Hukum

Advokat Pembela Korban Kekerasan Seksual Meila Nur Fajriah Jadi Tersangka, Koalisi 122 Organisasi HAM Melawan!

×

Advokat Pembela Korban Kekerasan Seksual Meila Nur Fajriah Jadi Tersangka, Koalisi 122 Organisasi HAM Melawan!

Share this article
Advokat Pembela Korban Kekerasan Seksual Meila Nur Fajriah Jadi Tersangka, Koalisi 122 Organisasi HAM Melawan!
Advokat Pembela Korban Kekerasan Seksual Meila Nur Fajriah Jadi Tersangka, Koalisi 122 Organisasi HAM Melawan!

Kriminalisasi Advokat Meila Nur Fajriah Memicu Gelombang Protes dari Organisasi HAM dan Lembaga Hukum di Indonesia

JAKARTA, NUSALY.com – Sebanyak 122 organisasi dan lembaga HAM yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Kriminalisasi Terhadap Advokat Pendamping Korban, mengkritik dan mengecam dugaan kriminalisasi terhadap Meila Nur Fajriah, advokat dari LBH Yogyakarta. Meila dijadikan tersangka atas dugaan pencemaran nama baik oleh alumni UII berinisial IM, setelah ia menjadi pengacara sejumlah mahasiswi yang mengaku sebagai korban dugaan pelecehan seksual oleh IM.

Dugaan Kriminalisasi Advokat Pembela Hak Asasi Manusia

Kasus ini menarik perhatian banyak pihak, termasuk Julian Duwi Prasetia, Ketua YLBHI Yogyakarta. Menurut Julian, saat kasus ini mencuat, Indonesia tengah menghadapi pandemi COVID-19. Dalam kondisi serba terbatas, LBH Yogyakarta tetap berusaha memfasilitasi laporan dari para penyintas.

“Dan saat itu, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) belum dilegalisasi. Kasus ini terjadi di tahun 2020, ketika pemerintah tidak hadir untuk memenuhi hak-hak perempuan,” ungkap Julian dalam jumpa pers di kantor YLBHI, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (24/7).

Para korban pada awalnya tidak ingin menempuh jalur hukum, namun memiliki beberapa tuntutan, seperti agar pelaku tidak diberikan ruang publik. Julian menjelaskan bahwa kasus ini akhirnya naik setelah IM menggugat pencabutan gelarnya sebagai mahasiswa berprestasi di PTUN Yogya, namun PTUN menolak gugatan tersebut, yang berarti SK rektor yang mencabut gelar tersebut tetap sah.

Namun, setelah itu, IM melaporkan Meila, Julian, dan Dwi Rahayu ke Polda DIY atas dugaan pencemaran nama baik. Julian menyatakan bahwa LBH Yogyakarta sudah memberikan jawaban atas pertanyaan Polda DIY terkait apakah benar ada korban kekerasan seksual dalam kasus ini.

“Polda DIY menanyakan, apakah benar ada korban kekerasan seksual? Kami sudah menjawab itu. Tapi kalau diminta identitas, ini tantangan kami karena kami tidak bisa serta merta memberikan karena ini kerahasiaan klien,” jelas Julian.

Penetapan Tersangka: Sebuah Ancaman bagi Pembela Hak Asasi Manusia

Julian menegaskan bahwa konten yang menjadi objek laporan IM bukanlah tindakan pribadi Meila, melainkan keputusan lembaga. Meila bertindak sebagai penanggung jawab kasus namun tidak bekerja sendirian, melainkan sebagai bagian dari tim.

“Penetapan tersangka terhadap Meila bukanlah serangan terhadap Meila secara pribadi, melainkan terhadap LBH Yogyakarta sebagai lembaga yang concern terhadap pendampingan isu-isu perempuan dan serangan terhadap pembela hak-hak kemanusiaan,” lanjut Julian.

Intimidasi dan Teror terhadap Pendamping Korban

Perwakilan UII Bergerak yang enggan disebutkan identitasnya mengaku menerima banyak intimidasi berupa teror dari orang tak dikenal selama penanganan kasus kekerasan seksual di UII.

“Waktu itu kami menerima beberapa laporan, pertama di WhatsApp pribadi, kemudian email pribadi. Karena waktu itu kami buka grup solidaritas yang mendukung penyintas dan beberapa dari mereka adalah fans-fans pelaku. Saya sendiri beberapa kali menerima telepon tak dikenal yang mengintimidasi,” ungkapnya.

Kesaksian Fasya: Dampak Sosial dari Kriminalisasi

Fasya, seorang pendamping penyintas, juga mengalami intimidasi. Pada 29 April 2020, ia mengunggah kronologi kasus tersebut yang kemudian viral. Ia menerima banyak komentar dan DM dari para korban lain yang berterima kasih atas keberaniannya berbicara.

“IM ini kelakuannya seperti itu tapi nggak banyak yang cerita karena imejnya yang islami,” ujar Fasya.

Kecaman dari Aktivis dan Organisasi HAM

Nursyahbani Katjasungkana, Ketua Pembina YLBHI dan Ketua Pengurus LBH APIK, mengutuk keras sikap polisi terhadap para pembela HAM, khususnya dalam kasus Meila. Ia menyebut ini bukan pertama kalinya kriminalisasi terjadi terhadap pekerja bantuan hukum dan human rights defender.

“Ini adalah bukti serius terhadap pembela HAM dan pendamping korban kekerasan seksual. Tindakan ini mencederai hak impunitas yang dimiliki advokat pemberi bantuan hukum dan pendamping korban sesuai UU yang berlaku,” tegas Nursyahbani.

Desakan Penghentian Kriminalisasi

Ika Agustina, Direktur Eksekutif Kalyanamitra, juga mengecam kriminalisasi terhadap Meila. Ia menilai situasi ini menunjukkan bahwa perempuan pembela HAM masih menghadapi ancaman kriminalisasi dan intimidasi saat penanganan kasus dan saat mendampingi korban.

“Kami mendesak Polda DIY mengacu pada implementasi UU TPKS ini, melindungi korban dan pendampingnya, bukan mengkriminalisasi. Kami menyesalkan tindakan Polda DIY. Kalyanamitra mendesak hentikan proses hukum terhadap Meila, dan kami berdiri dengan Meila,” tegas Ika.

Solidaritas dari Jaringan Perempuan Yogyakarta

Ika Ayu, aktivis Jaringan Perempuan Yogyakarta, juga mengutuk keras penetapan tersangka terhadap Meila. Ia menekankan bahwa Polda DIY tidak menempatkan perspektifnya pada korban.

“Dari apa yang kita temui soal bagaimana Meila sebagai pendamping dikriminalisasi dan jadi tersangka, menunjukkan bahwa apa yang dianggap sebagai kekerasan seksual terhadap perempuan, justru ditiadakan pengalamannya,” jelas Ika.

Pernyataan Sikap Koalisi Masyarakat Sipil

Ketua YLBHI, Muhamad Isnur, mengapresiasi pernyataan tegas sejumlah lembaga hukum dan organisasi HAM dalam kasus ini. Ia berterima kasih atas dukungan yang telah mengirimkan desakan ke Polda DIY, sehingga hal ini menjadi pintu masuk bagi Kapolda DIY dan Kapolri untuk menimbang ulang penyidikan kasus Meila.

“Karena Meila adalah advokat, bagian dari penyintas korban memenuhi keadilan. Kriminalisasi terhadap pendamping korban menihilkan upaya negara dan ancaman nyata terhadap penegakan hukum itu sendiri,” kata Isnur.

Ia juga mengajak gerakan masyarakat sipil, organisasi HAM, dan yang peduli terhadap isu HAM, gender, dan perempuan, untuk mengirimkan surat desakan ke penyidik Ditreskrimsus Polda DIY yang ditembuskan ke Kejaksaan dan Kapolri. Hingga kini, sudah ada 47 organisasi yang telah mengirimkan surat desakan.

Di akhir konferensi pers, mereka membacakan pernyataan sikap yang ditandatangani oleh 122 organisasi yang mendukung Meila. Berikut isi pernyataan sikap Koalisi Masyarakat Sipil:

Kriminalisasi terhadap advokat pendamping korban kekerasan seksual adalah bukti kelemahan komitmen penghapusan kekerasan seksual di Indonesia.

Pada Senin, 24 Juni 2024, Polda DIY menetapkan Meila sebagai tersangka terkait pendampingannya dalam kasus kekerasan seksual di Yogyakarta. Sebagai advokat LBH Yogya, Meila telah membela 30 korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh IM, mantan mahasiswa berprestasi UII. Sebelumnya, UII telah membentuk tim pencari fakta dan menemukan 11 korban pelecehan seksual oleh IM.

Pencabutan gelar mahasiswa berprestasi IM oleh UII digugatnya ke PTUN, namun PTUN menolak gugatan tersebut. Setelah itu, IM melaporkan Meila ke Polda DIY atas tuduhan pencemaran nama baik. Penetapan tersangka Meila mengabaikan fakta penting dan bukti-bukti dari UII yang menunjukkan IM sebagai pelaku kekerasan seksual.

Kriminalisasi ini mencederai hak impunitas advokat yang memberikan bantuan hukum dan pendampingan korban sesuai UU yang berlaku. Kami mendesak Kapolri untuk mengevaluasi Kapolda DIY serta meminta Kapolda DIY menghentikan kriminalisasi terhadap Meila.

Kami juga meminta Kompolnas, Komnas HAM, dan Komnas Perempuan untuk mengawasi dan mengevaluasi kasus ini secara menyeluruh. Kriminalisasi ini adalah langkah mundur dalam penanganan kasus kekerasan seksual.

Kami bersama Meila, kami bersama korban, dan kami melawan segala bentuk kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia.

Kasus kriminalisasi terhadap Meila Nur Fajriah menunjukkan masih adanya tantangan besar dalam penegakan hukum bagi korban kekerasan seksual dan para pembela HAM di Indonesia. Dukungan luas dari koalisi masyarakat sipil menjadi bukti bahwa advokat yang membela korban harus dilindungi, bukan dikriminalisasi. Desakan untuk menghentikan penyidikan terhadap Meila adalah langkah penting untuk memastikan keadilan bagi korban dan pembela HAM di Indonesia. (dhi)

NUSALY Channel

Dapatkan kabar pilihan editor dan breaking news di Nusaly.com WhatsApp Channel. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.