PALEMBANG, NUSALY – Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan (Pemprov Sumsel) kembali merayakan pencapaian prestisius: opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) atas laporan keuangan tahun anggaran 2024. Ini bukan sekadar gelar, melainkan sebuah rekor, kali ke-11 secara berturut-turut. Namun, di balik seremonial Rapat Paripurna XIV DPRD Sumsel pada Rabu (4/6/2025) tempat opini ini disampaikan Dirjen Pemeriksaan Keuangan Negara I BPK RI Sarjono, terhampar pertanyaan mendalam: Sejauh mana opini WTP merepresentasikan akuntabilitas sejati di tengah kompleksitas tata kelola daerah?
Gubernur Sumsel, Herman Deru, tak dapat menyembunyikan kebanggaannya. “Alhamdulillah hari ini kita menerima LHP BPK atas Laporan Keuangan Pemprov Sumsel TA 2024, yang kembali meraih opini WTP untuk ke-11 kalinya. Terima kasih atas capaian ini. Ini adalah hasil kerja seluruh perangkat, termasuk dukungan dari legislatif,” ujarnya.
Deru mengklaim pencapaian ini sebagai buah dari kerja kolektif dalam mewujudkan tata kelola keuangan yang transparan dan akuntabel, sebuah prinsip yang seringkali menjadi sorotan tajam di tengah pelbagai kasus penyelewengan. “Opini WTP bukan sekadar prestasi administratif, tetapi menjadi simbol kepercayaan publik terhadap integritas pengelolaan keuangan daerah,” katanya, mencoba menempatkan WTP pada level yang lebih substansial.
Narasi Kepatuhan vs Realitas Korupsi: Di Mana Garis Batasnya?
Klaim Gubernur bahwa laporan keuangan ini adalah fondasi penting untuk mendukung program strategis seperti peningkatan infrastruktur, pengembangan SDM, dan pelayanan publik berkualitas, memang patut diapresiasi. “Kami memastikan bahwa seluruh proses dilaksanakan sesuai prinsip transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas,” tegas Deru, menegaskan komitmen Pemprov Sumsel terhadap regulasi. Ia bahkan menyebut kepatuhan terhadap aturan bukan sekadar kewajiban administratif, melainkan bentuk tanggung jawab moral dalam menjalankan amanah rakyat.
Namun, rekam jejak berita korupsi yang tak henti-hentinya menerpa berbagai level pemerintahan daerah, termasuk di Sumsel sendiri, kerap menggugat narasi tentang “tanggung jawab moral” di balik opini WTP. Jikapun WTP adalah cermin dari kepatuhan administrasi, pertanyaan besar tetap ada: apakah itu juga cerminan dari nihilnya praktik “lancung” yang merugikan rakyat?
Dirjen Pemeriksaan Keuangan Negara I BPK RI, Sarjono, sendiri mengakui bahwa WTP diberikan “berdasarkan hasil pemeriksaan serta pelaksanaan rencana aksi atas tindak lanjut rekomendasi sebelumnya.” Frasa “rekomendasi sebelumnya” ini adalah celah penting. Artinya, meskipun opini WTP diberikan, ada celah dan catatan perbaikan yang harus ditindaklanjuti. Konsistensi WTP selama 11 tahun adalah “pencapaian luar biasa” menurut Sarjono, yang diharapkan menjadi “motivasi untuk terus meningkatkan akuntabilitas dan transparansi.”
Lebih dari Angka: Tantangan Sejati di Balik Simbol Kepercayaan
Penerimaan opini WTP ke-11 kalinya ini, memang menunjukkan Pemprov Sumsel telah berhasil memenuhi standar audit BPK. Namun, bagi masyarakat, akuntabilitas sejati bukan hanya tentang kepatuhan administratif di atas kertas, melainkan tentang bagaimana setiap rupiah anggaran benar-benar dirasakan manfaatnya tanpa ada kebocoran atau penyelewengan.
Janji Gubernur untuk menindaklanjuti rekomendasi BPK dan terus meningkatkan standar tata kelola keuangan serta kualitas pelayanan publik adalah hal yang dinanti. Di era di mana publik semakin kritis dan transparan, opini WTP haruslah menjadi pijakan, bukan titik henti. Tantangan sesungguhnya adalah membuktikan bahwa “simbol kepercayaan publik” ini benar-benar terwujud dalam setiap lini pembangunan, dan tidak ada celah bagi “praktik lancung” yang menggerogoti amanah rakyat. (desta)
NUSALY Channel
Dapatkan kabar pilihan editor dan breaking news di Nusaly.com WhatsApp Channel. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.