Palembang, NUSALY – Lagi-lagi kasus dugaan korupsi di lembaga kemanusiaan Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Palembang menguak fakta yang mencengangkan di meja hijau. Mantan Wakil Wali Kota Palembang, Fitrianti Agustinda, yang terseret dalam pusaran kasus biaya pengganti pengolahan darah ini, kembali menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Negeri (PN) Palembang pada Selasa (4/11/2025). Ia disidang bersama terdakwa Dedi Sipriyanto atas dugaan kerugian negara yang ditaksir mencapai lebih dari Rp 4 miliar.
Sidang yang dipimpin Majelis Hakim Masriati SH MH menjadi sorotan lantaran lembaga PMI, yang seharusnya beroperasi murni untuk kepentingan sosial, diduga menjadi ladang penyimpangan dana.
Terungkap: Angka Rp 295.000 per Kantong
Fokus utama persidangan kali ini adalah pemeriksaan saksi dari pihak rumah sakit. Majelis Hakim mendengarkan kesaksian dr. Wanto, Direktur RS Myria KM 7 Palembang, yang membeberkan detail aliran uang dari rumah sakit ke PMI.
Di hadapan hakim, dr. Wanto mengkonfirmasi kebutuhan darah di RS Myria sangat tinggi, mencapai ratusan kantong setiap bulan. Angka tepatnya, menurut dr. Wanto, bisa menyentuh 869 kantong darah dalam sebulan.
“Kami rutin melakukan pembayaran kepada PMI berdasarkan invoice yang mereka kirimkan,” kata dr. Wanto. Ia merinci, pembayaran yang dikenakan PMI kepada rumah sakit untuk satu kantong darah, rata-rata adalah Rp 295.000.
Angka ini bukanlah rupiah yang sedikit. Buktinya, untuk tahun 2020 saja, RS Myria telah membayarkan total lebih dari Rp 256 juta kepada PMI Kota Palembang. Bahkan, pembayaran rutin ini terus bergulir hingga tahun 2023.
“Sampai saat ini pun, masih ada sisa tagihan invoice dari tahun 2023 yang belum kami selesaikan,” tambah saksi.
Mendengar pengakuan tersebut, Hakim Ketua Masriati langsung meminta saksi untuk membawa semua bukti pembayaran. “Nanti saat dipanggil lagi, saksi harus hadir dan membawa seluruh invoice tahun 2023 yang belum dibayarkan. Ini kami butuhkan sebagai kelengkapan pembuktian di persidangan,” tegasnya.
JPU Mendesak: Ini Biaya Pengelolaan, Bukan Jual Beli
Selesai persidangan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Syahran Jafizhan merasa perlu angkat bicara dan meluruskan persepsi di tengah masyarakat. Ini adalah kunci. JPU berupaya keras menggarisbawahi perbedaan mendasar antara biaya yang dibayarkan rumah sakit dengan praktik jual beli darah.
“Masyarakat harus tahu dan jangan salah tafsir. Uang yang dibayarkan rumah sakit kepada PMI, yang disebut sebesar Rp 295 ribu per kantong itu, adalah Biaya Pengganti Pengolahan Darah (BPPD),” tegas Syahran Jafizhan.
JPU menekankan, darah di PMI diperoleh secara sukarela dan gratis dari para pendonor. Tidak ada satu pun darah yang dijual. Namun, darah itu harus melalui serangkaian proses wajib untuk menjamin keselamatan pasien. Proses mulai dari screening penyakit menular, pengolahan komponen, penyimpanan, hingga distribusi ini memerlukan biaya operasional yang besar.
“Nah, dana BPPD inilah yang diduga dikuras dan diselewengkan oleh para terdakwa. Dana ini mestinya kembali ke operasional PMI, bukan masuk ke kantong pribadi,” jelasnya, menyoroti inti dari kasus korupsi tersebut.
Fitrianti dan Dedi Diduga Kuras Rp 1,4 Miliar
Menurut dakwaan JPU, Fitrianti Agustinda, sebagai pucuk pimpinan PMI kala itu, diduga menjadi pihak yang paling diuntungkan. Angka kerugian negara yang dikuras mencapai lebih dari Rp 4 miliar.
Rincian dana BPPD yang diduga mengalir ke pihak lain meliputi:
- Dedi Sipriyanto mendapat Rp 30,25 juta.
- Agus Budiman mendapat Rp 144 juta.
Di luar itu, JPU menduga Fitrianti dan Dedi menikmati keuntungan gabungan dari dana yang diselewengkan senilai Rp 1,4 miliar lebih.
Sidang kasus yang mencoreng institusi kemanusiaan ini dijadwalkan akan dilanjutkan pada pekan berikutnya, fokus pada penyelesaian kelengkapan bukti pembayaran yang baru diminta oleh majelis hakim.
(InSan)
NUSALY Channel
Dapatkan kabar pilihan editor dan breaking news di Nusaly.com WhatsApp Channel. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
