Banner Sumsel HUT RI 80

Banner Pemkab OKI HUT RI 80

Banner Sampoerna Agro HUT RI 80

Banner Asisten III Setda OKI HUT RI 80
Headline

Sungsang, Saat Muara Memendam Harta Karun dan Legenda

×

Sungsang, Saat Muara Memendam Harta Karun dan Legenda

Sebarkan artikel ini

Di Kabupaten Banyuasin, desa Sungsang IV menjadi simpul unik di mana kekayaan biota laut bertemu dengan keajaiban konservasi. Namun, kembalinya ikan langka memunculkan dilema antara potensi ekonomi fantastis dan tantangan pelestarian.

Sungsang, Saat Muara Memendam Harta Karun dan Legenda
Sungsang, Saat Muara Memendam Harta Karun dan Legenda. Foto: Sumeks.co

BANYUASIN, NUSALY – Aroma air asin dan lumpur payau memeluk kami saat perahu bermotor merapat di bibir dermaga. Suara deru mesin kapal bercampur dengan sahutan tawa para nelayan yang sibuk menumpuk jaring. Di Desa Sungsang IV, Kabupaten Banyuasin, kami tidak hanya menemukan sebuah perkampungan nelayan, melainkan sebuah simpul peradaban yang berdenyut di tengah ekosistem paling unik di dunia. Di sini, di muara yang luas, cerita tentang udang melimpah, burung migran, dan legenda ikan bertatahkan emas, hidup berdampingan.

Pagi itu, di sela Media Field Trip FJM bersama SKK Migas-KKKS Sumsel, saya mendapati Sungsang adalah mozaik hidup. Wajah-wajah nelayan, yang sebagian besar keturunan Palembang, Jawa, dan Bugis, terlihat lelah namun penuh optimisme. Mereka berbagi kisah tentang kehidupan di atas air.

“Di sini itu percampuran air asin dan payau, Pak. Makanya banyak udang,” cerita seorang nelayan paruh baya dengan senyum ramah, sembari tangannya cekatan memisahkan tangkapan udang dari ikan-ikan kecil.

Udang-udang itu, saya perhatikan, bukan sembarang udang. Ada yang ukurannya sebesar jari (udang burung), ada yang berwarna pink cerah (udang pink), hingga udang kecil transparan (udang rebon). Udang-udang ini, saya ketahui dari Kepala Desa Romi Chandra, adalah komoditas ekspor mahal, bahan baku pempek, hingga terasi yang menjadi ciri khas Palembang.

Jaring-jaring para nelayan adalah jaring penangkap rezeki, yang dari sanalah dapur-dapur di Palembang dan bahkan pasar internasional mengepul.

Di antara Mangrove dan Sayap-sayap dari Timur

Namun, pesona Sungsang tidak berakhir di jaring para nelayan. Beberapa meter dari bibir pantai, hutan mangrove membentang luas, menghijaukan mata dan menenangkan jiwa. Kawasan ini, yang sebagian besar adalah bagian dari Taman Nasional Sembilang, telah diakui UNESCO sebagai Cagar Biosfer Dunia. Di sana, di antara akar-akar kokoh pohon bakau, sebuah keajaiban alam terjadi setiap tahun.

Baca juga  Bupati Banyuasin Tunjuk Plt Kepala Satpol PP dan Dinas Perpustakaan, Imbas Kasus Dugaan Korupsi

“Ini adalah jalur persinggahan burung migran dari Asia Timur,” jelas seorang pendamping dari tim media. Ia mengajak kami membayangkan ribuan burung yang terbang ribuan kilometer, singgah di Sungsang untuk beristirahat.

Desa nelayan yang sederhana ini menjadi sebuah rest area global bagi makhluk bersayap, membuktikan bahwa Sungsang bukan hanya lumbung ekonomi, tetapi juga pelabuhan kehidupan bagi alam itu sendiri. Bagi warga, ini adalah berkah ganda.

Saat turis berdatangan untuk menyaksikan parade burung, pendapatan mereka dari hasil olahan laut melonjak drastis, sebuah bukti nyata bahwa alam yang lestari adalah sumber kemakmuran.

Legenda yang Kembali, Ancaman yang Mengintai

Namun, di tengah semua kekayaan itu, sebuah cerita legenda tiba-tiba menjadi nyata. Sebagian nelayan secara mengejutkan menangkap ikan tirusan (Otolithoides pama), ikan yang konon memiliki gelembung renang seharga ratusan juta rupiah.

“Sudah lama sekali ikan ini tidak terlihat, Pak. Begitu ada yang dapat, heboh semua,” ujar Kepala Desa Romi Chandra dengan mata berbinar. Ikan itu, yang tampak seperti ikan biasa, ternyata menyimpan harta karun di dalamnya. Sebuah harta yang bisa mengubah nasib satu keluarga dalam semalam.

Kisah penemuan ini seperti dongeng yang jadi kenyataan, namun juga membawa kekhawatiran yang mendalam. Seperti kata pepatah, di mana ada harta, di situ ada ancaman. Haryono, peneliti dari BRIN, mengingatkan bahwa tanpa regulasi yang ketat, spesies langka ini akan rentan terhadap eksploitasi berlebihan.

“Perlu pendataan, perlindungan habitat, dan batasan tangkapan. Jika tidak, ikan ini bisa menghilang lagi, kali ini untuk selamanya,” tegasnya, suaranya mengandung nada peringatan yang serius.

Sungsang kini berada di persimpangan. Ia memegang kunci kekayaan yang tak terhingga: ekosistem mangrove yang dilindungi, aliran perdagangan udang yang tak pernah putus, dan kini, kembalinya seekor ikan legenda.

Baca juga  WNA Tewas dalam Kecelakaan Speedboat di Teluk Tenggirik, Bukan Karyawan PT OKI Pulp & Paper Mills

Pertanyaannya adalah, apakah mereka akan mampu menjaga keseimbangan ini? Apakah para nelayan dan masyarakat akan terus melihat laut sebagai ibu yang harus dihormati, atau hanya sebagai gudang kekayaan yang bisa dikuras habis?

Di bawah langit Banyuasin yang luas, kisah tentang Sungsang adalah sebuah cermin yang merefleksikan tantangan terbesar manusia: bagaimana hidup harmonis di tengah anugerah alam yang begitu melimpah. (dhi)

NUSALY Channel

Dapatkan kabar pilihan editor dan breaking news di Nusaly.com WhatsApp Channel. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.