Gaya Hidup

Fenomena Hustle Culture pada Generasi Z: Antara Ambisi Kontrol dan Tekanan Sistemik

×

Fenomena Hustle Culture pada Generasi Z: Antara Ambisi Kontrol dan Tekanan Sistemik

Sebarkan artikel ini

Motivasi Gen Z untuk menampilkan kesuksesan diri di ruang publik, terutama media sosial, didorong oleh ambisi meraih kontrol atas hidup dan kebutuhan akan keunggulan kompetitif. Fenomena ini menciptakan risiko burnout yang tinggi di tengah tuntutan ekonomi dan sistem pendidikan yang padat.

Fenomena Hustle Culture pada Generasi Z: Antara Ambisi Kontrol dan Tekanan Sistemik
Foto: Ilustrasi. Generate by AI

JAKARTA, NUSALY — Citra kesuksesan personal dan profesional yang ditampilkan secara masif di media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas Generasi Z. Di platform daring, rutinitas harian yang flawless, capaian karier, dan pengumuman gaji pertama seringkali disajikan dengan narasi inspiratif. Bagi Gen Z, aktivitas ini bukan sekadar pamer (flex), melainkan cara untuk mengklaim kontrol atas kehidupan mereka di tengah ketidakpastian.

Penelusuran dan wawancara dengan tiga perwakilan Gen Z—Azahra (22), Jeje (22), dan Muhammad Fawwaz (23) oleh Kompas.com—menunjukkan bahwa dorongan untuk terlihat sukses adalah campuran kompleks antara kebutuhan ekonomi, ambisi pribadi, dan tekanan sistemik yang kurang terlihat.

Sukses sebagai Kontrol dan Progres

Interpretasi Gen Z terhadap kesuksesan tidak selalu berorientasi pada kekayaan atau jabatan semata. Fawwaz (23) mendefinisikan sukses sebagai kemampuan mengendalikan hidup sendiri, meliputi kontrol atas waktu, energi, dan pilihan karier yang diambil.

Jeje (22) menambahkan bahwa sukses baginya berarti kontrol dan konsistensi, dibuktikan melalui pencapaian target finansial seperti kemampuan menabung rutin. Sementara Azahra (22) memiliki perspektif yang lebih mikro, mendefinisikan sukses sebagai rangkaian target kecil yang tercapai, atau yang sering disebut micro-wins, misalnya disiplin bangun subuh tepat waktu.

Dengan demikian, bagi banyak Gen Z, sukses adalah akumulasi dari pencapaian-pencapaian kecil yang menandakan adanya progres, bukan semata-mata diukur dari angka saldo rekening.

Motivasi Campur Aduk: Ekonomi dan Independensi

Fenomena hustle culture (budaya kerja keras berlebihan) yang menjangkiti Gen Z juga didorong oleh motivasi yang bercampur.

Baca juga  Gubernur Sumsel Ajak Insan Media Sajikan Berita Positif di Bulan Ramadan

Ketika diminta menilai antara kebutuhan ekonomi dan keinginan validasi, Azahra menempatkan motivasinya di tengah. Ia mengakui masih mendapat dukungan keluarga, tetapi merasa perlu bersiap untuk mapan secara finansial segera setelah lulus. Berbeda dengan Azahra, Jeje mengakui ambisinya didorong kuat oleh keinginan untuk independensi dan membuktikan kapasitas diri, selain faktor kebutuhan ekonomi.

Fawwaz, yang telah hidup mandiri, menunjukkan motivasi yang paling didominasi oleh kebutuhan nyata. Ia sering mengambil proyek demi biaya hidup dan membangun safety net finansial di usia muda. Secara keseluruhan, hustle pada generasi ini lahir dari kebutuhan nyata (mencari biaya hidup) sekaligus ambisi untuk memiliki keunggulan kompetitif di awal karier.

Realitas Multi-Role dan Risiko Burnout

Realitas pekerjaan Gen Z sering kali menuntut peran ganda (multi-role), yang secara kasat mata terlihat sangat produktif, namun berisiko tinggi menimbulkan burnout.

  • Jeje, misalnya, bekerja sebagai social media specialist (sekitar 40 jam per minggu) sambil menyelesaikan skripsi (15–20 jam per minggu), sehingga total jam kerjanya mendekati 58–65 jam per minggu.
  • Fawwaz harus juggling antara peran sebagai trainer, project manager, dan kuliah, yang total jamnya sering mencapai 45–55 jam per minggu.
  • Azahra mencoba menyeimbangkan pekerjaan freelance editing (8–12 jam per minggu) dengan tuntutan skripsi dan kegiatan kampus.

Kehidupan multi-role yang padat ini membuat Gen Z harus memulai usaha lebih awal demi keunggulan kompetitif, tetapi juga jelas meningkatkan risiko sindrom kelelahan akut (burnout). Gejala burnout, yang digambarkan para narasumber, meliputi rasa lelah yang menetap, mood datar, kerja berubah menjadi autopilot, dan kecenderungan menarik diri dari relasi sosial.

Media Sosial sebagai Etalase Reputasi

Di tengah jadwal yang padat ini, media sosial berperan besar dalam menata citra kesuksesan. Semua narasumber sepakat bahwa media sosial adalah “shop window” (etalase) yang vital untuk membangun reputasi dan peluang kerja.

Baca juga  Serangan Udara Digital: Mengintai Bahaya Politik Era Digital

Namun, yang ditampilkan seringkali adalah versi terbaik (highlight reel). Jeje mengakui jarang mengunggah hari-hari kacau dan memilih menyimpan sisi rapuh untuk lingkaran terdekat. Fawwaz sering mem-posting video training yang rapi tanpa menampilkan proses begadang hingga dini hari di baliknya. Azahra mengunggah dokumentasi magang tidak hanya untuk validasi, tetapi untuk berbagi informasi, meskipun ia sadar publik dapat menafsirkan posting tersebut sebagai pameran.

Solusi Sistemik dan Kebutuhan Dasar

Para Gen Z berpendapat bahwa hustle sering kali bukan sebuah pilihan, melainkan sebuah keharusan yang dipaksakan oleh tekanan sistemik, baik itu tuntutan ekonomi, tanggung jawab keluarga, atau aturan kampus yang memaksa mereka bekerja ekstra. Azahra mengingat tugas kampus dan kegiatan asrama yang membuat ia begadang bukan karena kemauan pribadi, melainkan karena sistem yang menuntut.

Dari perspektif kebijakan, para Gen Z setuju bahwa solusi harus datang dari instansi dan perusahaan. Tuntutan kompetensi yang tinggi harus diimbangi dengan kompensasi yang sepadan.

“Kalau mau minta skill banyak, ya bayar yang bener,” ujar Jeje, menuntut keadilan.

Mereka menuntut desain kerja yang lebih human-friendly: jam fleksibel, target jelas, mentorship, dan penghargaan yang adil. Ini akan mengurangi normalisasi hustle 24/7.

Adapun cara pemulihan (recovery) dari burnout menurut mereka efektif jika berfokus pada kebutuhan dasar tubuh dan ruang aman emosional: tidur cukup, detoks media sosial, journaling, dan curhat pada satu orang yang dipercaya. Recovery paling efektif, menurut Jeje dan Fawwaz, bukan sekadar motivasi, melainkan kembali kepada kebutuhan dasar tubuh dan ruang aman untuk bercerita, menanggapi tekanan untuk terus terlihat sukses dengan mengambil langkah cerdas: hustle smart, not hustle hard.

(dhi)

NUSALY Channel

Dapatkan kabar pilihan editor dan breaking news di Nusaly.com WhatsApp Channel. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.