Banner Pemprov Sumsel Pemutihan Pajak
Data & Visual

Dakwaan Rp 137 M, Dilema Hukum Alex Noerdin Cs Diapit Jasa Masa Lalu dan Tekanan Amnesti Massa

×

Dakwaan Rp 137 M, Dilema Hukum Alex Noerdin Cs Diapit Jasa Masa Lalu dan Tekanan Amnesti Massa

Sebarkan artikel ini
Dakwaan Rp 137 M, Dilema Hukum Alex Noerdin Cs Diapit Jasa Masa Lalu dan Tekanan Amnesti Massa
Majelis Hakim mendengarkan pembacaan dakwaan Jaksa Penuntut Umum (kanan) dalam sidang perdana kasus korupsi Pasar Cinde di PN Palembang. (Dok. InSan/Nusaly.com)

PALEMBANG, NUSALY – Perkara dugaan korupsi revitalisasi Pasar Cinde memasuki babak krusial dengan dibacakannya surat dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi Sumsel di Pengadilan Negeri (PN) Palembang, Kamis (30/10/2025). Sidang perdana ini menyeret nama besar mantan Gubernur Sumatera Selatan, Alex Noerdin, bersama tiga terdakwa lain: mantan Wali Kota Palembang Harnojoyo, Eddy Hermanto, dan Raimar Yousnaidi.

Majelis Hakim yang diketuai Fauzi Isra, S.H., M.H., menjadi saksi pembacaan dakwaan yang menuding para terdakwa secara bersama-sama melakukan perbuatan melawan hukum dengan maksud memperkaya diri, orang lain, atau korporasi (PT Magna Beatum). Akibat perbuatan tersebut, JPU mengklaim terjadi kerugian keuangan negara mencapai Rp 137,7 miliar dalam periode 2016-2018.

Ironi drama hukum ini dipertegas oleh pemandangan di luar ruang sidang. Puluhan massa—yang terdiri dari “emak-emak” dan aktivis Sumsel–Jakarta—menggelar aksi damai. Dengan membawa poster Alex Noerdin, mereka secara eksplisit dan terbuka menuntut amnesti dan abolisi kepada Presiden Prabowo Subianto, menciptakan kontradiksi tajam antara proses penegakan hukum dan tekanan opini publik yang meminta dispensasi politik.

Dakwaan Korupsi dan Kontroversi Angka Rp 137 Miliar

JPU menjerat para terdakwa dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tindak Pidana Korupsi, dengan fokus pada penyimpangan dalam perjanjian Kerja Sama Bangun Guna Serah (BGS) antara Pemerintah Provinsi Sumsel dan PT. Magna Beatum. Proyek revitalisasi Pasar Cinde, yang seharusnya menjadi pusat perdagangan modern berintegritas sejarah, justru dituding menjadi sumber kerugian negara.

Angka kerugian Rp 137,7 miliar, yang menjadi inti dakwaan, didasarkan pada hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Sumsel. JPU meyakini bahwa nilai tersebut merefleksikan jumlah yang telah memperkaya PT Magna Beatum sebagai pihak pelaksana proyek. Dakwaan ini menyoroti bahwa tindakan para terdakwa, terutama dalam penetapan mitra kerja sama dan proses administrasi yang menyimpang, telah membuka celah bagi keuntungan ilegal yang merugikan keuangan daerah.

Peran Spesifik Alex Noerdin dalam Skema BGS

Laporan ini menemukan bahwa peran Alex Noerdin dalam dakwaan tidak hanya bersifat kolektif, tetapi juga krusial dalam pengambilan keputusan tingkat atas yang menjadi dasar hukum kerja sama tersebut. Dakwaan JPU secara rinci menguraikan langkah-langkah yang dilakukan.

Keputusan Kunci di Awal yang dilakukan Alex Noerdin, dalam kapasitasnya sebagai Gubernur, memiliki kewenangan menentukan skema pemanfaatan aset daerah. Keputusannya untuk melanjutkan BGS dengan PT Magna Beatum, meskipun terdapat potensi penyimpangan sejak tahap perencanaan dan studi kelayakan, menjadi titik awal masuknya proyek ke ranah pidana.

Selain itu, Penandatanganan Perjanjian BGS secara langsung oleh Alex Noerdin adalah legalitas tertinggi yang diberikan kepada pihak swasta, mengikat Pemprov Sumsel dalam kontrak yang kemudian dinilai JPU merugikan negara.

Terdapat pula indikasi dalam materi dakwaan bahwa proses penetapan mitra dan pelaksanaan proyek berjalan tanpa sepenuhnya mengindahkan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan aset negara, termasuk adanya persetujuan atau Pengabaian Peringatan Dini terhadap beberapa tahapan yang menyimpang dari prosedur baku kerja sama daerah.

Baca juga  Sidang Korupsi Jalan Ogan Ilir Ungkap Dugaan Pemalsuan Tanda Tangan Putri Terdakwa dan Pengaturan Pemenang Lelang

Konteks Sejarah: Kerugian Kultural Cagar Budaya

Untuk memahami kedalaman kerugian kasus Pasar Cinde, konteks sejarahnya tidak dapat dipisahkan. Pasar Cinde bukan sekadar aset ekonomi, melainkan warisan budaya yang ditetapkan sebagai cagar budaya. Kerugian yang diderita negara memiliki dimensi ganda.

Pertama, kerugian yang timbul dari penyimpangan BGS sebesar Rp 137,7 miliar adalah Kerugian Finansial yang dihitung BPKP. Kerugian ini berpotensi merugikan kas daerah secara langsung.

Kedua, kerugian yang lebih sulit diukur adalah Kerugian Kultural dan Sejarah yang timbul dari kegagalan revitalisasi yang mengancam pelestarian struktur bangunan kolonial Pasar Cinde, termasuk tiang-tiang kayu ikonik yang seharusnya menjadi kebanggaan Palembang.

Meskipun ahli hukum di praperadilan menyatakan kerugian cagar budaya tidak dapat dihitung sebagai kerugian negara secara finansial yang pasti, kegagalan proyek ini secara nyata telah merugikan kekayaan sejarah dan identitas Kota Palembang. Fakta ini menegaskan bahwa nilai kerugian bagi negara tidak hanya dihitung dalam Rupiah, tetapi juga dalam nilai sejarah yang terancam hilang.

Kerentanan Dakwaan di Tengah Perdebatan Hukum Yurisprudensi

Naskah dakwaan yang menggunakan audit BPKP ini berhadapan langsung dengan argumen hukum berkedalaman yang muncul di sidang praperadilan tersangka lain, Aldrin L Tando, sehari sebelumnya. Konflik ini tidak hanya sebatas perbedaan pandangan, tetapi menyentuh kelemahan fundamental dalam sistem penegakan hukum Tipikor di Indonesia.

Dalam laporan Nusaly.com sebelumnya, Dr. Dian Simatupang, Ahli Hukum Keuangan Publik dari UI, telah menyajikan dua poin kunci yang merongrong kekuatan dakwaan JPU.

Secara legalitas, hanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang memiliki wewenang final dalam menghitung kerugian negara, sesuai putusan Mahkamah Konstitusi. Hasil audit BPKP, jika dilakukan tanpa mandat BPK, dapat dianggap tidak sah secara hukum administrasi.

Apabila Majelis Hakim di PN Palembang berpegangan pada asas legalitas dan yurisprudensi terbaru, landasan kerugian negara JPU berpotensi lemah.

Selain itu, dalam skema BGS, dana yang digunakan oleh swasta (PT Magna Beatum) untuk membangun dengan modal sendiri—yang baru akan diserahkan dan dibayar oleh pemerintah di kemudian hari—secara prinsip bukanlah uang negara. Argumen ini diperkuat oleh fakta bahwa Pasar Cinde berstatus cagar budaya.

Kerugian atas cagar budaya juga dinyatakan ahli tidak dapat dihitung sebagai kerugian finansial negara yang nyata dan pasti.

Jika tim penasihat hukum Alex Noerdin menggunakan argumen ini dalam Nota Keberatan (Eksepsi), yang akan diajukan pekan depan, validitas angka kerugian negara sebesar Rp 137,7 miliar yang diaudit BPKP ini akan diuji secara fundamental di hadapan majelis hakim. Dampak yurisprudensi dari keputusan hakim akan memengaruhi ribuan kasus BGS serupa di seluruh daerah yang melibatkan BPKP.

Tuntutan Amnesti: Dilema Jasa vs Hukum Konstitusional

Tuntutan Amnesti: Dilema Jasa vs Hukum Konstitusional
Puluhan massa pendukung menggelar aksi di luar PN Palembang, menuntut amnesti dan abolisi dari Presiden Prabowo Subianto bagi mantan Gubernur Alex Noerdin. (Dok. InSan/Nusaly.com)

Aksi massa yang menuntut amnesti menjadi elemen paling dramatis yang menciptakan dimensi politik tingkat tinggi. Koordinator Aktivis Sumsel–Jakarta, Harda Belli, dan perwakilan “emak-emak,” Erni Rahayu, secara emosional mengedepankan jasa Alex Noerdin—mulai dari program pendidikan gratis, berobat gratis, hingga pembangunan infrastruktur—sebagai dasar permohonan amnesti kepada Presiden Prabowo Subianto.

“Kami masyarakat Sumsel mohon kepada Presiden Prabowo Subianto untuk memberikan amnesti dan abolisi kepada Bapak H. Alex Noerdin,” demikian salah satu orasi yang disampaikan.

Tuntutan ini menempatkan dilema etika, hukum, dan konstitusional yang mendalam. Secara konstitusi, amnesti adalah hak prerogatif Presiden yang diatur dalam Pasal 14 UUD 1945, yang pemberiannya wajib memperhatikan pertimbangan DPR RI.

Baca juga  Pengamat Politik Prediksi "Prabowo Effect" akan Menguntungkan Calon Kepala Daerah Gerindra di Pilkada Sumsel 2024

Meskipun amnesti secara tradisional diberikan untuk kasus-kasus politik atau pidana umum ringan, pemberian amnesti kepada terpidana kasus korupsi, yang merupakan extraordinary crime, adalah preseden yang sangat sensitif.

Tuntutan amnesti merefleksikan kuatnya ikatan emosional dan apresiasi publik terhadap jasa seorang pemimpin daerah, menciptakan narasi bahwa kesalahan hukum harus dimaafkan oleh kontribusi pembangunan. Aspek Sosial-Politik ini berhadapan dengan Aspek Hukum Konstitusional.

UU Pemberantasan Tipikor menegaskan bahwa fokus utama pengadilan adalah pada perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara. Memenuhi tuntutan amnesti koruptor akan mengaburkan batas antara pengadilan opini publik (popularitas) dan pengadilan fakta hukum, serta mengancam independensi yudikatif dari tekanan eksekutif/politik.

Preseden Amnesti Kasus Korupsi

Pemberian amnesti kepada pelaku tindak pidana korupsi akan menciptakan preseden yang berbahaya bagi masa depan reformasi dan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Langkah ini dinilai akan meruntuhkan upaya penegak hukum yang telah berjalan bertahun-tahun.

Langkah tersebut juga mengirimkan sinyal negatif bahwa kasus korupsi, terutama yang melibatkan tokoh berprofil tinggi, dapat diselesaikan melalui intervensi politik, bukan melalui jalur hukum yang adil. Kasus ini lantas menguji konsistensi komitmen pemerintah pusat terhadap agenda antikorupsi dan integritas lembaga yudikatif.

Implikasi Sistemik: Panggilan kepada Pembuat Kebijakan

Kasus Pasar Cinde, dengan perdebatan sengit tentang kewenangan audit BPKP, definisi BGS, dan isu politik amnesti, telah menjadi studi kasus penting yang menuntut perubahan sistemik. Oleh karena itu, perkara ini menyoroti sejumlah isu krusial yang memerlukan intervensi kebijakan segera dari pemangku kepentingan.

Isu Kepastian Hukum Kewenangan Audit. Konflik BPK versus BPKP telah lama menjadi legal loophole yang dieksploitasi dalam setiap sidang Tipikor. Kondisi ini mendesak Mahkamah Agung (untuk mengeluarkan SEMA) dan DPR RI (untuk merevisi UU terkait) agar segera mengeluarkan regulasi yang final dan tunggal mengenai kewenangan penghitungan kerugian negara. Kepastian hukum ini mutlak diperlukan untuk mencegah pelemahan upaya pemberantasan korupsi di tingkat pembuktian.

Transparansi BGS Aset Sejarah. Pemerintah daerah di seluruh Indonesia harus menjadikan kasus Cinde sebagai pelajaran serius. Setiap skema BGS, terutama yang melibatkan aset Cagar Budaya, wajib memiliki kontrak yang mendefinisikan secara eksplisit status keuangan, nilai non-finansial, dan mekanisme pengembalian aset. Tujuannya adalah mencegah kerugian yang sulit dibuktikan secara akuntansi dan memastikan aset publik, termasuk nilai sejarah, tidak dikorbankan demi pembangunan fisik.

Integritas Yudikatif. Kasus ini menguji konsistensi Majelis Hakim PN Palembang dalam menegakkan asas legalitas dan yurisprudensi terbaru mengenai kewenangan audit. Putusan hakim akan memberikan dampak jangka panjang terhadap independensi peradilan Tipikor dari tekanan politik dan popularitas.

Sidang Alex Noerdin dan rekan-rekan akan berlanjut pekan depan, berpusat pada Eksepsi. Proses ini akan terus dipantau secara mendalam untuk memastikan akuntabilitas hukum berjalan tanpa terdistorsi oleh tekanan publik atau politik.

(InSan)

NUSALY Channel

Dapatkan kabar pilihan editor dan breaking news di Nusaly.com WhatsApp Channel. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.