Banner Pemprov Sumsel Pemutihan Pajak
Politik Lokal

Mangkir Total di Paripurna Penentu APBD, Pejabat Palembang Dinilai Cederai Demokrasi Egaliter

×

Mangkir Total di Paripurna Penentu APBD, Pejabat Palembang Dinilai Cederai Demokrasi Egaliter

Sebarkan artikel ini

Ketidakhadiran massal jajaran eksekutif Palembang pada Paripurna APBD 2026 dinilai Pengamat Bagindo Togar sebagai manifestasi dari krisis akuntabilitas dan arogansi birokrasi. Insiden ini mencederai prinsip demokrasi egaliter dan menuntut penggunaan Hak Interpelasi hingga Pemakzulan untuk memulihkan kewibawaan legislatif.

Mangkir Total di Paripurna Penentu APBD, Pejabat Palembang Dinilai Cederai Demokrasi Egaliter
Pengamat Kebijakan Publik dari Forum Demokrasi Sriwijaya (ForDes), Drs. Bagindo Togar Butar-Butar. (Dok. Istimewa)

PALEMBANG, NUSALYKrisis akuntabilitas dan etika birokrasi Pemerintahan Kota Palembang mencapai puncaknya setelah seluruh jajaran eksekutif mangkir dari Rapat Paripurna ke-4 Masa Persidangan I DPRD Kota Palembang.

Agenda krusial yang seharusnya membahas Program Pembentukan Peraturan Daerah (Propemperda) 2026 dan laporan Badan Anggaran terkait Raperda APBD 2026 pada Sabtu (29/11/2025) terpaksa ditunda total.

Wali Kota, Wakil Wali Kota, Sekretaris Daerah, hingga seluruh Kepala Dinas dilaporkan absen tanpa keterangan resmi yang memadai, memicu reaksi keras dari anggota dewan.

Pengamat Kebijakan Publik dari Forum Demokrasi Sriwijaya (ForDes), Drs. Bagindo Togar Butar-Butar, menilai insiden ini bukan sekadar dinamika biasa, melainkan sebuah sinyal bahaya terhadap tata kelola pemerintahan yang sehat.

“Ini jelas pelecehan dan memarjinalkan posisi legislatif. Demokrasi kita sekarang bersifat egaliter dan paralel. Tidak ada lagi saling mensubordinasi. Eksekutif bukan pihak yang bisa seenaknya mengabaikan Peran dan Fungsi DPRD,” tegas Bagindo Togar.

Menurut Togar, ketidakhadiran massal pimpinan daerah dan kepala dinas mencerminkan ego kelembagaan yang sangat kuat, yang berpotensi menyembunyikan masalah yang lebih fundamental.

“Saya melihat ada ego kelembagaan yang sangat kuat. Bahkan terkesan ada sesuatu yang ingin ditutupi. Ini bukan hal dinamika biasa, ini kejadian yang tidak lazim karena satu pun pejabat eksekutif tidak hadir,” katanya.

Krisis etika ini, lanjut Togar, telah mencoreng prinsip demokrasi modern yang mensyaratkan kolaborasi dan komunikasi yang sejajar.

Penistaan Lembaga Legislatif dan Pelanggaran Etika

Dalam konteks hukum tata negara, aksi mangkir total ini dianggap melanggar prinsip check and balance dan mengancam independensi legislatif. Fungsi utama DPRD, yaitu fungsi Budgeting (pengesahan anggaran) dan Kontrol (pengawasan), lumpuh total akibat insiden ini.

Bagindo Togar menegaskan bahwa ketidakhadiran ini adalah penistaan terhadap lembaga wakil rakyat. Paripurna adalah forum pengambilan keputusan politik yang bersifat kolektif dan mengikat, bukan sekadar rapat internal dinas.

“Ketidakhadiran ini menunjukkan ketidakseriusan Pemkot dalam menjalankan tupoksinya. Ini bukan agenda kecil, tapi menyangkut kepentingan masyarakat luas,” tambah Wakil Ketua DPRD Palembang, M. Hidayat, menyayangkan absennya seluruh jajaran Pemkot.

Pelanggaran etika ini juga memiliki dasar hukum dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, yang mewajibkan kepala daerah hadir dalam setiap Rapat Paripurna DPRD yang menyangkut kepentingan daerah. Ketidakhadiran tanpa alasan yang sah dan disetujui, khususnya pada agenda APBD, mengindikasikan adanya kebijakan yang cacat sejak awal atau ketidakprofesionalan dalam persiapan materi.

Baca juga  Camat Gandus Gerak Cepat Bantu Warga Sakit Tak Berdaya

Togar secara implisit menuding bahwa tindakan semacam ini hanya berani dilakukan oleh birokrasi yang merasa terlindungi oleh kekuatan politik non-profesional. Ini sejalan dengan kritiknya sebelumnya terkait proses seleksi jabatan strategis (seperti Dirut Tirta Musi), di mana merit system digadaikan demi kedekatan politik, yang berujung pada pemimpin yang tidak akuntabel terhadap kontrol publik.

Tertundanya Solusi: APBD 2026 dan Layanan Publik yang Terancam

Dampak yang paling merugikan adalah tertundanya pembahasan APBD 2026. Penundaan ini bukan hanya masalah kalender, tetapi masalah kualitas dan ketepatan waktu alokasi dana untuk layanan publik.

Apabila pengesahan APBD molor, implementasi program-program vital akan tertunda, termasuk alokasi dana untuk kesehatan, peningkatan infrastruktur daerah, hingga penanganan isu-isu mendesak yang membutuhkan investasi daerah. Bagindo Togar menekankan bahwa policy failure semacam ini sangat fatal di tengah tantangan layanan publik Palembang yang memerlukan solusi segera.

Contoh konkretnya adalah sektor air bersih. Krisis kepemimpinan dan kebutuhan investasi besar di Perumda Tirta Musi (untuk menekan NRW atau perbaikan pipa) sangat bergantung pada dukungan fiskal daerah. Jika anggaran dasar tidak dibahas tepat waktu karena arogansi eksekutif, maka penyelesaian masalah layanan publik—yang telah lama membebani ratusan ribu Kepala Keluarga—akan semakin tertunda.

Wali Kota Palembang, H. Ratu Dewa, beralasan bahwa ketidakhadiran disebabkan oleh proses yang belum final antara Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) dan Badan Anggaran (Banggar) DPRD.

“Masih ada dinamika antara TAPD dan Banggar DPRD. Karena belum final, maka kita finalkan dulu sebelum paripurna. Forum paripurna itu harus berbasis kesepakatan, sementara saat itu kesepakatannya belum tercapai,” jelas Dewa.

Namun, alasan teknis ini, menurut Togar, tidak dapat membenarkan absennya seluruh jajaran pimpinan tinggi eksekutif. Juru bicara pemerintah, dalam demokrasi yang egaliter, harus tetap hadir untuk menghormati jadwal dan menyampaikan alasan penundaan secara resmi di forum Paripurna, bukan mangkir total.

Baca juga  Tragedi Sungai Musi, Harga Mahal Kerentanan Pekerja Migran di Pinggiran Kota

“Ketidakhadiran total ini sinyal ketiadaan hormat pada kelembagaan,” tegas Togar.

Memulihkan Kewibawaan: Tuntutan Interpelasi dan Pemakzulan

Demi memulihkan kewibawaan DPRD dan memberikan efek jera, Bagindo Togar mendesak agar parlemen mengambil langkah politik terukur namun tegas. Langkah awal adalah pembentukan Pansus, yang harus berjalan dengan integritas.

“Pansus ini harus dibentuk dengan sangat serius, dengan tujuan dan sasaran yang jelas serta didukung data lengkap dan argumentasi yang kuat. Hanya dengan begitu tujuan Pansus dibentuk bisa efektif,” ujarnya.

Pansus wajib menginvestigasi secara mendalam siapa yang bertanggung jawab atas kegagalan komunikasi dan persiapan APBD sehingga berujung pada pembatalan Paripurna. Tujuannya adalah memastikan bahwa sanksi etik dan administratif diberikan kepada oknum yang terbukti lalai, bukan sekadar “gertak-gertak” politik.

Jika sanksi etik dan administratif tidak diindahkan, DPRD Palembang memiliki hak konstitusional yang lebih kuat. Hak Interpelasi harus digunakan untuk meminta keterangan dan pertanggungjawaban dari eksekutif.

Bagindo Togar menutup kritiknya dengan menyerukan langkah politik terberat jika insiden ini terulang kembali.

“Kalau perlu digunakan hak-hak DPRD, termasuk hak interpelasi. Bahkan mengimpeach pasangan wali kota sangat mungkin dilakukan bila tindakan ini masih terulang, karena jelas nyata mencederai proses demokrasi dan melecehkan lembaga wakil rakyat,” pungkasnya.

Tuntutan untuk menggunakan hak Pemakzulan (Impeachment) adalah sinyal keras bahwa Policy Failure yang diwarnai arogansi dan pengabaian terhadap fungsi legislatif dapat memiliki konsekuensi politik tertinggi.

Kegagalan komunikasi yang berulang, khususnya terkait agenda vital seperti APBD, menunjukkan adanya krisis kepemimpinan yang tidak hanya mengancam kinerja, tetapi juga legitimasi politik di Palembang.

Langkah politik yang tegas, transparan, dan terukur saat ini adalah satu-satunya cara bagi DPRD untuk menegakkan kewibawaan, menjamin kelancaran layanan publik, dan membuktikan kepada masyarakat bahwa demokrasi egaliter di Palembang tidak akan ditundukkan oleh arogansi birokrasi.

(dhi)

NUSALY Channel

Dapatkan kabar pilihan editor dan breaking news di Nusaly.com WhatsApp Channel. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.