pihak lain yang kini sorotan publik.
Dalam uraian dakwaan di Pengadilan Tipikor PN Palembang, JPU Syaran Jafidzhan SH MH menyebutkan bahwa mantan Wakil Sekretaris PMI Palembang, Agus Budiman, menerima aliran dana sebesar Rp144 juta. Jumlah ini merupakan bagian dari taksiran kerugian negara yang mencapai lebih dari Rp4 miliar.
Jaringan Korupsi: Mengapa Aliran Dana Rp144 Juta ke Wakil Sekretaris Penting?
Nama Agus Budiman yang muncul secara eksplisit dalam dakwaan adalah titik penting. Ini menunjukkan bahwa penyalahgunaan dana PMI telah terinstitusionalisasi, melibatkan tokoh-tokoh kunci dalam struktur organisasi. Agus Budiman sebelumnya hanya menjabat sebagai saksi, namun pengungkapan nominal Rp144 juta ini membuka kemungkinan adanya peran lebih besar dalam memuluskan pengeluaran fiktif.
Fakta ini memperkuat dugaan bahwa PMI Palembang dioperasikan secara kolektif sebagai “ATM Pribadi”. Kejaksaan hingga kini belum merinci peranan Agus Budiman secara detail, tetapi nominal tersebut menempatkan dirinya sebagai salah satu penerima manfaat terbesar di luar pasangan terdakwa utama.
Banalitas Kejahatan dalam Korupsi PMI Palembang Berlanjut
Selain lingkaran jaringan yang meluas, dakwaan kembali menyoroti betapa remeh-temehnya objek korupsi yang membiayai dana kemanusiaan ini. JPU merinci penggunaan dana untuk belanja kebutuhan rumah tangga, membeli parcel, ayam, biaya sekolah anak, dan krim wajah. Total pengeluaran pribadi Dedi Siprianto mencapai Rp664,1 juta; terdakwa menutupi pengeluaran ini dengan laporan pertanggungjawaban fiktif pembelian sembako.
Lebih jauh, pengeluaran fantastis untuk papan bunga pribadi Dedi dan Fitrianti (Rp239,8 juta) serta pembelian mobil Toyota Hi-Ace atas nama UTD PMI tetapi digunakan untuk kepentingan Dedi, menegaskan eksploitasi fasilitas kemanusiaan untuk kepentingan politik dan pribadi. Kasus ini menunjukkan bagaimana kekuasaan politik dapat menyusup dan memanfaatkan lembaga nirlaba.
Papan Bunga dan Mobil Kredit: Eksploitasi Jabatan Publik
Dakwaan jaksa mengungkap pula eksploitasi jabatan publik. Dana PMI senilai Rp239,8 juta diduga digunakan untuk pembelian papan bunga atas nama pribadi Fitrianti sebagai Wakil Wali Kota dan Dedi sebagai anggota DPRD Sumsel. Selain itu, jaksa menemukan pembelian satu unit mobil Toyota Hi-Ace secara kredit atas nama UTD PMI, namun terdakwa menggunakannya untuk kepentingan pribadi.
Dua rincian pengeluaran ini memperkuat angle kekuasaan dalam kasus Korupsi PMI Palembang ini: kekuasaan politik (Wawako dan DPRD) menyalahgunakan dana kemanusiaan untuk memfasilitasi dan membenarkan penyalahgunaan dana.
Argumentasi Hukum yang Menguji Batas Kerugian Negara dalam Korupsi PMI Palembang
Meskipun detail dakwaan sangat kuat, penasihat hukum Dedi Siprianto, Grees Selly SH MH, kompak menolak dakwaan jaksa. Alasannya: dana PMI adalah anggaran internal lembaga, bukan bersumber dari APBD, sehingga tidak sah bila dianggap kerugian negara.
Oleh karena itu, kasus ini menjadi penting secara hukum. Jaksa mendakwa dengan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor, yang merujuk pada kerugian negara. Majelis hakim kini harus menilai: apakah dana yang dikelola lembaga swasta yang mengemban misi publik, seperti PMI, otomatis terklasifikasi sebagai keuangan negara saat terjadi penyalahgunaan? Putusan ini akan menghasilkan preseden hukum yang krusial bagi akuntabilitas seluruh lembaga nirlaba di daerah. (InSan)
NUSALY Channel
Dapatkan kabar pilihan editor dan breaking news di Nusaly.com WhatsApp Channel. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.