GORONTALO, NUSALY — Beredarnya video viral yang menampilkan seorang anggota DPRD Provinsi Gorontalo, Wahyudin Moridu, membuat kegaduhan publik. Dalam video tersebut, Wahyudin mengaku hendak merampok uang negara dan bahkan membawa “hubungan gelap” alias “hugel” dalam perjalanan dinas. Insiden ini sontak menjadi sorotan dan menimbulkan pertanyaan besar tentang etika, integritas, dan pengawasan terhadap para wakil rakyat.
Dalam video yang beredar, Wahyudin terlihat sedang mengemudikan mobil menuju Makassar. Dengan nada santai dan tawa, ia berbicara tentang perjalanan tersebut. “Kita hari ini menuju Makassar menggunakan uang negara. Kita rampok aja uang negara ini. Kita habiskan aja biar negara ini semakin miskin,” katanya.
Ia kemudian menambahkan, “Membawa hugel (hubungan gelap) langsung ke Makassar menggunakan uang negara. Siapa ji Wahyudin Moridu Anggota DPRD Provinsi Gorontalo. Nanti 2031 berhenti masih lama.” Pernyataan ini menunjukkan sikap yang terkesan meremehkan penggunaan anggaran negara.
Klarifikasi Kontradiktif dan Pengakuan di Depan Institusi
Setelah video tersebut viral, Wahyudin segera memberikan klarifikasi. Ia membuat video permohonan maaf, di mana ia didampingi oleh seorang wanita yang ia sebut sebagai istrinya. Dalam video itu, ia meminta maaf atas ucapannya dan menyatakan tidak berniat melecehkan masyarakat Gorontalo. Namun, penjelasan ini menjadi kontradiktif dengan pernyataan yang ia sampaikan kepada Badan Kehormatan (BK) DPRD Provinsi Gorontalo.
Saat dipanggil oleh BK, Wahyudin mengakui bahwa ia adalah orang yang berada dalam video tersebut. Namun, ia menyajikan alibi yang berbeda. Ketua BK DPRD Provinsi Gorontalo, Fikram Salilama, mengungkapkan bahwa Wahyudin berdalih dalam kondisi mabuk saat itu. “Kami pertanyakan lagi apakah saudara tahu bahwa saudara yang sementara bicara dalam video itu yang bersangkutan menyampaikan beliau tahu beliau yang bicara dalam video itu,” ujar Fikram. Ia melanjutkan, “Yang bersangkutan menyampaikan dari tadi malam dia minum-minuman keras sampai besok paginya itu ke bandara dia masih kondisi tidak sadar artinya dalam keadaan mabuk.” Pengakuan ini membingungkan, karena dalam video klarifikasi, ia terlihat sadar dan didampingi orang yang ia sebut istri.
Jarak Jauh antara Etika dan Realitas
Kasus Wahyudin Moridu melampaui sekadar viralitas. Kasus ini adalah cerminan dari krisis etika dan integritas yang sering kali terjadi di kalangan pejabat publik. Pernyataan Wahyudin, baik saat merekam video maupun saat klarifikasi, menunjukkan kurangnya kesadaran akan tanggung jawab dan posisinya sebagai wakil rakyat. Menggunakan uang negara untuk kepentingan pribadi dan menganggapnya sebagai hal sepele menunjukkan mentalitas yang tidak sejalan dengan tuntutan moral publik.
Respons Wahyudin yang berubah-ubah—mulai dari menyebut wanita itu sebagai istri, hingga kemudian mengaku dalam kondisi mabuk—menunjukkan upaya untuk mengelak dari tanggung jawab. Sikap ini berpotensi merusak kepercayaan publik tidak hanya pada dirinya, tetapi juga pada lembaga DPRD secara keseluruhan. Kepercayaan adalah aset terpenting bagi sebuah institusi legislatif.
Respons dari BK DPRD yang berjanji akan membawa kasus ini ke persidangan etika adalah langkah yang benar. Meskipun demikian, publik akan mengawasi dengan ketat bagaimana institusi ini menangani kasus tersebut. Apakah BK akan memberikan sanksi tegas sesuai kode etik, ataukah akan ada sanksi yang ringan? Putusan ini akan menjadi ujian bagi integritas institusi tersebut.
Kasus ini menjadi pelajaran berharga. Ini adalah pengingat bagi setiap pejabat publik bahwa setiap perkataan dan tindakan mereka terekam, tidak hanya oleh media, tetapi juga oleh masyarakat. Era digital menuntut transparansi dan akuntabilitas yang lebih tinggi. Peristiwa ini juga mengingatkan masyarakat bahwa mengawasi wakil rakyat mereka adalah bagian krusial dari demokrasi. (sabri)
NUSALY Channel
Dapatkan kabar pilihan editor dan breaking news di Nusaly.com WhatsApp Channel. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.