PALEMBANG, NUSALY – Komitmen Pemerintah Kota Palembang yang ditegaskan oleh Wali Kota Ratu Dewa untuk melaksanakan dua program prioritas nasional—Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) dan percepatan penanganan Tuberkulosis (TBC)—mengangkat isu krusial mengenai kapasitas dan kerangka kerja otonomi daerah, khususnya terkait anggaran kesehatan daerah. Palembang kini menjadi studi kasus dalam implementasi simultan dua program yang menuntut alokasi sumber daya fiskal dan manajerial yang masif, hanya berdasarkan instruksi dari pusat.
Dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) yang dipimpin Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, penekanan Tito pada peran strategis daerah sebagai garda terdepan menunjukkan bahwa beban implementasi sepenuhnya dialihkan ke Pemda. Instruksi Mendagri untuk membentuk satuan tugas khusus, menyusun strategi, dan rutin melapor, secara implisit adalah mandat birokratis tanpa jaminan dukungan fiskal yang proporsional.
Beban Fiskal Program Sentralistik di Daerah
Program MBG, sebagai janji kampanye yang kini diresmikan menjadi program nasional, menuntut jaringan distribusi, pengawasan kualitas makanan, dan logistik yang sangat kompleks. Sementara itu, TBC adalah krisis kesehatan publik yang membutuhkan penemuan kasus aktif, pengobatan jangka panjang, dan pencegahan yang intensif. Kedua program ini, secara bersamaan, akan menggerus Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Palembang secara signifikan.
Analisis sistemik menunjukkan adanya risiko serius. Jika Pemkot Palembang dipaksa mengalokasikan APBD untuk MBG dan TBC sesuai target pusat, maka program pembangunan lokal yang menjadi inisiatif otonomi daerah—seperti infrastruktur, pemberdayaan UMKM, atau program pendidikan non-sentralistik—berpotensi tergeser atau dikorbankan.
Wali Kota Ratu Dewa menekankan kolaborasi lintas sektor yang melibatkan dinas pendidikan, kesehatan, hingga kecamatan. Namun, kolaborasi ini bukan soal kemauan, melainkan kapasitas SDM dan keuangan. Jaringan pengawasan distribusi makanan bergizi yang masif membutuhkan petugas khusus, sementara penemuan kasus TBC membutuhkan tracing yang intensif di tingkat Puskesmas dan RT/RW.
Dilema Anggaran Kesehatan Daerah: Mandat vs. Otonomi
Arahan Menko PMK Pratikno yang mendorong peningkatan upaya penemuan kasus TBC semakin memperjelas tingginya tuntutan pada sektor kesehatan daerah. Palembang, seperti daerah lain, harus menghadapi dilema: mematuhi mandat pusat untuk mencapai target nasional (MBG dan TBC) demi keamanan politik dan karier, atau mempertahankan ruang fiskal untuk prioritas otonomi lokal yang lebih mendesak.
Penguatan gugus tugas oleh Palembang menjadi penanda bahwa Pemda merespons tekanan ini dengan menciptakan struktur ad-hoc. Pertanyaan kritisnya: Apakah struktur ad-hoc ini didukung oleh Dana Alokasi Khusus (DAK) atau transfer dana yang memadai, ataukah hanya dibiayai dari realokasi APBD yang telah direncanakan?
Tanpa mekanisme pendanaan yang jelas dan terpisah dari APBD rutin, program MBG berisiko menjadi beban politik dan fiskal yang ditanggung Pemda, sedangkan penanganan TBC—yang merupakan krisis nyata—terancam tidak efektif karena sumber daya yang terpecah. Kasus Palembang akan menjadi indikator penting seberapa efektif pemerintah pusat mengelola mandat sentralistik tanpa melumpuhkan kapasitas fiskal dan otonomi daerah.
Di tengah tekanan ini, penting bagi Komisi Pemberantasan Korupsi dan Badan Pemeriksa Keuangan untuk melakukan pengawasan ketat. Setiap rupiah yang dialokasikan dari anggaran kesehatan daerah harus dipastikan efisiensinya. Jika tidak, bukan hanya program nasional yang gagal, tetapi seluruh sistem kesehatan publik daerah akan terancam. (desta)
NUSALY Channel
Dapatkan kabar pilihan editor dan breaking news di Nusaly.com WhatsApp Channel. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.