Palembang, NUSALY – Gelombang optimisme yang biasanya mengiringi jelang Pilkada mulai meredup di Kota Palembang. Dalam analisis yang tajam, pengamat politik Sumatera Selatan, Bagindo Togar Butar Butar, mengungkapkan kekecewaannya terhadap konstelasi politik jelang Pilwako Palembang 2024. Tiga pasangan calon yang tampil di panggung politik dinilai tak cukup menggugah, bahkan terkesan kurang menarik, hingga memicu kekhawatiran akan meningkatnya angka golongan putih (golput).
Bagindo menyoroti keputusan partai-partai besar yang alih-alih mendorong kadernya yang teruji, malah memajukan calon dari luar kalangan politik.
“Golkar, Gerindra, dan PDI-P seharusnya bisa menawarkan figur kuat dari dalam, tetapi justru memilih Ratu Dewa, seorang ASN yang notabene bukan politisi, untuk maju sebagai calon wali kota, didampingi Prima Salam. Ini jelas langkah yang kurang bijak, terutama ketika kita berbicara tentang jabatan politik yang sarat dengan kompleksitas dan butuh keahlian khusus,” kata Bagindo dengan nada penuh kritik.
Calon Non-Kader: Kebijakan Politik yang Disoal
Pilihan untuk menominasikan Ratu Dewa sebagai calon wali kota telah mengundang tanya. Bagindo menilai, seharusnya partai-partai pengusung memanfaatkan kader-kader internal yang lebih memahami dinamika politik lokal. Kota Palembang dengan populasi 1,8 juta jiwa, membutuhkan pemimpin yang tidak hanya paham birokrasi, tetapi juga piawai dalam manuver politik.
“Menempatkan tokoh birokrasi di jabatan politik bisa menjadi bumerang. Jabatan wali kota bukan hanya soal administrasi, ini soal kepemimpinan visioner dan kemampuan politik untuk mengeksekusi kebijakan,” tegas Bagindo.
Elektabilitas yang Dipertanyakan
Selain soal calon non-kader, Bagindo juga mengkritisi upaya membangun narasi elektabilitas yang dinilainya kurang valid.
“Survei elektabilitas yang dijadikan acuan seringkali tidak tepat, apalagi ketika dilakukan jauh sebelum hari pemilihan. Ini membuat hasil survei rentan untuk dipertanyakan keabsahannya,” ujar Bagindo, mempertanyakan keandalan data yang digunakan sebagai justifikasi pengusungan calon.
Baginya, mematok pilihan politik berdasarkan hasil survei prematur adalah keputusan yang riskan. Itu bisa menjadi jebakan jika ternyata pemilih tidak berresonansi dengan kandidat saat hari pemilihan tiba.
Kota Palembang Butuh Lebih dari Sekadar Retorika
Tak hanya itu, Bagindo juga mengkritisi ketiadaan program kerja yang jelas dan konkret dari para calon. “Sejauh ini, apa yang kita dengar hanya sekadar janji tanpa visi yang nyata. Mereka sibuk mengangkat citra pribadi, tetapi minim gagasan segar yang dibutuhkan untuk membawa Palembang maju ke depan,” sindirnya.
Bagindo memaparkan, dengan posisi geografis dan potensi sumber daya alam yang strategis, Palembang memerlukan pemimpin yang lebih dari sekadar penggugah janji. Ia menekankan bahwa kota ini butuh figur yang tidak hanya berani berpikir besar, tetapi juga memiliki kemampuan nyata dalam mewujudkan perubahan, baik dalam infrastruktur, pengembangan sumber daya manusia, maupun pelayanan publik.
Ancaman Golput: Kekecewaan yang Mengintai
Kritik keras Bagindo terhadap ketiga pasangan calon ini berujung pada satu kekhawatiran besar: ancaman golput. Menurutnya, tidak adanya figur pemimpin yang kuat dan program kerja yang nyata bisa memicu apatisme di kalangan pemilih.
“Jika ketiga paslon ini tidak segera memperbaiki narasi kampanyenya, jangan heran kalau angka golput akan meningkat. Warga yang kecewa bisa jadi memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya,” tutup Bagindo dengan nada prihatin.
Dengan kondisi politik seperti ini, Pilkada yang semestinya menjadi pesta demokrasi bisa berubah menjadi ajang kekecewaan bagi warga Palembang.
Tinggal menunggu waktu, apakah para kandidat mampu bangkit dan menawarkan sesuatu yang lebih dari sekadar retorika, atau justru membiarkan potensi golput merajalela dan menggagalkan harapan akan perubahan yang lebih baik. (dhi)
NUSALY Channel
Dapatkan kabar pilihan editor dan breaking news di Nusaly.com WhatsApp Channel. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.