JAKARTA, NUSALY — Insiden penembakan yang dilakukan seorang oknum prajurit TNI, Praka Situmorang, di Gowa, Sulawesi Selatan, pada Kamis (25/9/2025) bukan hanya sekadar peristiwa kriminal biasa. Peristiwa itu merupakan pengulangan ironis dari masalah laten yang tidak pernah tuntas di tubuh TNI. Kejadian ini menambah panjang daftar kasus kekerasan yang melibatkan anggota militer, dari pembunuhan hingga penculikan, menegaskan betapa daruratnya reformasi internal dan sistem hukum.
Menurut Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra, maraknya peristiwa kekerasan yang melibatkan oknum TNI di muka publik belakangan ini menunjukkan adanya problem laten yang tidak pernah benar-benar berusaha diselesaikan. Ia memandang setidaknya ada dua masalah fundamental yang perlu ditangani segera.
Pertama, mengenai sistem pengawasan senjata yang buruk. Keluarnya senjata api jenis Pindad SS 2 dari gudang militer tanpa tujuan yang jelas adalah bukti nyata dari longgarnya pengawasan.
“Penggunaan senjata api oleh aparat negara seharusnya dilakukan dengan disiplin tinggi dan bertanggung jawab, bukan untuk menakut-nakuti apalagi menyakiti masyarakat,” ujar Ardi.
Akibatnya, senjata milik negara ini sering disalahgunakan untuk tujuan kriminal, seperti yang terjadi dalam kasus pembunuhan bos rental mobil di Tangerang hingga penjualan senjata ke Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua.
Akuntabilitas dan Impunitas: Akar Masalah yang Menggerogoti
Masalah utama lainnya adalah lemahnya akuntabilitas dan kuatnya budaya impunitas di tubuh militer. Budaya ini tumbuh subur karena belum direvisinya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Aturan ini masih memungkinkan anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum untuk diadili di peradilan militer, sebuah forum yang tertutup dan cenderung melindungi korpsnya sendiri.
“Setiap anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum, seperti dalam kasus penembakan ini, harus diproses melalui peradilan umum,” tegas Ardi. “Tidak boleh ada pengecualian hukum yang melindungi pelaku hanya karena status keanggotaannya dalam institusi militer.”
Praktik peradilan militer, yang hakim, jaksa, dan terdakwanya sama-sama berasal dari institusi militer, kerap melahirkan vonis ringan. Hukuman yang timpang ini, seperti vonis ringan 2,5 tahun penjara terhadap dua anggota TNI yang terbukti membunuh seorang anak di Sumatera Utara, mencederai rasa keadilan masyarakat.
“Selama sistem peradilan militer masih digunakan untuk mengadili tindak pidana umum, maka praktik impunitas akan terus berulang dan mencederai rasa keadilan masyarakat,” tambah Ardi.
Desakan untuk Perbaikan Sistem
Sebagai penutup, Imparsial mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk segera merevisi UU Peradilan Militer. Perubahan ini harus memastikan bahwa semua tindak pidana umum yang dilakukan oleh anggota TNI diproses di peradilan umum.
Selain itu, evaluasi ketat terhadap penggunaan senjata api juga harus dilakukan oleh Pemerintah dan Panglima TNI. Karena pada akhirnya, kepercayaan masyarakat adalah benteng terkuat bagi institusi militer. (emen)
NUSALY Channel
Dapatkan kabar pilihan editor dan breaking news di Nusaly.com WhatsApp Channel. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.







