Oleh: Adi Rasmiadi
DI ATAS panggung kekuasaan, setiap langkah seorang pemimpin adalah bagian dari pertunjukan. Mereka yang berambisi memimpin masyarakat tak hanya perlu siap menanggung beban kebijakan, tetapi juga menghadapi setiap sorotan yang datang bertubi-tubi. Di antara sorot kamera dan teriakan massa, siapakah yang benar-benar siap menerima beban kekuasaan tanpa terlena oleh panggungnya?
Menarik untuk direnungkan, begitu banyak calon pemimpin yang hanya ingin hadir ketika tepuk tangan masih menggelegar. Dalam sambutan dan parade yang dirancang sempurna, mereka berdiri penuh percaya diri, menyambut setiap pujian sebagai pengakuan. Di era media sosial yang menyanjung cepat, pujian tak lebih dari suara gaung yang memantul; sementara kritik, lebih sering dianggap sebagai angin lalu. Padahal, pemimpin yang kuat bukan hanya yang berani menampilkan wajah di kala pujian, tetapi juga teguh di saat badai kritik menghantam.
Namun, realitas politik kita kini tak sesederhana pepatah usang. Di zaman ini, saat sorotan berbalik tajam, hanya sedikit yang mampu bertahan. Setiap kata dari media massa, yang menyentuh batas-batas kepantasan kritik, kini memiliki daya bak sengatan lebah. Ia tajam namun tertata, menggedor tapi tak melukai. Ini berbeda dengan kritik yang mengalir di jagat media sosial, yang sifatnya bebas dan menggelora. Kritik di sana menjadi topik liar, menyebar tanpa kendali dan meluber tanpa batas, membuat sosok yang rapuh bagai tak lagi punya tempat berlindung.
Di era digital, kritik bagaikan arus liar yang menyeret siapa saja ke dalam pusarannya. Berbeda dengan tepuk tangan yang terhenti begitu sang pemimpin pergi, kritik adalah riak yang menyebar, menggali jauh lebih dalam dari sekadar kata. Publik ingin tahu “ada apa lagi?” Mereka mencari sisi-sisi tersembunyi, menyelami labirin kehidupan seorang pemimpin yang dikuliti pelan-pelan. Itulah risiko kepemimpinan hari ini: segala sesuatu bisa disorot, diungkap, dibicarakan tanpa saringan.
Pepatah lama mengajarkan kita, “Semakin tinggi pohon, semakin kencang anginnya.” Prinsip ini bukan sekadar pengingat untuk menyiapkan diri menghadapi kritik, tetapi juga ujian apakah pohon itu berakar kuat atau sekadar menjulang oleh pupuk instan. Di dunia politik, kita kerap menjumpai sosok-sosok yang tiba-tiba melonjak popularitasnya, menjulang tanpa dasar. Mereka tumbuh bukan dari kebajikan yang berakar dalam atau karya nyata yang melayani, tetapi dari pencitraan yang cepat, seolah pupuk karbit mengangkatnya dalam semalam. Padahal, popularitas tanpa substansi itu seperti balon gas, besar di atas tapi kosong di dalam.
Apakah kita, sebagai publik, sadar bahwa kekuasaan sejatinya bukanlah tempat untuk mereka yang rapuh dan tak tahan angin? Sayangnya, seringkali yang naik ke atas adalah mereka yang tersanjung oleh popularitas sesaat, yang hanya kuat di kala sorotan memuji, namun terseok di kala kritik berhembus. Mereka seperti gedung kaca: tampak megah dari luar, tapi retak dalam sekali benturan.
Lantas, apakah pemimpin karbitan layak mendapat kepercayaan penuh? Dalam dunia politik yang sehat, seorang pemimpin mestinya dipilih bukan karena kilau citranya, melainkan karena kokohnya integritasnya. Mereka yang kuat bukanlah yang rajin menyambangi publik untuk sekadar bertegur sapa di acara seremonial, tetapi yang mampu berdiri teguh di tengah badai, menjawab kritik tanpa bergeming, karena akar yang menancap dalam di tanah prinsip dan ketulusan.
Jika kita terus memilih pemimpin karena tampilan dan sanjungan, kita hanya akan terus mengulang siklus yang sama: pohon-pohon karbit yang tumbuh tinggi, namun akhirnya roboh dalam sekali angin bertiup. Saatnya kita, sebagai masyarakat yang terus berharap pada perubahan, belajar menilai lebih jauh dari sekadar permukaan, memilih mereka yang berakar kuat dan tak mudah tumbang oleh badai.
Kepemimpinan sejati tak butuh tepuk tangan, apalagi sanjungan semu. Kepemimpinan butuh akar yang dalam dan prinsip yang teguh. Hanya mereka yang berakar kuat dan tumbuh alamiah yang layak berdiri di puncak, menjadi tempat berteduh bagi kita semua.