PALEMBANG, NUSALY – Komitmen “Polri Berbenah” di Sumatera Selatan (Sumsel) mendapat ujian serius setelah sidang Komisi Kode Etik Profesi (KKEP) Polda Sumsel menjatuhkan vonis terhadap enam oknum polisi. Meskipun Polda Sumsel mengklaim proses ini transparan dan konsisten, rincian putusan mengungkap adanya disparitas signifikan dalam penindakan pelanggaran, terutama yang menyangkut nyawa dan integritas.
Kepala Bidang Humas Polda Sumsel Kombes Nandang Mukmin Wijaya menyatakan bahwa semua pelanggaran diproses untuk menjaga kepercayaan publik. Namun, publik kini mempertanyakan bobot putusan: Briptu ARB direkomendasikan Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) setelah terbukti positif mengonsumsi narkoba, sementara tiga perwira yang terlibat insiden berujung korban jiwa hanya menerima demosi ringan.
Akuntabilitas Kekerasan: Demosi Ringan yang Menguji Slogan Polri Berbenah
Tiga perwira—AKP H, Iptu M, dan Ipda Y—dinyatakan bersalah karena “tidak profesional” dalam penangkapan yang tidak sesuai SOP, mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Atas pelanggaran fatal ini, sidang KKEP memutuskan hukuman demosi selama 2 tahun di luar fungsi reserse, perbuatan tercela, dan permintaan maaf lisan.
Hukuman demosi 2 tahun ini berlawanan tajam dengan tuntutan publik terhadap akuntabilitas kekerasan berlebihan yang mengakibatkan korban jiwa. Label “tidak profesional” terkesan meringankan dampak dari kegagalan SOP yang paling serius.
Perbandingan ini menimbulkan pertanyaan fundamental: apakah institusi Polri menilai pelanggaran integritas (narkoba) lebih berat daripada pelanggaran profesionalisme yang merenggut nyawa? Sikap ini dapat melemahkan upaya Polri Berbenah secara kredibel di mata masyarakat.
Pelanggaran Digital dan Narkoba: Hukuman Maksimal dalam Berbenah Polri
Di sisi lain, putusan terhadap dua bintara menunjukkan penindakan yang jauh lebih tegas dan berat. Bripka W menerima sanksi penempatan khusus (Dipatsus) 30 hari dan demosi selama 10 tahun karena pelanggaran moral yang terekam di media sosial. Hukuman ini menekankan pentingnya menjaga citra kepolisian di ruang publik digital.
Paling keras, Briptu ARB dijatuhi hukuman Dipatsus 30 hari dan rekomendasi PTDH karena positif narkoba saat masa pembinaan. Tindakan tegas terhadap narkoba ini menguatkan komitmen Polri untuk membersihkan institusi dari zat adiktif. Namun, kontras antara PTDH untuk narkoba dan demosi ringan untuk penyebab korban jiwa menguji konsistensi slogan “Polri Berbenah” itu sendiri.
Konsistensi Etika dan Kekuatan Sidang KKEP untuk Polri Berbenah
Kasus ini menjadi studi kasus penting bagi transparansi Polri dalam menegakkan kode etik. Klaim Kabid Humas Polda Sumsel bahwa institusi tidak menutup-nutupi kesalahan internal harus dibuktikan melalui putusan yang adil dan proporsional.
Publik berhak mengetahui mengapa pelanggaran SOP fatal yang berakibat kematian diganjar lebih ringan dibandingkan pelanggaran moral di media sosial atau penyalahgunaan narkoba.
Oleh karena itu, sidang KKEP ini mengharuskan Polri untuk merefleksikan ulang standar hukuman internal mereka, terutama pada kasus-kasus yang melibatkan kekerasan dan nyawa. Keadilan tidak hanya terletak pada pemecatan oknum narkoba, tetapi juga pada penindakan tegas terhadap penyalahgunaan kekuasaan di lapangan. (emen)
NUSALY Channel
Dapatkan kabar pilihan editor dan breaking news di Nusaly.com WhatsApp Channel. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.