Palembang, Nusaly.com – Pilkada 2024 semakin dekat, dan aroma persaingan antar pasangan calon (paslon) kian terasa. Salah satu strategi yang kerap menjadi sorotan adalah pembentukan koalisi partai politik. Koalisi gemuk, dengan dukungan banyak partai, seringkali dianggap sebagai tiket emas menuju kursi kepemimpinan. Namun, benarkah demikian?
Partai Hanura baru-baru ini mengumumkan rekomendasi mereka untuk pasangan H.M Dja’far Shodiq dan Abdiyanto (JADI) sebagai bakal calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI). Selain pasangan JADI, Hanura juga memberikan rekomendasi terpisah kepada H. Muchendi Mahzareki sebagai bakal calon Bupati dan H. Doddy Primadona Mulia sebagai bakal calon wakil Bupati. Keputusan ini tentu saja memicu berbagai tanggapan dan analisis dari berbagai pihak, termasuk pengamat politik.
Pandangan Pengamat Politik
M Haekal Al Haffafah, pengamat politik dari Universitas Sriwijaya (Unsri) dan Direktur Eksekutif Teras Indonesia, memberikan pandangannya yang tajam terkait dinamika politik di OKI pasca rekomendasi ini. Menurut Haekal, rekomendasi partai politik memang merupakan langkah maju bagi pasangan calon, namun bukan jaminan kemenangan.
“Rekomendasi partai merupakan satu langkah maju bagi pasangan calon yang akan bertarung, tentu semakin banyak partai pendukung akan semakin terbuka peluang kemenangan akan diraih. Tapi perlu diingat bahwa besarnya dukungan partai diparleman “baru atau hanya” memungkinkan satu langkah maju, satu langkah maju apa? yakni hanya baru meraih nomor urut dari KPU sebagai peserta pilkada,” papar Haekal dalam keterangan yang diterima Nusaly, Sabtu (1/6/2024).
Dukungan Partai vs Dukungan Rakyat di Pilkada 2024
Haekal menekankan bahwa dukungan partai tidak selalu sejalan dengan dukungan rakyat. Koalisi partai yang besar bisa saja rapuh karena konflik kepentingan internal. Sebaliknya, pasangan calon dengan dukungan partai yang lebih kecil bisa saja menang jika memiliki basis massa yang solid.
“Dukungan partai tidak serta menggambarkan dukungan “grassroot” yang kuat. Justru koalisi dukungan partai yang gemuk punya potensi keterpecahan dididalam. Kenapa? Karena potensi conflict of interest juga besar, kelompok kepentingan di internal dan lintas partai dalam koalisi juga sangat besar, apabila ini tidak terkonsolidasi maka justru akan menghambat kerja-kerja elektoral pasangan calon,” terang Haekal.
Identitas Kepartaian yang Semakin Tipis
Menurut Haekal, identitas kepartaian pemilih di OKI masih sangat tipis. Di era digital seperti sekarang, keterikatan pemilih dengan partai politik semakin tipis. Pemilih cenderung lebih rasional dan memilih berdasarkan figur calon, program kerja, serta rekam jejak. Oleh karena itu, dukungan partai tidak lagi menjadi jaminan kemenangan.
“Party id (parpol identity) atau identitas kepartaian pemilih dengan partai sangat tipis, kenapa? karena keterikatan pemilih dengan partai sudah nyaris tidak ada lagi. Jadi kita belum bisa memastikan peluang kemenangan jika hanya lewat gemuknya dukungan partai,” ujarnya.
Dinamika Internal Partai Hanura
Terkait dinamika internal yang nanti akan muncul di Partai Hanura pasca keputusan rekomendasi, Haekal menilai bahwa hal tersebut merupakan hal yang wajar dalam politik. Menurutnya, OKI masih merupakan daerah yang cair dalam skema elektoral pilkada.
“Klaim potensi kemenangan pasangan calon akan diuji lewat rekomendasi partai di tingkat pusat. Selain itu, dukungan peta koalisi kabinet terpilih juga perlu diperhatikan, karena mesin politik negara dalam domain instrumen birokrasi menjadi faktor yang tak terhitung oleh kandidat,” papar Haekal.
Survei Politik sebagai Alat Ukur
Haekal menegaskan bahwa satu-satunya cara untuk mengukur peluang kemenangan pasangan calon secara akurat adalah melalui survei politik yang dilakukan secara periodik. Survei ini akan memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai tingkat popularitas dan elektabilitas pasangan calon di mata masyarakat.
“Kita hanya bisa mengukur kemenangan itu lewat kaidah ilmiah survei politik secara periodik, artinya kerja-kerja pasangan calon baru bisa diukur lewat tahapan demi tahapan di lapangan, dan itu membutuhkan prosedur ilmiah. Tanpa itu angka-angka elektoral tak bisa bisa dijelaskan secara kuantitatif, tutupnya.
Dinamika politik di OKI menjelang pilkada semakin menarik untuk diikuti. Rekomendasi Partai Hanura untuk pasangan Dja’far Shodiq dan Abdiyanto dan para kandidat lainnya tentu saja memberikan warna baru dalam kontestasi ini. Namun, jalan menuju kursi Bupati dan Wakil Bupati OKI masih panjang dan penuh tantangan.
Pasangan Dja’far Shodiq-Abdiyanto harus bekerja keras untuk meraih dukungan rakyat, mengelola koalisi partai dengan baik, dan memanfaatkan mesin politik negara secara efektif. Hanya dengan begitu, mereka bisa mewujudkan impian mereka untuk memimpin OKI.
Koalisi gemuk memang memberikan keuntungan bagi paslon. Namun, itu bukan jaminan kemenangan. Paslon harus mampu mengelola koalisi dengan baik, menghindari konflik internal, dan membangun citra positif di mata pemilih.
Survei politik menjadi alat ukur yang penting untuk mengetahui tingkat elektabilitas paslon. Dengan survei politik, paslon dapat mengevaluasi efektivitas strategi kampanye dan melakukan penyesuaian jika diperlukan.
Pilkada 2024 adalah pertarungan yang ketat. Paslon yang ingin meraih kemenangan harus bekerja keras, memiliki strategi jitu, dan mampu meyakinkan pemilih bahwa mereka adalah sosok yang tepat untuk memimpin daerah. (dhi)
NUSALY Channel
Dapatkan kabar pilihan editor dan breaking news di Nusaly.com WhatsApp Channel. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.