OKI Mandira

Hoaks 12 Ribu Kasus HIV/AIDS di OKI, Dinkes Klarifikasi dan Ajak Masyarakat Hapus Stigma Negatif

Hoaks 12 Ribu Kasus HIV/AIDS di OKI, Dinkes Klarifikasi dan Ajak Masyarakat Hapus Stigma Negatif
Hoaks 12 Ribu Kasus HIV/AIDS di OKI, Dinkes Klarifikasi dan Ajak Masyarakat Hapus Stigma Negatif

OGAN KOMERING ILIR, NUSALY.com – Kabar yang menyebutkan jumlah penderita HIV/AIDS di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) mencapai 12.110 jiwa sepanjang tahun 2024 dibantah keras oleh Dinas Kesehatan Kabupaten OKI. Pemberitaan di media lokal dan postingan akun media sosial Instagram @Ogankomeringilirinfo yang menyebarkan informasi tersebut dinyatakan keliru dan menyesatkan. Melalui press release resmi nomor 007.PR/I/DISKOMINFO/2025, yang dirilis pada Jumat (17/1/2025), Dinkes OKI mengklarifikasi bahwa angka tersebut bukanlah jumlah penderita, melainkan target skrining HIV/AIDS di OKI pada tahun 2024.

“Pada tahun 2024 lalu Dinkes OKI menargetkan sebanyak 12.110 orang untuk dilakukan pemeriksaan dan pengobatan mengenai HIV/AIDS,” ungkap Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan OKI, Uli Arta, dalam keterangan resminya, Jumat (17/1/2025). Klarifikasi ini penting untuk meluruskan informasi yang keliru dan mencegah kepanikan di tengah masyarakat.

Target Skrining vs. Jumlah Kasus: Memahami Perbedaan yang Krusial

Uli Arta menjelaskan bahwa target skrining 12.110 orang tersebut menyasar kelompok-kelompok yang berisiko tinggi, seperti ibu hamil, pekerja di tempat hiburan malam (THM), serta masyarakat umum yang menjalani pemeriksaan di puskesmas dan rumah sakit. “Kalau ibu hamil wajib melakukan pemeriksaan HIV/AIDS. Begitu juga para pekerja THM dan masyarakat umum yang mengeluhkan gangguan saluran kencing. Mereka biasanya langsung diarahkan untuk melakukan rapid test,” terang Uli.

Skrining ini, lanjut Uli, merupakan langkah preventif untuk mendeteksi dini penderita HIV/AIDS dan memberikan pengobatan agar penularan bisa dihentikan. “Jika ingin mengetahui status HIV, segera periksakan diri. Layanan pemeriksaan tersedia di seluruh puskesmas, dan jika terdeteksi, penderita akan dirujuk ke rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan,” jelasnya. Dengan demikian, target skrining ini justru merupakan upaya proaktif pemerintah dalam menanggulangi penyebaran HIV/AIDS, bukan menunjukkan jumlah kasus yang ada.

Penggiat HIV/AIDS: Angka 12 Ribu Kasus Tergolong Kejadian Luar Biasa (KLB)

Amrina Rosyada, penggiat HIV/AIDS Kabupaten OKI dan Ketua Lembaga Sosial Masyarakat Sahabat Pelangi, turut angkat bicara mengenai kekeliruan informasi ini. “Saat ini kita masih menghadapi kondisi publik yang belum mampu menempatkan dirinya dan penderita HIV/AIDS dalam struktur masyarakat kita. Hal ini merupakan masalah yang kita hadapi saat ini,” kata Amrina, menyoroti tantangan stigma dan diskriminasi yang masih dihadapi oleh Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA).

Amrina, yang juga anggota DPRD Ogan Ilir dan wartawan senior, menegaskan bahwa jumlah pengidap AIDS di OKI kurang dari 50 jiwa dan jumlah ini tidak bisa diakumulasi dalam satu tahun. “Kalau angkanya sudah belasan ribu itu sudah kejadian luar biasa. Lalu jumlahnya tidak bisa diakumulasi dalam setahun karena bisa bertambah atau berkurang,” tegasnya, memberikan perspektif yang lebih akurat berdasarkan pengalamannya selama puluhan tahun dalam mengedukasi dan membina para penderita HIV/AIDS.

Pernyataan Amrina ini sekaligus membantah klaim yang menyebutkan bahwa OKI berada dalam kondisi Kejadian Luar Biasa (KLB) terkait HIV/AIDS. Angka 12 ribu yang beredar jauh dari realita dan berpotensi menimbulkan kepanikan yang tidak perlu di tengah masyarakat.

Menghapus Stigma Negatif: Langkah Penting dalam Penanggulangan HIV/AIDS

Amrina juga mengajak masyarakat untuk menghilangkan stigma negatif terhadap pasien HIV/AIDS. “HIV/AIDS masalah kesehatan yang dapat ditangani jika pasien mendapatkan akses pengobatan dan dukungan yang tepat,” ujarnya. Menurutnya, stigma menjadi penghambat utama dalam upaya pencegahan dan pengobatan penyintas HIV/AIDS. “Stigma sering membuat pasien enggan memeriksakan diri atau menjalani pengobatan,” ungkap Amrina, berdasarkan pengalamannya di lapangan.

Oleh karena itu, edukasi yang menyentuh semua lapisan masyarakat dinilai penting untuk menekan angka penularan HIV/AIDS, termasuk dukungan media. “Perilaku seksual tertentu memang meningkatkan risiko penularan, tetapi kita harus fokus pada edukasi, bukan penghakiman,” tegasnya. Amrina juga mengingatkan bahwa penderita HIV/AIDS membutuhkan dukungan, bukan diskriminasi. “Dengan pendekatan yang inklusif, stigma dapat dihilangkan, sehingga upaya pencegahan dan pengobatan bisa berjalan lebih efektif,” pungkasnya.

Pentingnya Edukasi dan Pemahaman yang Benar tentang HIV/AIDS

Kasus ini menjadi pelajaran penting tentang pentingnya edukasi dan pemahaman yang benar mengenai HIV/AIDS. Miskonsepsi dan informasi yang keliru dapat menimbulkan kepanikan dan memperkuat stigma terhadap ODHA. Oleh karena itu, penyebarluasan informasi yang akurat dan komprehensif tentang HIV/AIDS harus terus digalakkan.

Masyarakat perlu memahami bahwa HIV/AIDS adalah penyakit yang dapat dicegah dan diobati. Dengan pengobatan antiretroviral (ARV) yang tepat, ODHA dapat hidup sehat dan produktif. Selain itu, masyarakat juga perlu memahami bahwa HIV tidak menular melalui kontak sosial biasa, seperti berjabat tangan, berpelukan, atau menggunakan alat makan bersama.

Peran Media dalam Melawan Stigma dan Diskriminasi

Media massa memiliki peran yang sangat krusial dalam melawan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA. Pemberitaan yang akurat, berimbang, dan tidak sensasional dapat membantu masyarakat memahami HIV/AIDS dengan lebih baik. Media juga dapat menjadi sarana edukasi yang efektif untuk menyebarkan informasi yang benar tentang HIV/AIDS dan mendorong masyarakat untuk bersikap lebih inklusif terhadap ODHA.

Dalam kasus ini, pemberitaan yang keliru justru berpotensi memperburuk stigma dan menimbulkan keresahan di masyarakat. Oleh karena itu, verifikasi informasi dan kehati-hatian dalam pemberitaan menjadi sangat penting, terutama untuk isu-isu yang sensitif seperti HIV/AIDS.

Langkah Konkret Dinkes OKI: Skrining, Pengobatan, dan Edukasi

Dinas Kesehatan OKI, melalui klarifikasinya, telah menunjukkan komitmennya dalam penanggulangan HIV/AIDS di wilayahnya. Skrining yang menargetkan 12.110 orang di tahun 2024 merupakan langkah proaktif untuk mendeteksi dini kasus HIV/AIDS dan memberikan pengobatan yang tepat. Langkah ini juga sejalan dengan upaya pencegahan penularan HIV/AIDS di OKI.

Selain skrining, Dinkes OKI juga menyediakan layanan pemeriksaan di seluruh puskesmas dan rujukan ke rumah sakit bagi penderita yang terdeteksi positif. Hal ini menunjukkan bahwa akses terhadap layanan kesehatan bagi ODHA di OKI cukup baik. Namun, upaya edukasi dan sosialisasi tentang HIV/AIDS perlu terus ditingkatkan untuk menghilangkan stigma dan diskriminasi yang masih ada di masyarakat.

Dukungan Lintas Sektor: Mewujudkan Penanggulangan HIV/AIDS yang Efektif

Penanggulangan HIV/AIDS bukanlah tanggung jawab Dinkes OKI semata. Dukungan dan partisipasi aktif dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat (LSM) seperti Sahabat Pelangi, tokoh masyarakat, tokoh agama, hingga media massa, sangat dibutuhkan.

Sinergi dan kolaborasi antar stakeholder menjadi kunci utama dalam mewujudkan penanggulangan HIV/AIDS yang efektif dan berkelanjutan. Diperlukan upaya bersama untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, menghilangkan stigma, dan memberikan dukungan kepada ODHA agar mereka dapat hidup sehat dan produktif.

Kesalahan informasi mengenai jumlah penderita HIV/AIDS di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) yang mencapai 12 ribu jiwa telah diklarifikasi oleh Dinas Kesehatan OKI. Angka tersebut merupakan target skrining di tahun 2024, bukan jumlah penderita. Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes OKI, Uli Arta, menegaskan bahwa skrining ini menyasar ibu hamil, pekerja tempat hiburan malam (THM), dan masyarakat umum, sebagai langkah preventif dan deteksi dini.

Penggiat HIV/AIDS OKI, Amrina Rosyada, yang juga Ketua LSM Sahabat Pelangi dan anggota DPRD Ogan Ilir, menyatakan bahwa jumlah pengidap AIDS di OKI kurang dari 50 jiwa, dan angka tersebut tidak bisa diakumulasi dalam satu tahun. Lebih lanjut, Amrina menekankan pentingnya menghapus stigma negatif terhadap ODHA dan meningkatkan edukasi kepada masyarakat.

Kasus ini menjadi pelajaran penting tentang pentingnya verifikasi informasi dan kehati-hatian dalam pemberitaan, khususnya terkait isu sensitif seperti HIV/AIDS.

Sinergi antara pemerintah, LSM, media massa, dan masyarakat sangat dibutuhkan untuk menanggulangi HIV/AIDS secara efektif, menghilangkan stigma dan diskriminasi, serta memberikan dukungan kepada ODHA agar dapat hidup sehat dan produktif. Edukasi yang komprehensif dan berkelanjutan menjadi kunci utama dalam mewujudkan Indonesia yang bebas dari stigma dan diskriminasi terhadap ODHA. (puputzch)

NUSALY Channel

Dapatkan kabar pilihan editor dan breaking news di Nusaly.com WhatsApp Channel. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Exit mobile version