PALEMBANG, NUSALY — Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Tirta Musi Palembang, sebuah entitas penyedia layanan air yang akarnya menjulur sejak masa kolonial, kini memasuki sebuah era krusial. Perumda ini berada di titik kritis antara tuntutan efisiensi korporat modern dan kewajiban moral untuk memperluas cakupan layanan.
Di tengah pusaran tantangan ini, muncul nama Oka Wiryadi, S.T., M.M., sebagai figur yang diprediksi akan mengisi kursi Direktur Utama. Profilnya mencerminkan pergeseran paradigma kepemimpinan: ia bukan sosok yang dibesarkan dari hiruk pikuk teknis perpipaan, melainkan seorang veteran yang ditempa selama 17 tahun di jantung industri strategis yang menuntut manajemen aset kapital masif—sektor yang dikenal kental dengan tuntutan presisi logistik tingkat tinggi, manajemen rantai pasokan yang ketat, dan pengelolaan aset modal yang masif.
Kepindahan latar belakang industri ini bukanlah anomali, tetapi justru sebuah keharusan. Tirta Musi membutuhkan disrupsi metodologis. Perusahaan ini tidak hanya membutuhkan insinyur air, tetapi seorang arsitek manajemen yang mampu menerapkan logika bisnis yang terukur dari industri manufaktur keras untuk memecahkan masalah pelayanan publik yang berlarut-larut. Tantangannya adalah: mampukah disiplin Jenderal Logistik ini mengatasi kebocoran pipa yang telah menjadi penyakit kronis di PDAM seluruh Indonesia?
Logika Kebocoran: Menghitung Konsekuensi NRW 26,8 Persen
Analisis mendalam terhadap Laporan Tahunan Perumda Tirta Musi 2024 menjadi titik awal untuk memahami besarnya taruhan yang diemban Oka Wiryadi. Laporan tersebut menyajikan dua wajah korporasi: fondasi finansial yang kuat, tetapi diimbangi dengan masalah operasional yang menghambat.
Data di akhir tahun 2024 menunjukkan bahwa tingkat Air Tak Berekening (NRW) Perumda Tirta Musi berada pada angka realisasi 26,8 persen. Angka ini, secara teknis, memang telah menurun dari capaian tahun-tahun sebelumnya, menandakan adanya upaya perbaikan. Namun, dalam konteks disiplin korporat, kebocoran hampir sepertiga dari total air yang diproduksi adalah sebuah pendarahan finansial yang sistemik.
Dalam konteks industri dengan aset besar yang sangat sensitif terhadap marjin dan efisiensi logistik, kebocoran 26,8 persen adalah sebuah kelalaian yang tidak terbayangkan. Tugas pertama Oka Wiryadi adalah menghubungkan NRW ini dengan konsekuensi finansial dan sosialnya.
“Kebocoran 26,8 persen itu bukan sekadar angka teknis, itu adalah potensi pendapatan yang hilang, itu adalah ekuitas publik yang menguap dan pada akhirnya, itu adalah kegagalan untuk melayani 17,6 persen penduduk yang belum mendapatkan akses air bersih,” ujar Bagindo Togar, pengamat kebijakan publik yang akrab dengan PDAM di Sumatera Selatan.
Di sisi lain, Tirta Musi memiliki fondasi ekonomi yang kokoh. Laporan 2024 mencatat Laba Bersih Tahun Berjalan mencapai Rp35,53 Miliar, didukung oleh total Aset senilai Rp1,57 Triliun per akhir tahun. Kesehatan finansial yang stabil ini menjadi modal vital (leverage) untuk membiayai lompatan teknologi. Namun, laba yang diperoleh akan terus tertekan jika kebocoran tak berekening tersebut tidak diselesaikan dengan metodologi yang ketat.
Inilah kaitan antara logistik industri dan logistik air: Industri tersebut menuntut akurasi stock opname dan yield yang hampir sempurna. Oka Wiryadi, dengan latar belakang Capital Asset Management dan Procurement-nya, didorong untuk melihat jaringan pipa Tirta Musi sepanjang ratusan kilometer sebagai sebuah rantai pasokan yang memerlukan audit presisi. Solusinya, menurut visinya, bukan hanya menambal pipa, melainkan menerapkan sistem SCADA (Supervisory Control and Data Acquisition) dan GIS (Geographic Information System) yang terintegrasi.
Visi ‘Smart Happy’: Melampaui Slogan Menjadi Kerangka Kerja Metodologis
Oka Wiryadi tiba dengan visi yang terdengar humanis namun berakar pada teknologi korporat: “Menjadikan Perumda Tirta Musi sebagai Perusahaan Smart Happy yang Unggul pada Tahun 2028.”
Visi ini dipandang sebagai kerangka kerja metodologis yang diterjemahkan melalui empat pilar yang diusungnya, yang dikenal sebagai skema Terencana, Terukur, Terstruktur, dan Berkelanjutan (3T + 1B).
Pilar utama adalah Terencana dan Terstruktur, yang merupakan fondasi dari industri manufaktur di mana segala sesuatu harus memiliki blueprint yang jelas, mulai dari penggantian pipa hingga skema insentif karyawan. Keahlian Oka sebagai Direktur anak perusahaan BUMN mengajarkan bahwa proyek modal besar harus on budget dan on time, sebuah disiplin yang kini dibawa ke manajemen operasional air. Pilar ini mendikte bahwa keputusan operasional tidak boleh reaktif, melainkan berdasarkan desain manajemen risiko yang sudah dipetakan.
Selanjutnya adalah pilar Terukur, yang berhubungan langsung dengan penyelesaian masalah NRW. Pengukuran di bawah kepemimpinan yang baru tidak boleh lagi bersifat kualitatif atau reaktif. Oka diprediksi akan memperkenalkan Key Performance Indicator (KPI) yang ketat, tidak hanya untuk Direksi, tetapi hingga level staf lapangan. Setiap penurunan 1 persen NRW harus terukur dan dikaitkan dengan insentif tim, mengubah budaya kerja yang cenderung pasif menjadi budaya berbasis performance yang didorong oleh data.
Pilar keempat yang tak kalah penting adalah Berkelanjutan (Sustainable). Dalam konteks Tirta Musi, keberlanjutan berarti memastikan pasokan bahan baku air baku tidak terganggu oleh kerusakan lingkungan dan memastikan infrastruktur yang dibangun hari ini tidak menjadi beban operasional 10 tahun ke depan. Pilar ini menggarisbawahi komitmen pada aspek lingkungan dan sosial, menjamin bahwa pembangunan infrastruktur fisik akan sejalan dengan daya dukung alam.
Inilah esensi dari kata Smart yang ia usung: penerapan metode yang disiplin dan terstruktur untuk memecahkan masalah. Sementara Happy adalah hasil akhirnya, baik bagi pelanggan yang menikmati layanan 24 jam maupun karyawan yang merasakan kesejahteraan dan kejelasan karir.
Taruhan Keadilan Sosial: Misi The Last Mile
Di balik angka-angka NRW dan aset triliunan rupiah, terdapat mandat sosial terbesar yang harus dipenuhi: melayani 17,60 persen penduduk yang belum terjangkau. Cakupan layanan di Palembang per 31 Desember 2023 baru mencapai 82,40 persen. Gap ini bukan sekadar statistik, melainkan wajah ketidakadilan infrastruktur.
Pengalaman Oka sebagai Owner di PT Rina Sukses Bersama dan kiprahnya di ranah Marketing dan Sales memberinya perspektif customer-centric yang kuat. Ia memahami bahwa perluasan pasar dilakukan dengan menghilangkan hambatan bagi konsumen.
Janji sosial Oka, yaitu program 10.000 sambungan baru dan skema sambungan murah, adalah manuver yang cerdas secara strategis. Dengan modal laba bersih Rp35,53 Miliar, program ini secara finansial sangat mungkin dilakukan. Namun, tantangannya terletak pada Logistik The Last Mile—bagaimana mengintegrasikan jaringan pipa ke wilayah pinggiran secara efisien tanpa memperparah NRW yang sudah ada.
Program ini adalah komitmen nyata untuk menyalurkan efisiensi korporat kembali ke masyarakat. Keberhasilan program 10.000 sambungan ini akan menjadi tolok ukur utama apakah visi Smart Happy berhasil menjembatani jurang antara disiplin bisnis dan mandat keadilan sosial.
Blueprint 100 Hari: Mengubah Budaya Kerja dan Mengamankan Rantai Pengadaan
Sebuah transformasi tidak dimulai dari hasil, melainkan dari momentum di awal. Oka Wiryadi merancang 100 hari kerja pertamanya sebagai fondasi Terstruktur yang segera diikuti oleh implementasi Berkelanjutan. Setiap fase 100 hari dirancang untuk langsung menyerang akar masalah.
30 Hari Pertama: The Big Audit dan Konsolidasi Data Fase awal difokuskan pada Konsolidasi dan Quick Assessment. Ini adalah saat di mana data di atas kertas harus diverifikasi ulang dengan realitas di lapangan. Langkah ini vital dalam industri dengan aset fisik sebesar Tirta Musi. Agenda kepemimpinan di fase ini mencakup pemetaan ulang titik-titik kebocoran NRW terparah dan audit integritas rantai pengadaan (procurement). Disiplin ini dibawa langsung dari industri dengan aset besar, di mana akurasi inventori adalah kunci efisiensi; langkah ini bertujuan untuk memastikan bahwa semua aset terkelola dengan baik dan tidak ada waste dalam proses perbaikan.
31-60 Hari: Digital Leap dan Pengukuran Cepat Fase kedua adalah tentang Digitalisasi Pelayanan Cepat. Peluncuran Tirta Smart Service dan Call Center 24 Jam bukanlah sekadar fitur baru, melainkan upaya untuk memindahkan interaksi pelanggan dari reaktif ke proaktif. Di internal, penerapan transformasi digital pada Human Resources Information System (HRIS) dan KPI digital ditujukan untuk mengubah budaya kerja menjadi lebih Terukur. Staf diharapkan mulai terbiasa melihat kinerja mereka secara real-time, bukan hanya menunggu evaluasi tahunan.
61-100 Hari: Integritas dan Eksekusi Janji Sosial Menutup 100 hari, fokus berpindah ke Integritas dan Execution. Program Tirta Musi Berintegritas diluncurkan, menyasar sektor paling rentan: pengadaan barang dan jasa. Dengan latar belakang yang kuat di procurement, Oka dipandang akan memastikan transparansi penuh untuk menghilangkan praktik korupsi kecil yang kerap terjadi dalam perbaikan pipa dan pembelian material. Paralel dengan ini, eksekusi janji sosial 10.000 sambungan baru dimulai, memastikan bahwa momentum efisiensi internal segera memberikan dampak nyata bagi masyarakat.
Kepemimpinan Fleksibel dan Ketajaman Logistik
Pengalaman Oka Wiryadi yang komprehensif, mulai dari Direktur anak perusahaan BUMN, Komisaris anak usaha koperasi, hingga keahliannya di Teknik Mesin dan Magister Manajemen/Marketing, memberinya pemahaman unik tentang end-to-end business cycle korporasi. Ini adalah profil kepemimpinan yang fleksibel (agility) namun tajam secara logistik.
Kunci keberhasilan Oka Wiryadi di Tirta Musi akan bergantung pada kemampuannya untuk mengawinkan dua dunia yang berbeda. Pertama, dunia korporat yang menuntut efisiensi brutal untuk menurunkan NRW 26,8 persen menjadi angka yang sehat dan memitigasi risiko investasi atas aset Rp1,57 Triliun. Kedua, dunia pelayanan publik yang menuntut empati dan keadilan sosial untuk melayani 17,60 persen warga yang masih menunggu akses air bersih.
Jika disiplin logistik presisi industri berat dapat berhasil mengatasi NRW dan laba Rp35,53 Miliar dikonversi menjadi leverage untuk pembangunan, maka Oka Wiryadi akan mencatatkan namanya sebagai arsitek transformasi yang berhasil membawa Tirta Musi memasuki era pelayanan publik 4.0, mengubah air yang terbuang menjadi manfaat yang berkelanjutan.
(dhi)
NUSALY Channel
Dapatkan kabar pilihan editor dan breaking news di Nusaly.com WhatsApp Channel. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
