Headline

Ketahanan Pangan Regional, Ancaman di Balik Misi Dagang Jatim-Sumsel

Misi dagang Jatim-Sumsel yang menembus Rp 1 triliun menutupi fakta krusial: Sumsel masih tertinggal jauh dalam produktivitas pangan dan peternakan, memaksa provinsi lain menopang swasembada nasional. Kesenjangan ini menunjukkan perlunya revitalisasi kebijakan otonomi daerah yang fokus pada transfer teknologi dan etos kerja, bukan sekadar nilai transaksi dagang.

Merajut Merah Putih di Tengah Ketimpangan, Misi Dagang dan Ancaman Kegagalan Swasembada Pangan
Gubernur Sumsel, Herman Deru dan Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa di Palembang. Foto: Dok. detik.com

PALEMBANG, NUSALY – Capaian transaksi perdagangan antardaerah antara Provinsi Jawa Timur (Jatim) dan Sumatera Selatan (Sumsel) pada Senin (29/9/2025) mencapai titik fantastis, menembus Rp 1 triliun. Angka ini dua kali lipat dari target awal dan jauh melampaui capaian tahun 2020. Namun, di balik keberhasilan ekonomi ini, tersimpan sinyal bahaya struktural terhadap ketahanan pangan regional Indonesia.

Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, menyebut misi dagang ini sebagai upaya “merajut merah putih,” menekankan persaudaraan alih-alih sekadar kalkulasi ekonomi. Namun, Khofifah sekaligus membuka fakta ketimpangan yang mendasar.

Data menunjukkan, Sumsel, yang merupakan salah satu lumbung pangan utama, baru mencapai indeks pertanian 1,7. Angka ini jauh tertinggal dari Jatim yang telah mencapai indeks 3, bahkan mampu mencatat panen hingga tujuh kali dalam dua tahun.

Transfer Ilmu, Mengurai Kegagalan Sistem Ketahanan Pangan Regional

Jatim kini berperan sebagai “guru” pembangunan bagi Sumsel. Untuk mengatasi defisit produktivitas ini, Khofifah mengundang Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Sumsel untuk menjalani pelatihan langsung di Jatim. Kerja sama ini diperkuat dengan penandatanganan kesepakatan antardinas terkait.

Ketimpangan tidak hanya terjadi di sektor pertanian, tetapi juga peternakan. Populasi sapi di Jatim mencapai 3,2 juta ekor, sementara Sumsel hanya memiliki 300 ribu ekor. Kesenjangan ini menggarisbawahi kegagalan Sumsel dalam mengoptimalkan potensi peternakan, meskipun Jatim memiliki Balai Besar Inseminasi Buatan (BBIB) yang standar internasional.

Gubernur Sumsel, Herman Deru, secara terbuka mengakui keunggulan Jatim. Ia berencana mengirimkan SDM untuk pelatihan guna meningkatkan kelahiran ternak, memperbaiki pola pemeliharaan, dan penggemukan.

Etos Kerja dan Irigasi: Kunci Hilang bagi Ketahanan Pangan Regional

Meskipun Sumsel masuk dalam lima besar penghasil beras nasional, produktivitasnya masih berkisar 5-6 ton per hektare, jauh di bawah Jatim yang mencapai 9 ton per hektare. Deru mencoba menjelaskan perbedaan ini dengan kondisi kesuburan tanah.

Namun, pengakuan Deru selanjutnya menjadi sorotan kebijakan: “Kedisiplinan dan etos kerja petani Jatim dengan kita juga beda. Itu yang akan kita kejar juga.”

Pengakuan ini menggeser masalah dari isu teknis ke isu sistemik dan budaya kerja. Sementara masalah irigasi teknis di Sumsel yang masih bergantung pada daerah rawa dan tadah hujan adalah tantangan infrastruktur yang harus diselesaikan pemerintah pusat dan daerah, isu etos kerja menunjukkan adanya kegagalan program capacity building dan pendampingan di tingkat lokal.

Misi dagang Rp 1 triliun hanyalah pengobatan di permukaan. Analisis mendalam menunjukkan bahwa Indonesia masih sangat bergantung pada satu atau dua provinsi unggul (seperti Jatim) untuk menopang ketahanan pangan, sementara provinsi lain kesulitan meniru keberhasilan tersebut. Tanpa perbaikan fundamental pada SDM, infrastruktur irigasi, dan etos kerja di daerah penghasil pangan lain, target swasembada nasional akan terus menghadapi ancaman serius. (desta)

NUSALY Channel

Dapatkan kabar pilihan editor dan breaking news di Nusaly.com WhatsApp Channel. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Exit mobile version