Bukittinggi, Nusaly.com – Sikap dan profesionalisme KPU Bukittinggi dipertanyakan menyusul dugaan diskriminasi terhadap wartawan dalam meliput rapat pleno hasil Pemilu 2024 yang diadakan di Hotel Rocky Bukittinggi pada Februari 2024.
Hanya segelintir wartawan yang diizinkan menghadiri rapat tersebut, menimbulkan kecurigaan bahwa KPU memilih media tertentu dan mengabaikan yang lain. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) No. 14 Tahun 2008 yang menjamin hak setiap orang untuk memperoleh informasi publik.
Pelanggaran Hak Informasi Publik
UU KIP No. 14 Tahun 2008 Bab III Pasal 4 (1) dan (2) huruf a, b, c, dan d, secara jelas menyatakan bahwa:
- Setiap orang berhak memperoleh Informasi Publik sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. (Pasal 4 ayat 1)
- Setiaporang berhak:
- Melihat dan mengetahui Informasi Publik; (Pasal 4 ayat 2 huruf a)
- Menghadiri pertemuan publik yang terbuka untuk umum untuk memperoleh Informasi Publik; (Pasal 4 ayat 2 huruf b)
- Mendapatkan salinan Informasi Publik melalui permohonan sesuai dengan Undang-Undang ini; (Pasal 4 ayat 2 huruf c)
- Menyebarluaskan Informasi Publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (Pasal 4 ayat 2 huruf d)
Diskriminasi Wartawan oleh Ketua KPU Bukittinggi
Tindakan Ketua KPU Bukittinggi, Satria Putra, SH, yang membatasi akses wartawan dalam meliput rapat pleno KPU telah memicu kecaman dari berbagai pihak. Satria memilih lima media tertentu untuk meliput kegiatan tersebut, dengan alasan masukan dari wartawan.
Namun, pernyataannya tentang anggaran terbatas untuk media menimbulkan keraguan. Jika memang anggaran menjadi kendala, seharusnya KPU mencari solusi yang adil dan transparan, bukan mendiskriminasi media tertentu.
Kecaman dari Jurnalis Nasional
Ketua Jurnalis Nasional Indonesia, Hendry Campay, angkat bicara mengenai sikap KPU Bukittinggi. Menurutnya, tindakan Satria Putra merupakan pelecehan terhadap profesi wartawan.
“Seharusnya KPU profesional dalam bekerja. Jika ada alasan anggaran terbatas, itu mustahil. Jangan ukur wartawan dengan uang. Tugas wartawan adalah tugas mulia yang bekerja tanpa batas waktu,” tegas Hendry Campay.
Tanggapan KPU Bukittinggi
Saat dikonfirmasi, Satria Putra SH tetap bersikukuh dengan keputusannya. Dia berdalih bahwa pemilihan lima media tersebut berdasarkan masukan dari wartawan.
Namun, penjelasannya tidak memuaskan, dan kecurigaan diskriminasi semakin kuat. Ditambah lagi, setelah protes dari beberapa wartawan, KPU akhirnya menambahkan lima media lagi yang diizinkan meliput. Hal ini semakin mempertegas dugaan ketidakadilan dalam akses informasi.
Tindakan KPU Bukittinggi dalam membatasi akses wartawan dalam meliput rapat pleno KPU patut dipertanyakan. Hal ini bukan hanya melanggar UU KIP No. 14 Tahun 2008, tetapi juga menunjukkan sikap tidak profesional dan diskriminatif terhadap profesi wartawan.
KPU Bukittinggi perlu mengevaluasi kembali perilakunya dan memastikan transparansi serta akses informasi yang adil bagi seluruh media dalam menjalankan tugas jurnalistiknya.
Kasus ini menjadi pengingat bagi KPU di seluruh Indonesia untuk selalu menjunjung tinggi profesionalisme dan menjunjung tinggi hak informasi publik, termasuk hak wartawan untuk mendapatkan informasi yang akurat dan berimbang. ***