Politik

Polemik Politik Sumatera Selatan: Krisis Gagasan, Politik Uang, dan Tradisi Serangan Fajar yang Mengakar

×

Polemik Politik Sumatera Selatan: Krisis Gagasan, Politik Uang, dan Tradisi Serangan Fajar yang Mengakar

Share this article
Polemik Politik Sumatera Selatan: Krisis Gagasan, Politik Uang, dan Tradisi Serangan Fajar yang Mengakar
Polemik Politik Sumatera Selatan: Krisis Gagasan, Politik Uang, dan Tradisi Serangan Fajar yang Mengakar

PALEMBANG, NUSALY – Dalam pentas politik Sumatera Selatan, perhelatan pemilihan kepala daerah (pilkada) selalu menghadirkan dinamika yang sarat akan polemik. Fenomena serupa dapat dilihat di banyak daerah, termasuk di Ogan Komering Ilir (OKI), yang baru-baru ini menjadi pusat perhatian akibat eskalasi rivalitas antar pasangan calon (paslon) yang bersaing dalam Pilkada Serentak 2024.

Namun, di balik gegap gempitanya kampanye, diskusi hangat antar pendukung, serta janji-janji politik yang digelontorkan, terdapat realitas pahit yang menggelayut di atas panggung politik daerah ini. Bagindo Togar, seorang pengamat politik yang dikenal kritis, menyoroti secara tajam persoalan mendasar yang melingkupi kontestasi politik di Sumatera Selatan dalam wawancara eksklusif.

Menurut Bagindo Togar, krisis gagasan adalah salah satu persoalan utama yang menghantui banyak calon kepala daerah. Ia mengamati bahwa sebagian besar paslon, tidak hanya di OKI tetapi juga di Sumatera Selatan secara keseluruhan, gagal menghadirkan visi dan misi yang inovatif dan transformatif.

“Kita menyaksikan sebuah realitas di mana mayoritas paslon terjebak dalam retorika yang kosong, tanpa menawarkan solusi konkret atas masalah yang dihadapi masyarakat. Situasi ini sangat memprihatinkan,” tuturnya.

Politik yang Terjebak dalam Seremoni Kosong

Bagindo Togar menilai bahwa minimnya gagasan dalam pilkada Sumatera Selatan menandakan sebuah pergeseran esensi dari kontestasi politik yang seharusnya menjadi ajang adu gagasan. Dalam banyak kasus, program-program kampanye yang ditawarkan oleh para paslon lebih mirip sebuah formalitas belaka. Program tersebut tampak dirancang hanya untuk memenuhi regulasi administratif yang ditetapkan oleh penyelenggara pemilu.

“Kita melihat banyak janji yang hanya disusun untuk memenuhi syarat kampanye. Janji-janji tersebut terkesan klise, generik, dan tidak memiliki diferensiasi yang jelas antara satu paslon dengan paslon lainnya,” ungkap Bagindo Togar.

Direktur Eksekutif Forum Demokrasi Sriwijaya (Fordes) ini juga menyoroti bagaimana perdebatan politik di Sumsel, khususnya dalam tahapan debat kandidat, sering kali kehilangan substansi. Banyak kandidat yang tampak tidak memiliki pemahaman mendalam terkait isu-isu krusial yang dihadapi daerah, seperti masalah infrastruktur, kemiskinan, pendidikan, hingga krisis lingkungan.

“Apa yang terjadi saat debat kandidat sering kali tidak lebih dari sekadar seremoni formal. Para calon tidak benar-benar menawarkan gagasan orisinal yang lahir dari pemikiran mereka sendiri. Sebaliknya, banyak dari mereka yang sepenuhnya bergantung pada konsultan politik yang mereka sewa,” tambahnya.

Dominasi Konsultan Politik dan Minimnya Gagasan Orisinal

Lebih lanjut, Bagindo Togar mengungkapkan bahwa keberadaan konsultan politik yang terlalu dominan dalam proses politik adalah salah satu penyebab utama dari krisis gagasan ini. Dalam pandangannya, peran konsultan dalam merancang strategi kampanye sering kali mengesampingkan orisinalitas dan kreativitas dari paslon itu sendiri.

“Konsultan politik sering kali hadir bukan untuk membantu mengartikulasikan visi dan misi yang lahir dari pemikiran paslon, melainkan untuk merancang strategi yang pragmatis dan taktis guna memenangkan suara. Akibatnya, politik menjadi semakin mekanis, sementara aspek substansi gagasan justru terabaikan,” jelas Bagindo Togar.

Kondisi ini diperburuk oleh fakta bahwa mayoritas paslon lebih tertarik menginvestasikan dana kampanye mereka pada pencitraan melalui media sosial, iklan, dan kampanye lapangan ketimbang mengedepankan dialog substantif yang melibatkan masyarakat secara langsung.

“Dalam banyak hal, perdebatan di media sosial yang sering kali panas justru menjadi fokus, sementara dialog yang konstruktif dengan pemilih seolah diabaikan,” ungkapnya.

Serangan Fajar: Tradisi yang Mengakar di Sumsel

Salah satu aspek paling mencolok dari kontestasi politik di Sumsel adalah tradisi “serangan fajar”. Istilah ini merujuk pada praktik politik uang yang dilakukan menjelang hari pemungutan suara, di mana paslon atau tim sukses mereka membagikan uang tunai kepada pemilih dengan harapan mendapatkan suara. Bagindo Togar menegaskan bahwa praktik serangan fajar bukanlah fenomena baru, melainkan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari ritual pilkada di banyak daerah di Indonesia, termasuk Sumatera Selatan.

“Serangan fajar ini merupakan manifestasi dari kebobrokan sistem politik kita. Praktik ini memperlihatkan betapa rentannya masyarakat kita terhadap manipulasi politik uang, terutama di daerah-daerah yang tingkat kesejahteraannya masih rendah,” papar Bagindo Togar.

Ia menambahkan bahwa politik uang telah menjadi alat utama dalam memenangkan kontestasi politik, mengesampingkan pentingnya kampanye berbasis program dan gagasan.

Ironisnya, meskipun sudah ada berbagai regulasi yang mengatur larangan politik uang, serangan fajar tetap menjadi senjata utama bagi paslon untuk mendulang suara. Hal ini, menurut Bagindo Togar, memperlihatkan betapa lemahnya penegakan hukum dalam konteks pilkada.

“Pengawasan dari lembaga pengawas pemilu sering kali tidak maksimal, sehingga politik uang terus menjadi momok yang menggerogoti demokrasi kita,” tambahnya.

Politik Uang dan Dilema Masyarakat

Bagindo Togar menyadari bahwa dalam banyak kasus, masyarakat di Sumsel sendiri kerap berada dalam posisi yang dilematis. Di satu sisi, mereka memahami bahwa politik uang merusak integritas demokrasi, tetapi di sisi lain, mereka merasa tidak punya pilihan.

“Bagi masyarakat di daerah-daerah miskin, uang yang dibagikan oleh tim sukses paslon sering kali lebih berarti daripada janji-janji kampanye yang tidak jelas realisasinya,” jelasnya.

Ia menggambarkan situasi ini sebagai lingkaran setan yang sulit dipecahkan. Paslon yang berkompetisi tahu bahwa masyarakat sangat rentan terhadap politik uang, sementara masyarakat sendiri merasa skeptis terhadap kemampuan pemerintah atau calon terpilih untuk benar-benar memperbaiki kondisi mereka.

“Dalam situasi seperti ini, politik uang menjadi sebuah solusi instan yang dianggap lebih nyata oleh masyarakat dibandingkan janji-janji politik yang mungkin tidak pernah terealisasi,” tutur Bagindo Togar.

Mencari Jalan Keluar: Harapan akan Pilkada yang Berkualitas

Meski demikian, Bagindo Togar tetap optimis bahwa perubahan masih bisa terjadi. Menurutnya, kunci utama untuk memutus rantai politik uang dan meningkatkan kualitas pilkada terletak pada pendidikan politik bagi masyarakat.

“Kita harus mengedukasi masyarakat tentang pentingnya memilih berdasarkan gagasan dan program kerja yang ditawarkan oleh paslon, bukan berdasarkan uang atau hadiah lainnya,” ujarnya.

Bagindo Togar juga menekankan pentingnya peran media massa dalam mengawal jalannya pilkada. Media, menurutnya, harus mampu menjadi alat kontrol sosial yang objektif dan independen, tidak terjebak dalam politik praktis.

“Media memiliki peran penting dalam membentuk opini publik. Oleh karena itu, media harus dapat memberikan informasi yang akurat dan berimbang, sehingga masyarakat bisa membuat keputusan yang tepat saat memilih pemimpin mereka,” tegasnya.

Namun, Bagindo Togar juga mengakui bahwa tantangan terbesar dalam menciptakan pilkada yang berkualitas adalah reformasi sistem politik itu sendiri.

“Selama sistem politik kita masih memungkinkan adanya celah untuk politik uang, akan sangat sulit untuk melihat perubahan signifikan dalam kualitas demokrasi kita,” tutupnya dengan nada pesimis.

Secara keseluruhan, politik di Sumatera Selatan, khususnya dalam konteks pilkada, masih menghadapi banyak tantangan. Krisis gagasan, dominasi konsultan politik, politik uang, dan tradisi serangan fajar adalah beberapa masalah utama yang merongrong integritas demokrasi di daerah ini. Namun, dengan komitmen kuat dari semua pihak—terutama masyarakat, media, dan penyelenggara pemilu—masih ada harapan untuk menciptakan pilkada yang lebih berkualitas dan berintegritas di masa mendatang. (dhi)

NUSALY Channel

Dapatkan kabar pilihan editor dan breaking news di Nusaly.com WhatsApp Channel. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.