Bekasi – Gemerlap pesta demokrasi masyarakat Indonesia sudah di depan mata. Partai politik dan para kadernya mulai mempersiapkan diri jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Pembahasan mengenai sistem pemilu legislatif kembali mencuat dan jadi perbincangan hangat di masyarakat. Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) mencoba memberikan sumbangan pemikiran membuat analisa dan evaluasi tentang Pemilu melalui kegiatan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Penguatan Sistem Pemilihan Umum Legislatif dalam Demokrasi Pancasila”.
FGD yang dilaksanakan Pusat Analisa dan Evaluasi Hukum bertujuan mengevaluasi penyelenggaraan sistem pemilu legislatif di Indonesia dan mengeksplorasi pilihan-pilihan penguatan sistem pemilu legislatif yang ideal dalam konteks Indonesia. Lima narasumber FGD sepakat Pemilu perlu dilakukan evaluasi dan dibutuhkan peraturan hukum yang komprehensif agar kualitas demokrasi di Indonesia lebih baik. Kelima pembicara FGD yaitu Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jimly Asshiddiqie, Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraeni, Politisi Partai Nasdem Effendi Choirie, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia Fitra Arsil dan Advokat Din Law Group Sururudin.
Kepala BPHN Widodo Ekatjahjana dalam amanatnya yang disampaikan oleh Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional BPHN Yunan Hilmy mengungkapkan, evaluasi terhadap sistem pemilu legislatif merupakan hal yang lazim dan penting dilakukan untuk memperbaiki kekurangan yang kerap dijumpai dalam pelaksanaan Pemilu. Terlebih dewasa ini berkembang kembali diskursus mengenai sistem pemilihan legislatif seiring adanya gugatan terkait uji materi Undang-Undang (UU) Pemilu tentang penerapan sistem proporsional terbuka dalam Pemilu 2024.
“Sistem proporsional terbuka maupun sistem proporsional tertutup sebenarnya memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Oleh karena itu, eksplorasi terhadap pilihan-pilihan sistem pemilihan umum tidak boleh hanya dilakukan pada perspektif praktis-pragmatis belaka, tetapi harus dilakukan guna penguatan demokrasi Pancasila,” ungkapnya dalam kegiatan yang dilaksanakan di Avenzel Hotel and Convention, Cibubur – Bekasi, Kamis (23/02/2023).
Sepakat dengan Widodo, Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraeni menyampaikan bahwa evaluasi terhadap sistem pemilu perlu dilakukan, namun harus secara menyeluruh. “Evaluasi perlu dilakukan, bukan soal pemilu terbuka atau pemilu tertutup saja, namun harus secara menyeluruh. Terkait permohonan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai tertutup dan terbuka, kiranya diharapkan MK dapat memutus dengan bijak. Misalnya pada putusan mengenai Pemilu Serentak. MK secara bijak memberikan rambu-rambu tidak hanya serentak saja tapi memberikan fleksibilitas,” pungkas Titi.
Urgensi evaluasi terhadap sistem pemilu juga diamini oleh Advokat Din Law Group Sururudin. Menurutnya, sistem yang ada saat ini mengandung banyak masalah. Konsep one man, one vote, one value ternyata menghasilkan benturan besar di masyarakat. “Tidak populer lagi seorang caleg menawarkan ide/kebijakan, akan tetapi menawarkan uang, proyek dan jabatan. Kemudian dalam beberapa kasus, pemilu justru memicu perpecahan. Ini berarti ada problem. Pemilu saat ini jadi alat pemisah, karena kepentingan warga atau kepentingan elit politik itu sendiri,” katanya.
Perbaikan Kelembagaan Politik
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jimly Asshiddiqie berpendapat yang sama dengan Widodo bahwa evaluasi sistem Pemilu dibutuhkan dan perlu untuk melembagakan sistem politik di Indonesia agar menghindari konflik kepentingan. “Semua pejabat sekarang main medsos dan Twitter. Twit-nya itu sebagai pejabat atau pribadi? Campur aduk. Modernisasi peradaban harus memisahkan mana urusan privat dan mana urusan publik. Kalau kita tidak bisa memisahkan kedua hal terebut, pasti terjadi korupsi dalam bentuk penyalahgunaan kekuasaan. Jadi gara-gara medsos ini, sedang berlangsung gejala umum de-institusionalisasi politik,” kata Jimly.
Lantas, apa saja langkah yang harus dilakukan agar sistem politik legislatif di Indonesia menjadi lebih baik? Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia Fitra Arsil menyarankan salah satu caranya dengan melakukan perbaikan dalam proses rekruitmen pejabat publik. “Seorang pejabat publik setidaknya harus mengalami tiga tahapan, yakni tahap seleksi, tahap nominasi dan pemilu. Dalam tahap seleksi, pejabat tersebut harus memenuhi beberapa persyaratan. Tahap nominasi misalnya semacam pemilihan pendahuluan di internal partai secara demokratis atau melibatkan masyarakat luas. Baru setelah itu masuk ke stage pemilu,” ujar Fitra Arsil mengemukakan pendapatnya.
Politisi Partai Nasdem Effendi Choirie menyampaikan pengalamannya ketika ia duduk di DPR pada tahun 1999. “Saya melakukan studi banding sistem di beberapa negara, terutama di Amerika dan Eropa. Kesimpulan yang diperoleh: tak ada sistem demokrasi yang sempurna. Salah satu tindak lanjutnya adalah dengan mempertimbangkan pemilihan sistem pemilu dengan mempertimbangkan faktor filosofis, ideologis, sosiologis dan kompromi,” pungkasnya.
Focus Group Discussion ini berlangsung secara hybrid dan diikuti oleh kurang lebih 50 orang peserta yang terdiri dari peserta BPHN, Kementerian/Lembaga, Universitas/Perguruan Tinggi, perwakilan partai politik dan perwakilan Organisasi non-Pemerintah. Diharapkan diskusi dalam FGD ini dapat memantik diskursus dan tindak lanjut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hasil akhir yang dituju adalah hadirnya pemimpin-pemimpin dan wakil rakyat yang bersungguh-sungguh mengusahakan kesejahteraan rakyat melalui pemilu yang berkualitas. ***