Stadio Tardini pada Sabtu malam lalu seharusnya menjadi panggung bagi AC Milan untuk mengklaim sementara takhta Serie A. Namun, alih-alih menampilkan kematangan dan pragmatisme yang dicanangkan Massimiliano Allegri, Rossoneri justru memamerkan kerapuhan mental yang memalukan. Hasil imbang 2-2 melawan Parma, sebuah tim yang seharusnya dapat mereka taklukkan dengan nyaman, menjadi pengingat pedih bahwa tim ini masih bergulat dengan hantu inkonsistensi yang kronis.
Kegagalan ini menuntut penelusuran akar masalah yang lebih dalam, melampaui statistik pertandingan biasa. Ini adalah kegagalan untuk memelihara kedisiplinan dan konsentrasi selama 90 menit penuh—sebuah kelemahan fundamental yang kini dihitung Allegri sebagai bencana tujuh poin yang terbuang musim ini. Kekalahan filosofis dan psikologis ini adalah panggilan keras bagi seluruh skuad.
Kontradiksi di Balik Kedalaman Skuad
Komposisi starting XI Milan malam itu sudah menyiratkan intensi Allegri untuk mendapatkan hasil maksimal. Tim yang solid mengalahkan Roma hanya mengalami satu perubahan, yaitu masuknya Pervis Estupinan di posisi left wing-back, menggantikan Davide Bartesaghi yang lebih berhati-hati.
Lini tengah diisi oleh Luka Modric, yang seharusnya menjadi motor motivator, berpasangan dengan Youssouf Fofana dan Samuele Ricci. Lini serang mengandalkan kecepatan Christopher Nkunku dan Rafael Leao.
Allegri, yang selalu menekankan pentingnya pengalaman di atas bakat mentah, justru melihat timnya tampil seolah mereka kekurangan pengalaman. Peringatannya sebelum pertandingan, bahwa tim harus waspada terhadap lawan yang “merepotkan” dan bermain “baik secara teknis,” seolah diabaikan sepenuhnya begitu mereka merasa di atas angin. Allegri telah menanamkan pragmatisme, tetapi para pemain gagal mempraktikkan hal yang paling mendasar: menjaga fokus saat memimpin.
Tragedi dalam Empat Menit Krusial
Milan memulai pertandingan dengan meyakinkan, menunjukkan dominasi yang diharapkan. Setelah 10 menit penjajakan, Rossoneri melancarkan serangan cepat yang membuahkan hasil.
Pada menit ke-12, gol pembuka datang melalui Alexis Saelemaekers, yang dengan sentuhan brilian memotong ke dalam dan melepaskan tembakan datar yang elegan ke sudut bawah gawang kiper Parma, Suzuki. Keunggulan ini diperlebar pada menit ke-25 ketika Saelemaekers, yang dinamis sepanjang babak pertama, dijatuhkan di kotak penalti. Rafael Leao, dengan ketenangan seorang eksekutor ulung, menyelesaikan tugas dari titik putih dengan tendangan “tegas dan penuh presisi.”
Skor 2-0 di pertengahan babak pertama adalah posisi yang sangat nyaman. Milan hanya perlu menunjukkan pragmatisme untuk mengunci pertandingan. Namun, di sinilah letak tragedi psikologis Milan dimulai, tepat di masa injury time babak pertama.
Adrian Bernabe mencetak gol yang memperkecil kedudukan pada menit ke-46. Gol itu tercipta setelah Estupinan kalah dalam duel di sisi kiri. Bernabe, yang menemukan ruang tembak tak terduga, melesakkan bola melengkung ke sudut atas Mike Maignan. Gol ini bukan hanya mengubah skor menjadi 2-1; ia menyuntikkan “virus” keraguan dan kekhawatiran ke dalam mental tim Milan, sekaligus menyalakan kembali semangat Parma.
Kutipan Allegri setelah pertandingan menjadi bukti betapa fatalnya gol ini: “Dua poin terbuang. Saya tidak tahu bagaimana akhirnya jika kami mengakhiri babak pertama 2-0. Kami kembali ke lapangan dalam keadaan bingung, kami benar-benar tertidur.”
“Jika Anda unggul 2-0, Anda harus menendang bola ke tribun, Anda tidak bisa kebobolan gol itu pada menit ke-48,” tegas Allegri, memarahi kurangnya clearance sederhana yang bisa mencegah momentum psikologis Parma. Perintah tersebut adalah deskripsi sempurna tentang kegagalan mentalitas di momen genting.
Kelalaian Penjagaan dan Kecorobohan Individu
Babak kedua adalah periode demonstrasi keruntuhan taktis. Tim yang tadinya superior secara teknis berubah menjadi gugup dan kehabisan ide. Parma, didorong oleh kepercayaan diri yang baru ditemukan, meningkatkan tekanan mereka.
Pada menit ke-62, Enrico Delprato menyamakan kedudukan 2-2, sebuah gol yang tuntas berkat kelalaian penjagaan lini tengah dan kecerobohan individu di pertahanan. Fofana dan Ricci dikritik karena gagal menjaga pergerakan pemain Parma, menciptakan ruang vertikal yang dieksploitasi dengan mudah. Lebih lanjut, Pervis Estupinan kembali menjadi titik lemah tak terhindarkan. Penampilannya digambarkan “sangat ceroboh” dan ia kembali diperdaya tepat sebelum gol kedua Parma, mengukuhkan kegagalan kolektif dan individu dalam menjaga pertahanan. Kegagalan ini bukan soal kemampuan teknis semata, melainkan kegagalan komunikasi dan konsentrasi di area penalti.
Hilangnya Ketajaman di Depan Gawang
Allegri mencoba menyuntikkan darah segar dengan Loftus-Cheek, Pulisic, dan Bartesaghi, yang memang meningkatkan intensitas serangan. Namun, kegagalan menyelesaikan peluang di sepertiga akhir justru mengukir penyesalan yang lebih mendalam, menunjukkan bahwa kurangnya ketenangan yang Allegri tuntut di lini belakang juga menjangkiti lini serang.
Dua peluang emas one-on-one terbuang di menit-menit akhir. Pada menit ke-77, Christian Pulisic, setelah menerima bola matang, berada dalam situasi ideal untuk menundukkan kiper Parma. Namun, penyelesaiannya disebut “sangat buruk,” menunjukkan bagaimana tekanan dan frustrasi telah merasuki seluruh tim. Empat menit kemudian, giliran Saelemaekers, yang tampil gemilang di babak pertama, gagal total dalam situasi terbuka di depan gawang. Kegagalan eksekusi berulang ini menambahkan daftar panjang penyesalan dan menggarisbawahi kegagalan mentalitas di momen puncak.
Mike Maignan, yang dipaksa melakukan penyelamatan dramatis untuk menghindari kekalahan total di menit ke-81, adalah satu-satunya pemain yang bisa mengangkat kepala dari kekacauan Tardini. Ia menjadi penyelamat skor imbang, bukan pemenang.
Tujuh Poin Terbuang: Tantangan bagi Allegri
Hasil 2-2 ini adalah puncak dari apa yang Allegri sebut sebagai penyakit kronis. Ia tidak menyembunyikan kekesalannya. Ia secara tegas mengkalkulasi kerugian total yang disebabkan oleh inkonsistensi mental ini, menyatukannya dengan kegagalan melawan Pisa dan Cremonese.
“Melawan Pisa, Cremonese, dan Parma, kami hanya mendapat dua poin, padahal kami membuang tujuh poin yang seharusnya wajib kami raih.”
Jeda internasional kini bukan hanya masa istirahat, melainkan periode kontemplasi dan penempaan psikologis. Milan harus berevolusi dari sebatas kumpulan talenta bintang menjadi unit taktis yang kejam, yang tahu bagaimana mematikan lawan dan mengunci kemenangan—khususnya ketika mereka sudah unggul. Tanpa perubahan paradigma mental ini, ambisi merebut gelar Serie A akan tetap menjadi ilusi yang rapuh.
Allegri menuntut lebih banyak pragmatisme, namun yang ia dapatkan adalah koleksi kegagalan yang berulang. Ia menilai timnya hanya mampu menyamakan diri dengan Parma dalam hal semangat juang di babak kedua, padahal secara teknis, mereka jauh di atas. “Hal pertama yang perlu kami lakukan adalah menempatkan diri kami pada level yang sama dengan Parma (dalam hal semangat juang) di sepanjang pertandingan,” tegasnya.
Matteo Gabbia, bek yang harusnya memimpin lini pertahanan, mengamini pandangan ini, mengakui di ruang ganti bahwa masalahnya adalah fokus dan komunikasi. “Ini masalah fokus dan komunikasi, yang kemudian memungkinkan Anda bertahan dengan baik di area penalti. Kami tidak bisa membuang poin lagi,” katanya.
Kegagalan ini adalah panggilan keras bagi Allegri. Ia harus segera menyuntikkan mentalitas petarung yang hilang ini. Jeda internasional kini bukan hanya masa istirahat, melainkan periode kontemplasi dan penempaan psikologis. Milan harus berevolusi dari sebatas kumpulan talenta bintang menjadi unit taktis yang kejam, yang tahu bagaimana mematikan lawan dan mengunci kemenangan—khususnya ketika mereka sudah unggul. Tanpa perubahan paradigma mental ini, ambisi merebut gelar Serie A akan tetap menjadi ilusi yang rapuh.
Rating Pemain dan Titik Lemah
Berdasarkan laporan pertandingan, berikut adalah rating individual pemain Milan, yang menggarisbawahi keruntuhan performa, khususnya di lini wing-back dan lini tengah.
| Pemain | Posisi | Rating | Keterangan Singkat |
|---|---|---|---|
| Pervis Estupinan | LWB | 3.5 | Pemain terburuk; ceroboh dan kalah dalam duel kunci, pemicu gol Parma. |
| Youssouf Fofana | CM | 5.5 | Gagal menjaga disiplin tracking lini tengah, menyisakan ruang vertikal. |
| Samuele Ricci | CM | 5.5 | Sama seperti Fofana, dianggap kurang dalam hal fokus dan penjagaan. |
| Christopher Nkunku | ST | 5.5 | Kurang klinis di depan gawang, gagal menyalurkan serangan efektif. |
| Christian Pulisic | Sub | 5.0 | Gagal total dalam situasi one-on-one krusial (menit ke-77). |
| Rafael Leao | ST | 7.0 | Salah satu pemain terbaik, eksekutor penalti yang dingin dan penuh presisi. |
| Mike Maignan | GK | 7.0 | Penyelamat skor imbang, melakukan aksi heroik untuk mencegah kekalahan. |
| Alexis Saelemaekers | RWB | 6.5 | Pemain paling dinamis di babak pertama, mencetak satu gol, tetapi gagal dalam peluang besar di akhir laga. |
(dhi)
NUSALY Channel
Dapatkan kabar pilihan editor dan breaking news di Nusaly.com WhatsApp Channel. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.







