KAYUAGUNG, NUSALY – Sebuah laporan audit yang diterbitkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) Perwakilan Sumatera Selatan telah membunyikan alarm keras bagi pengelolaan keuangan Pemerintah Kabupaten Ogan Komering Ilir (Pemkab OKI). Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Sistem Pengendalian Intern dan Kepatuhan terhadap Ketentuan Peraturan Perundang-undangan Pemerintah Kabupaten Ogan Komering Ilir Tahun 2024, dengan Nomor 40.B/LHP/XVIII.PLG/05/2025 Tanggal 24 Mei 2025, BPK mengungkap serangkaian permasalahan fundamental. Temuan ini menyoroti kelemahan sistem pengendalian intern dan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, khususnya terkait penganggaran belanja daerah yang berujung pada kesulitan likuiditas yang mengkhawatirkan.
Dokumen BPK tersebut secara gamblang menyatakan bahwa “Penganggaran Belanja Daerah Tidak Sesuai Ketentuan Menimbulkan Kesulitan Likuiditas”. Ini adalah pernyataan serius yang mengindikasikan adanya masalah struktural dalam perencanaan dan pelaksanaan anggaran di OKI. Belanja daerah, yang merupakan semua pengeluaran dari Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) yang tidak perlu diterima kembali oleh daerah, seharusnya dilakukan berdasarkan kebutuhan yang terukur dan sesuai dengan tujuan pembangunan daerah. Prinsip efisiensi, efektivitas, transparansi, dan akuntabilitas, sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPPPD), seharusnya menjadi landasan utama. Namun, hasil pemeriksaan BPK menunjukkan adanya penyimpangan signifikan dari prinsip-prinsip tersebut.
Defisit APBD Terus Membengkak, Ancam Stabilitas Keuangan
Salah satu temuan paling mencolok dari BPK adalah bahwa Pemkab OKI belum mengelola defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) secara memadai. Defisit APBD, yang merupakan selisih antara pendapatan dan belanja daerah, adalah indikator penting kesehatan keuangan suatu pemerintah daerah. Idealnya, defisit harus dikelola dengan hati-hati dan dibiayai melalui sumber penerimaan pembiayaan yang jelas, seperti penggunaan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) tahun sebelumnya, cadangan, pinjaman, atau hasil penjualan kekayaan daerah.
Namun, di Pemkab OKI, defisit ini justru menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. BPK telah menyoroti permasalahan defisit ini dalam dua LHP sebelumnya. Pada LHP Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Pemkab OKI Tahun 2023 (Nomor 50/LHP/XVIII.PLG/05/2024 tanggal 25 Mei 2024), BPK mengungkap defisit riil yang mencapai Rp308,30 miliar. Tak hanya itu, penggunaan Kas yang Dibatasi Penggunaannya (Restricted Cash) juga ditemukan tidak sesuai peruntukan, nilainya mencapai Rp208,74 miliar pada tahun yang sama. Tren ini berlanjut pada LHP Kinerja Pengelolaan APBD Nomor 02/LHP/XVIII.PLG/01/2025 tanggal 6 Januari 2025, yang mencatat defisit riil hingga Semester I 2024 sebesar Rp59,59 miliar.
Situasi tidak membaik di akhir tahun. Berdasarkan hasil pemeriksaan atas Laporan Realisasi Anggaran Tahun Anggaran (TA) 2024, defisit riil Pemkab OKI justru melonjak sebesar 17,73 persen dibandingkan TA 2023, mencapai angka Rp362,97 miliar.
Data perbandingan antara TA 2023 dan TA 2024 semakin memperjelas gambaran ini. Meskipun realisasi pendapatan Pemkab OKI pada 2024 mengalami kenaikan sekitar Rp391,10 miliar atau 15,57 persen dibandingkan 2023, peningkatan ini tidak serta-merta memperbaiki kondisi defisit. Sebaliknya, SiLPA tahun sebelumnya menurun, mengurangi sumber pembiayaan defisit. Di sisi lain, utang belanja Pemkab OKI justru melonjak sekitar Rp57,63 miliar pada 2024, menunjukkan tekanan yang makin besar pada anggaran daerah. Beban belanja secara keseluruhan juga meningkat drastis hingga lebih dari Rp427 miliar dibandingkan tahun sebelumnya.
Jebakan Utang Belanja: Pendapatan Naik, Beban Tak Terkendali
Temuan BPK berikutnya yang tak kalah krusial adalah bahwa Pemkab OKI belum memiliki strategi yang jelas untuk menyelesaikan utang belanjanya. Kewajiban jangka pendek seharusnya dilunasi dalam waktu 12 bulan setelah tanggal pelaporan. Namun, BPK menemukan bahwa dari total utang belanja sebesar Rp406,52 miliar pada 2024, terdapat utang yang telah melewati jatuh tempo, mencapai Rp52,70 miliar. Angka fantastis ini mencakup utang-utang yang menunggak sejak tahun 2018, 2020, 2022, hingga utang besar dari tahun 2023.
Bidang Perbendaharaan Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Pemkab OKI secara terus terang mengakui bahwa kondisi ini disebabkan oleh ketidakmampuan keuangan Pemkab OKI dalam membayar utang belanjanya hingga akhir 2024. Ironisnya, kondisi ini terjadi di tengah kenaikan pendapatan daerah.
Analisis BPK menunjukkan bahwa pada TA 2024, terjadi kenaikan pendapatan daerah sebesar 15,57 persen dibandingkan TA 2023, dengan total kenaikan lebih dari Rp391 miliar. Kenaikan ini ditopang oleh peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang melonjak hingga 40,39 persen, serta Pendapatan Transfer yang juga naik 13,33 persen. Namun, di saat pendapatan melaju, utang belanja justru ikut naik sekitar 16,52 persen dibandingkan utang belanja TA 2023. Data ini, menurut BPK, mengindikasikan adanya ketidakkomitmenan Pemkab OKI dalam mengatasi utang belanjanya, padahal potensi intensifikasi pendapatan atau efisiensi belanja bisa menjadi solusi.
Belanja Pegawai Tak Terukur dan Dana Prioritas Diduga Disalahgunakan
BPK juga menyoroti dua permasalahan lain yang semakin memperparah kondisi keuangan dan menunjukkan lemahnya pengendalian intern Pemkab OKI:
Pertama, penganggaran belanja pegawai yang tidak memperhitungkan kemampuan keuangan daerah. Analisis BPK terhadap tren kenaikan anggaran belanja daerah antara TA 2023 dan TA 2024 menemukan peningkatan signifikan pada Belanja Pegawai, khususnya Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP). Kenaikan TPP ini mencapai Rp37,10 miliar atau sebesar 35,97 persen dibandingkan TA 2023. Ironisnya, Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala BPKAD yang juga Sekretaris Tim Anggaran Pendapatan Daerah (TAPD) menyatakan bahwa kenaikan TPP ini tidak memiliki pertimbangan tertentu. Ini mengindikasikan adanya kebijakan penganggaran yang tidak berbasis pada analisis kemampuan keuangan daerah, sebuah kelemahan fundamental dalam perencanaan anggaran.
Kedua, adanya penggunaan kas yang dibatasi penggunaannya (restricted cash) yang tidak sesuai peruntukan. Restricted cash adalah dana kas yang penggunaannya telah ditentukan atau terikat oleh peraturan perundang-undangan atau perikatan tertentu. Dana ini seharusnya tidak dapat digunakan secara bebas. Pada Tahun 2023, Pemkab OKI menerima transfer dana prioritas seperti Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Alokasi Umum Peruntukan/Specific Grant (DAU SG), Dana Insentif Daerah (DID), Dana Bagi Hasil (DBH) Sawit, dan Bantuan Keuangan Bersifat Khusus (BKBK) dari Gubernur Sumsel.
Namun, hasil pemeriksaan BPK menemukan penyimpangan serius. Per 31 Desember 2024, seharusnya masih terdapat saldo restricted cash sebesar Rp179,36 miliar. Faktanya, rekening Kas Daerah hanya menunjukkan sisa uang sekitar Rp24,32 miliar. Ini berarti telah terjadi penggunaan kas yang dibatasi penggunaannya sebesar Rp155,04 miliar untuk menutupi dana yang tidak tersedia bagi kegiatan atau belanja yang dianggarkan pada APBD. Kepala Bidang Perbendaharaan menjelaskan bahwa penggunaan restricted cash ini terpaksa dilakukan karena kondisi keuangan Pemkab OKI yang tidak mampu membayar utang belanjanya, dan tidak ada strategi khusus untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Implikasi Serius: Program Prioritas Terancam, Gugatan Menanti
Kondisi pengelolaan keuangan yang tidak sesuai ketentuan ini berimplikasi serius dan menimbulkan berbagai risiko yang mengancam pembangunan serta pelayanan publik di OKI. BPK secara eksplisit merinci beberapa dampak krusial:
- Risiko tidak terlaksananya kegiatan prioritas nasional dan provinsi: Dana yang telah ditentukan peruntukannya berpotensi tidak dapat digunakan sesuai tujuan, menghambat pembangunan dan pelayanan publik yang vital bagi masyarakat.
- Risiko gugatan dari pihak ketiga: Utang belanja yang belum dibayarkan dapat memicu gugatan hukum dari para vendor atau penyedia barang/jasa, yang dapat merusak reputasi dan kredibilitas Pemkab OKI.
- Risiko utang belanja kepada pihak ketiga tidak bisa segera dibayarkan: Hal ini akan semakin memperburuk kesulitan likuiditas yang sudah ada dan dapat mengganggu operasional pemerintahan secara keseluruhan.
Permasalahan fundamental ini, menurut BPK, disebabkan oleh Tim Anggaran Pendapatan Daerah (TAPD) dan Badan Anggaran DPRD yang belum optimal dalam penetapan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS). Lebih jauh, BPK menilai mereka belum menunjukkan komitmen yang kuat untuk mempertimbangkan potensi pendapatan, kebutuhan belanja, dan kemampuan keuangan daerah dalam menetapkan APBD. Ini adalah akar masalah sistemik yang membutuhkan intervensi serius dan perbaikan tata kelola yang fundamental.
Atas temuan dan rekomendasi BPK ini, Bupati OKI telah menyatakan sependapat dan berkomitmen akan menindaklanjuti rekomendasi BPK. BPK merekomendasikan kepada Bupati OKI agar bersama dengan pihak legislatif (DPRD) segera membuat rencana aksi (action plan) yang konkret untuk menyelesaikan defisit Pemkab OKI dan mengintegrasikannya secara ketat dalam penetapan KUA dan PPAS di masa mendatang.
Laporan BPK ini menjadi cermin sekaligus cambuk bagi Pemkab OKI untuk segera berbenah. Transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi anggaran bukan lagi pilihan, melainkan keharusan mutlak demi menjaga kepercayaan publik dan memastikan roda pemerintahan berjalan optimal demi kesejahteraan masyarakat Ogan Komering Ilir. Publik kini menanti langkah nyata dari Pemkab OKI untuk mengatasi krisis keuangan ini dan mencegah terulangnya praktik yang merugikan negara. (dhi)
NUSALY Channel
Dapatkan kabar pilihan editor dan breaking news di Nusaly.com WhatsApp Channel. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.






