Headline

Arogansi di Balik Seragam: Ketika Aspirasi Rakyat Dianggap Ancaman dan Aparat Jauh dari Harapan

Pengamat sosial politik, Bagindo Togar, menilai sikap represif kepolisian dalam mengawal unjuk rasa belakangan ini telah meruntuhkan kepercayaan publik. Ia bahkan menyebut Kapolri telah gagal menjaga independensi institusi, di tengah akumulasi kekecewaan rakyat terhadap kondisi sosio-ekonomi.

Arogansi di Balik Seragam: Ketika Aspirasi Rakyat Dianggap Ancaman dan Aparat Jauh dari Harapan
Pengamat sosial politik Sumatera Selatan, Bagindo Togar. Foto: Dok. SumateraEkspress.id

PALEMBANG, NUSALY – Ruang demokrasi dipertanyakan. Hak warga negara untuk menyampaikan aspirasi di muka umum, yang dijamin oleh undang-undang, kini seolah berhadapan dengan tembok arogansi dan kekerasan. Pengamat sosial politik Sumatera Selatan, Bagindo Togar, menyoroti tajam fenomena ini, menilai sikap represif aparat kepolisian belakangan ini telah menguakkan kesenjangan yang kian melebar antara institusi penegak hukum dengan aspirasi masyarakat.

Menurut Bagindo, tindakan keras aparat dalam menghadapi massa demonstrasi seakan menempatkan rakyat sebagai ancaman, bukan sebagai pihak yang hak-haknya dilindungi oleh negara.

Polri dituntut untuk bertindak sigap, tanggap, dan manusiawi. Namun yang kita lihat justru arogansi aparat semakin menjadi. Seolah rakyat dianggap ancaman, padahal kebebasan berpendapat dan menyampaikan aspirasi dijamin oleh UU Nomor 9 Tahun 1998,” kata Bagindo pada Jumat, 29 Agustus 2025.

Pernyataan tersebut menohok langsung ke jantung persoalan: penggunaan kekuatan yang tidak proporsional oleh aparat. Alih-alih merangkul dan mengayomi, pendekatan represif justru menciptakan ketakutan dan meruntuhkan fondasi kepercayaan yang telah lama dibangun.

Kapolri Dituding Gagal Jaga Independensi Institusi

Kritik Bagindo tidak berhenti pada perilaku oknum di lapangan, melainkan menjangkau hingga ke level kepemimpinan tertinggi. Ia secara terang-terangan menyoroti keberadaan Kapolri yang dinilainya gagal menjaga independensi institusi Polri.

“Dengan atau tanpa kasus terakhir, Kapolri sepantasnya mengundurkan diri atau diberhentikan oleh Presiden. Selama ini terkesan tidak independen, tidak profesional, dan jauh dari harapan publik,” tegasnya.

Bagindo melihat, serangkaian insiden yang terjadi telah menodai citra kepolisian. Kepercayaan publik semakin merosot akibat kecenderungan aparat yang dinilai berpihak pada kepentingan politik penguasa, bukan pada keadilan dan kebenaran. Ini menimbulkan pertanyaan besar tentang netralitas institusi penegak hukum di tengah panasnya dinamika politik.

Protes Sebagai Ekspresi Demokrasi, Bukan Makar

Bagindo juga membantah narasi yang sering digunakan untuk mendiskreditkan unjuk rasa, yaitu bahwa demonstrasi selalu ditunggangi oleh pihak-pihak tertentu. Menurutnya, alasan tersebut tidak seharusnya dijadikan pembenaran untuk membatasi hak masyarakat dalam menyampaikan aspirasi.

“Terlepas ditunggangi atau tidak, protes dan unjuk rasa adalah ekspresi demokrasi yang sah. Justru sikap aparat yang represif memperlihatkan semakin jauhnya institusi kepolisian dari aspirasi publik,” ujarnya.

Ia menekankan bahwa demonstrasi adalah katup pengaman sosial. Ketika jalur-jalur komunikasi resmi tersumbat, protes menjadi satu-satunya cara bagi rakyat untuk menyuarakan kekecewaan mereka. Menutup katup ini dengan paksa hanya akan menciptakan akumulasi tekanan yang lebih berbahaya.

Ketika Elite Sibuk Berjoget di Atas Penderitaan Rakyat

Lebih dalam, Bagindo melihat gelombang protes yang merebak di sejumlah daerah sebagai puncak dari akumulasi kekecewaan rakyat terhadap kondisi sosial-ekonomi yang kian sulit.

“Ini sudah akumulatif, tapi puncaknya terlihat ketika kekecewaan publik justru dijawab para anggota parlemen dengan berjoget ria. Itu sinis dan tidak peduli dengan penderitaan rakyat yang masih ngos-ngosan secara ekonomi,” ujar Bagindo.

Sikap para elite politik yang sibuk dengan pencitraan dan pamer status sosial semakin memperlebar jurang pemisah dengan rakyat kecil.

“Para elite negeri ini asyik, cuek, dan pamer status sosial, sementara kondisi ekonomi rakyat masih saja memprihatinkan,” pungkasnya. Pernyataan ini menjadi cermin ironi, di mana para pemegang kekuasaan terlihat abai terhadap penderitaan yang dirasakan oleh mayoritas masyarakat yang mereka wakili. (dhi)

NUSALY Channel

Dapatkan kabar pilihan editor dan breaking news di Nusaly.com WhatsApp Channel. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Exit mobile version