PALEMBANG, NUSALY — Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) Pemkab Ogan Komering Ilir (OKI) kembali menjadi sorotan publik. Melanjutkan investigasi kami sebelumnya yang mengungkap piutang Rp 36,85 miliar di ujung tanduk, laporan ini kini mengupas tuntas celah fatal pada rantai pengawasan, yang menjadi akar masalah berulang dalam tata kelola aset daerah.
Investigasi mendalam mengarah pada peran sentral Dewan Pengawas PD Bende Seguguk, yang diwakili oleh Kepala Bagian Perekonomian Sekretariat Daerah. Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK secara gamblang menyebutkan bahwa permasalahan investasi di BUMD ini telah menjadi sorotan sejak laporan keuangan tahun 2021. Fakta ini menjadi indikasi kuat adanya pola kelalaian yang berulang, yang seharusnya dicegah oleh Dewan Pengawas.
Abai pada Peringatan BPK yang Berulang
Dewan Pengawas dan Pimpinan PD Bende Seguguk memang telah berupaya menagih piutang kepada PT Persada Tanjung Api-api (PT PTA), yang berujung pada penandatanganan perjanjian pengalihan hak tagih (cessie). Namun, alih-alih menyelesaikan masalah, langkah itu justru menciptakan masalah baru.
Temuan menunjukkan, dokumen akta notaris cessie tersebut ditandatangani tanpa kehadiran perwakilan dari pihak yang berutang, PT Odira Energy Karang Agung (PT OEKA). Fakta ini selaras dengan temuan BPK yang menyebutkan bahwa Dewan Pengawas dan Pimpinan PD Bende Seguguk belum melakukan langkah pengamanan yang memadai atas pencairan cessie. Mereka menerima klaim sepihak dari PT PTA, tanpa memastikan validitas dan kemampuan PT OEKA untuk membayar utang tersebut. Tindakan ini, menurut BPK, berpotensi menyebabkan uang rakyat sebesar Rp 36,8 miliar menjadi kerugian permanen.
Klarifikasi Pihak Direksi yang Penuh Tanda Tanya
Dikonfirmasi terpisah, Direktur PD Bende Seguguk, Rohmat Kurniawan, menyatakan pihaknya tidak tinggal diam. Ia mengklaim, usai penandatanganan perjanjian cessie, PD Bende Seguguk langsung bersurat kepada PT OEKA. Bahkan, pihaknya mengaku telah menindaklanjuti dengan berkunjung ke PT OEKA. Namun, saat ditanya kapan pertemuan itu terjadi, sang direktur mengaku lupa, “Yang pasti tahun ini.”
Pernyataan direksi ini menjadi penting, sebab di balik klaim tindak lanjut tersebut, redaksi Nusaly justru mendapatkan dokumen yang menunjukkan skema dan risiko yang jauh lebih kompleks dan berpotensi merugikan negara.
Skema Alih Risiko dan Jadwal Pembayaran Jangka Panjang
Dokumen yang didapat dari sumber internal redaksi menunjukkan bahwa PT PTA tidak melakukan pembayaran penuh secara tunai. Skema yang dipilih justru mengalihkan piutang (cessie) dari PT OEKA sebagai pengganti sisa komitmen investasi. Dokumen ini mengungkap rincian lengkap putusan Pengadilan Niaga, yang menetapkan jadwal pembayaran akan jatuh tempo bertahap antara tahun 2026 hingga 2029.
Dengan skema ini, PT PTA secara efektif memindahkan risiko kredit dan risiko likuiditas kepada PD Bende Seguguk. Analisis dalam dokumen tersebut tegas menyatakan, “Jika cessie PT OEKA gagal dibayar otomatis sesuai jadwal PKPU, PD Bende Seguguk bisa kehilangan nilai setara modal yang semestinya dijamin.” Dokumen itu bahkan secara spesifik merekomendasikan PD Bende Seguguk untuk meninjau ulang perjanjian tersebut dan menuntut jaminan tambahan.
Kelalaian Tata Kelola yang Terstruktur
Menurut Dwi Alfianto, peneliti dari Universitas Trisakti, permasalahan ini mencerminkan kegagalan sistemik. “Ini bukan lagi kelalaian perorangan, melainkan kegagalan pada level tata kelola yang lebih tinggi,” ujar Dwi. “Penandatanganan akta cessie tanpa verifikasi dan kehadiran pihak ketiga adalah kelemahan fatal. Ini menunjukkan Dewan Pengawas tidak menjalankan fungsi pengawasan dan kontrol secara efektif. Opini WTP menjadi tidak relevan jika di balik angka-angka yang bersih, ada lubang kerugian yang membahayakan aset publik.”
Ancaman di Balik Opini WTP
Laporan BPK juga secara jelas merekomendasikan Bupati OKI selaku Kuasa Pengelola Modal (KPM), agar segera melakukan langkah pengamanan atas pencairan cessie. Rekomendasi ini menggarisbawahi bahwa tanggung jawab tidak hanya ada pada direksi, tetapi juga berjenjang hingga ke tingkat Dewan Pengawas.
BPK menyimpulkan bahwa kelalaian ini menunjukkan kegagalan tata kelola yang membahayakan aset negara. Dengan adanya risiko kerugian puluhan miliar ini, Opini WTP yang disematkan pada laporan keuangan Pemkab OKI kini patut dipertanyakan kredibilitasnya. Risiko Rp 36,8 miliar bukanlah sekadar angka. Itu adalah uang rakyat yang seharusnya digunakan untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat OKI. Publik memiliki hak untuk menuntut pertanggungjawaban dari para pejabat yang abai, yang secara tidak langsung mengancam uang rakyat.
Investigasi ini akan terus mengawasi, memastikan janji untuk menindaklanjuti rekomendasi BPK tidak hanya sebatas kata-kata, melainkan terwujud dalam tindakan yang efektif. (tim)
NUSALY Channel
Dapatkan kabar pilihan editor dan breaking news di Nusaly.com WhatsApp Channel. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.