Scroll untuk baca artikel
banner Pemkab OKI
Example floating
Example floating
Pemprov Sumsel 728x250
Hukum

KUHAP Baru Akan Tata Ulang Pra Peradilan dan Batasi Pengajuan PK

×

KUHAP Baru Akan Tata Ulang Pra Peradilan dan Batasi Pengajuan PK

Share this article

Wamenkum Eddy Hiariej Soroti Perlunya Keadilan dalam Pra Peradilan dan Kepastian Hukum dalam PK

KUHAP Baru Akan Tata Ulang Pra Peradilan dan Batasi Pengajuan PK
KUHAP Baru Akan Tata Ulang Pra Peradilan dan Batasi Pengajuan PK. Foto: dok. Humas Kemenkum.

SURABAYA, NUSALY.COMWakil Menteri Hukum (Wamenkum) Republik Indonesia, Edward O.S. Hiariej, menyampaikan pandangan penting terkait revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Menurut Wamenkum yang akrab disapa Eddy ini, KUHAP yang baru perlu melakukan penataan ulang secara signifikan terhadap mekanisme Pra Peradilan dan Peninjauan Kembali (PK). Hal ini diungkapkan Eddy saat menjadi pembicara utama dalam Seminar Nasional Rancangan KUHAP (RKUHAP) dan Masa Depan Hukum Pidana yang diselenggarakan oleh Universitas Airlangga di Surabaya pada Jumat (14/03/2025).

Dalam paparannya, Wamenkum Eddy menyoroti beberapa aspek krusial yang perlu diatur kembali dalam KUHAP yang baru demi terciptanya sistem peradilan pidana yang lebih adil, efisien, dan memberikan kepastian hukum. Dua isu utama yang menjadi fokus perhatian adalah perluasan objek Pra Peradilan dan pembatasan pengajuan Peninjauan Kembali.

Perluasan Objek Pra Peradilan untuk Lindungi Hak Asasi Manusia

Terkait dengan Pra Peradilan, Wamenkum Eddy menjelaskan bahwa KUHAP yang berlaku saat ini telah mengatur lima objek yang dapat diajukan Pra Peradilan, yaitu sah tidaknya penangkapan dan penahanan; sah tidaknya penghentian penyidikan dan penuntutan; sah tidaknya penyitaan barang bukti; dan sah tidaknya penetapan tersangka; serta ditambah dengan tuntutan ganti rugi atau rehabilitasi. Namun, menurutnya, ruang lingkup Pra Peradilan perlu diperluas untuk mencakup semua upaya paksa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.

“Pra peradilan nantinya akan diperluas,” tegas Wamenkum Eddy di hadapan para peserta seminar. Beliau mencontohkan bahwa upaya paksa seperti penetapan tersangka, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat seharusnya juga dapat menjadi objek Pra Peradilan jika ada dugaan pelanggaran prosedur atau penyalahgunaan wewenang.

Lebih lanjut, Wamenkum Eddy mengungkapkan adanya satu upaya paksa yang belum secara eksplisit diatur dalam KUHAP saat ini, namun sangat relevan dalam konteks penegakan hukum modern, yaitu pemblokiran transaksi perbankan. Oleh karena itu, dalam KUHAP yang baru, akan diberikan definisi yang jelas mengenai pemblokiran transaksi perbankan, yaitu sebagai “penghentian sementara transaksi perbankan yang dilakukan atas perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim.” Selain itu, pemblokiran transaksi perbankan juga akan dimasukkan sebagai salah satu objek yang dapat diajukan Pra Peradilan.

Kritik Terhadap Mekanisme Pra Peradilan Saat Ini

Wamenkum Eddy juga menyampaikan kritik terhadap mekanisme Pra Peradilan yang berlaku saat ini. Beliau menekankan bahwa Pra Peradilan seharusnya dilakukan secara adil dan efektif dalam melindungi hak asasi manusia. Salah satu poin krusial yang disoroti adalah praktik yang terjadi saat ini di mana gugatan Pra Peradilan secara otomatis gugur ketika perkara pokoknya telah memasuki tahap pemeriksaan di sidang pengadilan. Hal ini diperparah dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa Pra Peradilan juga dapat gugur ketika berkas perkara telah dilimpahkan kepada penuntut umum.

“Saya kira, karena ia melakukan interupsi terhadap upaya paksa yang dilakukan, maka seharusnya itu distop, dihentikan untuk sementara waktu sampai putusan pra peradilan. Supaya tidak ada alasan lagi diulur-ulur waktunya, sementara perkara itu berjalan terus sampai tahap penuntutan kemudian hakim menggugurkan dengan alasan perkara sudah masuk ke tahap berikutnya,” tutur Eddy dengan nada prihatin.

Menurut Wamenkum Eddy, mekanisme seperti ini tidak memberikan perlindungan yang memadai terhadap hak asasi manusia seseorang yang merasa menjadi korban dari upaya paksa yang tidak sah. Seharusnya, proses hukum terkait upaya paksa tersebut dihentikan sementara waktu sampai ada putusan yang jelas dari Pra Peradilan.

Pembatasan Pengajuan Peninjauan Kembali Demi Kepastian Hukum

Isu kedua yang menjadi perhatian utama Wamenkum Eddy dalam revisi KUHAP adalah mengenai Peninjauan Kembali (PK). Beliau menyoroti tingginya angka tunggakan perkara PK di Mahkamah Agung (MA) yang saat ini mencapai sekitar 31 ribu kasus, sementara jumlah Hakim Agung yang bertugas tidak sampai 50 orang. Kondisi ini tentu memberikan beban kerja yang sangat berat bagi MA dan berpotensi menghambat proses penyelesaian perkara secara keseluruhan.

Wamenkum Eddy berpendapat bahwa salah satu penyebab tingginya angka tunggakan perkara PK adalah anggapan yang keliru di Indonesia bahwa PK merupakan peradilan tingkat keempat. Hal ini diperparah dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang memungkinkan pengajuan PK berkali-kali. Padahal, dalam sistem peradilan pidana yang ideal, harus ada asas bahwa setiap perkara pidana itu harus memiliki akhir yang jelas dan pasti.

“Di Indonesia ini menganggap PK sebagai peradilan tingkat empat. PK bisa berkali-kali berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, padahal di dalam sistem peradilan pidana ada asas perkara pidana itu harus ada akhirnya,” terang Eddy.

Beliau menambahkan, jika pengajuan PK terus diulang-ulang tanpa batasan yang jelas, maka kepastian hukum dalam sistem peradilan pidana akan menjadi sangat lemah. Oleh karena itu, Wamenkum Eddy menekankan perlunya pembatasan terhadap pengajuan PK dalam KUHAP yang baru. “Ya kalau itu diulang-ulang PK, lalu kepastian hukumnya di mana? Kita harus membatasi PK. Saya kira KUHAP harus membatasi itu,” imbuhnya.

PK Sebagai Upaya Hukum Luar Biasa yang Harus Dibatasi

Wamenkum Eddy menjelaskan bahwa dalam literatur hukum Belanda, Peninjauan Kembali (herziening) dipandang sebagai alat hukum yang sangat luar biasa (extraordinary legal remedy). PK seharusnya hanya digunakan dalam kondisi yang sangat spesifik dan dengan alasan yang sangat kuat, karena PK memiliki konsekuensi untuk membatalkan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). Oleh karena itu, menurut Eddy, pengajuan PK seharusnya tidak dapat dilakukan berkali-kali.

“Intinya harus dibatasi. Karena dampaknya akan terjadi penumpukan perkara,” tandas Eddy. Beliau khawatir bahwa jika tidak ada pembatasan yang jelas, maka MA akan terus dibanjiri dengan permohonan PK yang berpotensi menghambat kinerja lembaga peradilan tertinggi tersebut.

Kehadiran Pejabat Kemenkumham Jatim

Dalam kegiatan Seminar Nasional RKUHAP dan Masa Depan Hukum Pidana di Universitas Airlangga tersebut, Wamenkum Eddy Hiariej juga didampingi oleh sejumlah pejabat dari Kementerian Hukum dan HAM wilayah Jawa Timur. Turut hadir Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum Jawa Timur (Kanwil Kemenkum Jatim), Haris Sukamto, dan Kepala Divisi Peraturan Perundang-Undangan dan Pembinaan Hukum Kanwil Kemenkum Jatim, Titik Setiawati. Kehadiran para pejabat ini menunjukkan keseriusan Kementerian Hukum dan HAM dalam menyerap aspirasi dan memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait revisi KUHAP yang sedang berjalan.

Pemaparan Wamenkum Eddy Hiariej mengenai perlunya penataan ulang Pra Peradilan dan pembatasan pengajuan PK dalam KUHAP yang baru ini tentu menjadi bahan diskusi yang menarik dan penting bagi para akademisi, praktisi hukum, dan masyarakat luas. Revisi KUHAP diharapkan dapat membawa perubahan positif dalam sistem peradilan pidana Indonesia, menjamin keadilan bagi semua pihak, dan memberikan kepastian hukum yang lebih baik. (dhi)

NUSALY Channel

Dapatkan kabar pilihan editor dan breaking news di Nusaly.com WhatsApp Channel. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.