Scroll untuk baca artikel
banner Pemkab OKI
Example floating
Example floating
Pemprov Sumsel 728x250

Pemkab Muba 728x250

PT Sampoerna Agro Tbk
KabarNusa

UU TNI Digugat ke MK, Tujuh Pemohon Ajukan Uji Formil Terkait Proses Pengesahan

×

UU TNI Digugat ke MK, Tujuh Pemohon Ajukan Uji Formil Terkait Proses Pengesahan

Share this article

Disahkan DPR RI, Undang-Undang yang Tuai Kontroversi Ini Diuji Legalitasnya di Mahkamah Konstitusi

Disahkan DPR RI, Undang-Undang yang Tuai Kontroversi Ini Diuji Legalitasnya di Mahkamah Konstitusi
Disahkan DPR RI, Undang-Undang yang Tuai Kontroversi Ini Diuji Legalitasnya di Mahkamah Konstitusi. Foto: dok. detikcom

JAKARTA, NUSALY.COMUndang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang baru saja disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) kini menghadapi gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK). Sekelompok orang yang terdiri dari tujuh pemohon mengajukan permohonan uji formil terhadap UU TNI tersebut, mempertanyakan legalitas proses pengesahannya di parlemen. Langkah ini diambil setelah UU TNI hasil revisi menuai penolakan dari berbagai elemen masyarakat, baik sebelum maupun sesudah disahkan.

Berdasarkan informasi yang tertera di laman resmi Mahkamah Konstitusi (MK) pada Sabtu (22/3/2025), permohonan gugatan terhadap UU TNI ini terdaftar dengan nomor perkara 48/PUU/PAN.MK/AP3/03/2025. Dalam pokok perkaranya, para pemohon mengajukan “Pengujian Formil Undang-Undang Nomor … Tahun 2025 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.” Nomor undang-undang yang masih kosong dalam berkas permohonan ini kemungkinan akan diisi setelah UU tersebut resmi diundangkan dan memiliki nomor lembaran negara.

sidomuncul

Adapun tujuh orang yang bertindak sebagai pemohon dalam gugatan ini adalah Muhammad Alif Ramadhan (Pemohon I), Namoradiarta Siaahan (Pemohon II), Kelvin Oktariano (Pemohon III), M. Nurrobby Fatih (Pemohon IV), Nicholas Indra Cyrill Kataren (Pemohon V), Mohammad Syaddad Sumartadinata (Pemohon VI), dan R.Yuniar A. Alpandi (Pemohon VII). Belum diketahui secara pasti latar belakang dan alasan spesifik dari masing-masing pemohon dalam mengajukan gugatan uji formil ini. Namun, uji formil sendiri umumnya berkaitan dengan prosedur atau tata cara pembentukan suatu undang-undang yang dianggap tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

DPR RI Sahkan Revisi UU TNI dalam Rapat Paripurna yang Dihadiri Menteri

Sebelumnya, DPR RI secara resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia atau yang lebih dikenal dengan RUU TNI menjadi undang-undang. Keputusan penting ini diambil dalam rapat paripurna yang digelar di ruang Paripurna Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, pada Kamis (20/3). Rapat paripurna tersebut dipimpin oleh Ketua DPR RI, Puan Maharani, yang didampingi oleh sejumlah Wakil Ketua DPR, antara lain Sufmi Dasco Ahmad, Saan Mustopa, dan Adies Kadir.

Pengesahan RUU TNI menjadi undang-undang ini dilakukan setelah melalui serangkaian pembahasan antara DPR dan pemerintah. Namun, proses pembahasan dan pengesahan RUU ini tidak luput dari sorotan dan kritik dari berbagai pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil dan pengamat militer.

Penolakan Publik dan Aksi Demonstrasi Warnai Pengesahan UU TNI

Sejak awal proses pembahasannya, RUU TNI memang telah menuai kontroversi dan penolakan dari sebagian masyarakat. Penolakan ini semakin menguat menjelang pengesahannya di rapat paripurna DPR RI. Berbagai aksi demonstrasi dan pernyataan sikap dari berbagai organisasi masyarakat sipil выразили kekhawatiran terhadap sejumlah pasal dalam RUU yang dianggap berpotensi mengganggu keseimbangan antara kekuatan militer dan sipil, serta berpotensi memperluas peran TNI di luar fungsi pertahanan negara.

Meskipun demikian, DPR RI tetap melanjutkan proses pengesahan RUU TNI hingga akhirnya disetujui dalam rapat paripurna pada Kamis lalu. Keputusan ini kemudian memicu reaksi lebih lanjut dari masyarakat yang melakukan aksi demonstrasi di berbagai wilayah untuk menyuarakan penolakan terhadap UU TNI yang baru disahkan.

Pasal-Pasal Kontroversial dalam Revisi UU TNI

Salah satu pasal yang menjadi sorotan dalam revisi UU TNI adalah Pasal 7 ayat 2 yang mengatur tentang tugas pokok TNI. Dalam revisi ini, tugas pokok TNI kini memiliki dua kategori utama, yaitu operasi militer untuk perang (OMP) dan operasi militer selain perang (OMSP).

Untuk kategori operasi militer selain perang, tugas TNI diperluas dan dirinci sebanyak 14 poin yang tercantum dalam huruf b ayat (2) pasal 7. Dua di antaranya yang cukup menarik perhatian adalah tugas tambahan TNI untuk membantu dalam upaya menanggulangi ancaman pertahanan siber dan membantu dalam melindungi dan menyelamatkan warga negara serta kepentingan nasional di luar negeri. Penambahan tugas ini menimbulkan pertanyaan mengenai batas-batas kewenangan TNI dan potensi tumpang tindih dengan tugas dan fungsi lembaga negara lainnya.

Selain itu, pasal 47 UU Nomor 34 Tahun 2004 yang mengatur tentang kementerian atau lembaga negara yang dapat diisi oleh personel TNI juga menjadi perhatian. Revisi pada pasal ini dikhawatirkan dapat memperluas penempatan personel TNI di berbagai jabatan sipil, yang menurut sebagian pihak dapat mengurangi profesionalisme TNI dan berpotensi menimbulkan masalah terkait netralitas dan akuntabilitas.

Perubahan Batas Usia Pensiun Prajurit TNI

Perubahan signifikan lainnya dalam UU TNI yang baru disahkan adalah terkait dengan batas usia pensiun prajurit TNI. Sebelum direvisi, anggota TNI bertugas paling lama hingga usia 58 tahun untuk tingkat perwira, sementara untuk pangkat bintara dan tamtama, batas usia pensiun adalah 53 tahun.

Namun, setelah UU TNI direvisi, batas usia pensiun prajurit mengalami perubahan sebagai berikut:

  • Bintara dan tamtama: maksimal 55 tahun (naik 2 tahun dari sebelumnya).
  • Perwira sampai pangkat kolonel: maksimal 58 tahun (tidak ada perubahan).
  • Perwira tinggi bintang 1 (Laksamana Pertama, Brigadir Jenderal, Marsekal Pertama): maksimal 60 tahun (baru).
  • Perwira tinggi bintang 2 (Laksamana Muda, Mayor Jenderal, Marsekal Muda): maksimal 61 tahun (baru).
  • Perwira tinggi bintang 3 (Laksamana Madya, Letnan Jenderal, Marsekal Madya): maksimal 62 tahun (baru).
  • Perwira tinggi bintang 4 (Laksamana, Jenderal, Marsekal): maksimal 63 tahun (baru), dan dapat diperpanjang maksimal 2 kali masing-masing selama dua tahun sesuai kebutuhan yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden.

Perubahan batas usia pensiun ini juga menjadi salah satu poin yang diperdebatkan. Sebagian pihak berpendapat bahwa kenaikan batas usia pensiun dapat mempertahankan tenaga dan pengalaman para prajurit senior, terutama di tingkat perwira tinggi. Namun, pihak lain khawatir bahwa hal ini dapat menghambat promosi dan regenerasi di tubuh TNI.

Uji Formil UU TNI di MK: Apa Itu dan Bagaimana Prosesnya?

Gugatan yang diajukan ke MK oleh tujuh pemohon ini berfokus pada uji formil. Uji formil adalah pengujian terhadap suatu undang-undang yang berkaitan dengan proses pembentukannya. Dalam uji formil, MK akan memeriksa apakah proses pembentukan UU tersebut telah sesuai dengan mekanisme dan prosedur yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, termasuk apakah kuorum rapat terpenuhi, apakah ada partisipasi publik yang memadai, dan apakah tahapan-tahapan legislasi telah dilalui dengan benar.

Jika MK mengabulkan permohonan uji formil, maka UU yang bersangkutan dapat dinyatakan cacat secara prosedural dan batal demi hukum. Artinya, UU tersebut dianggap tidak pernah ada dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Namun, jika MK menolak permohonan uji formil, maka UU tersebut tetap berlaku.

Proses pengujian formil di MK melibatkan beberapa tahapan, mulai dari pendaftaran permohonan, pemeriksaan kelengkapan berkas, sidang pemeriksaan pendahuluan, sidang pemeriksaan saksi dan ahli, hingga rapat permusyawaratan hakim dan pengucapan putusan. Proses ini bisa memakan waktu yang cukup lama tergantung pada kompleksitas isu yang dihadapi.

Implikasi Gugatan UU TNI terhadap Pemerintah dan TNI

Gugatan uji formil terhadap UU TNI ini tentu akan menjadi perhatian serius bagi pemerintah dan TNI. Jika MK mengabulkan gugatan tersebut, maka pemerintah dan DPR RI harus kembali menyusun dan mengesahkan UU TNI dengan memperhatikan prosedur yang benar. Hal ini tentu akan memakan waktu dan sumber daya yang tidak sedikit.

Di sisi lain, jika MK menolak gugatan tersebut, maka UU TNI yang baru akan tetap berlaku dan menjadi landasan hukum bagi pelaksanaan tugas dan fungsi TNI ke depan. Namun, penolakan dari sebagian masyarakat mungkin akan terus berlanjut, terutama terkait dengan pasal-pasal yang dianggap kontroversial.

Menanti Putusan MK dan Implikasinya bagi Reformasi Sektor Keamanan

Publik akan terus memantau perkembangan gugatan uji formil UU TNI di Mahkamah Konstitusi. Putusan MK akan memiliki implikasi yang signifikan terhadap reformasi sektor keamanan di Indonesia, terutama terkait dengan peran dan kewenangan TNI.

Diharapkan, proses pengujian di MK dapat berjalan secara transparan dan objektif, dengan mempertimbangkan semua aspek hukum dan kepentingan bangsa. Putusan yang dihasilkan nantinya diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi semua pihak, serta memperkuat supremasi hukum dan tatanan demokrasi di Indonesia. (gun)

NUSALY Channel

Dapatkan kabar pilihan editor dan breaking news di Nusaly.com WhatsApp Channel. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.