Palembang, NUSALY – Jalan Kapten Abdul Rivai di Palembang menjadi saksi bisu langkah 12 warga Sumatera Selatan. Mereka bukan sekadar berjalan, melainkan membawa beban bertahun-tahun atas kabut asap yang menyelimuti provinsi ini. Tujuan mereka jelas: Pengadilan Negeri Palembang. Gugatan mereka ditujukan kepada tiga raksasa korporasi: PT Bumi Mekar Hijau (BMH), PT Bumi Andalas Permai (BAP), dan PT Sebangun Bumi Andalas Wood Industries (SBA Wood Industries).
Berjuang untuk Merdeka dari Asap
Didukung oleh koalisi masyarakat sipil dan organisasi lingkungan yang menamakan diri Inisiasi Sumatera Selatan Penggugat Asap (ISSPA), warga ini menuntut ganti rugi. Bukan hanya materiil, tapi juga immateriil. Mereka merasa hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat telah dirampas. Kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) telah merugikan mereka dalam banyak hal.
Para penggugat berasal dari berbagai latar belakang dan daerah. Ada petani dari Desa Bangsal, penyadap karet dari Desa Lebung Itam, nelayan dari Tulung Selapan, hingga pegiat lingkungan dari Kota Palembang. Mereka bersatu dalam satu tujuan: menuntut keadilan.
Suara dari Korban Asap
Pralensa, salah satu penggugat dari Desa Lebung Itam, menceritakan penderitaannya. “Bertahun-tahun saya menjadi korban kabut asap. Tahun lalu, rumah walet saya bahkan terbakar,” ujarnya dengan nada getir. “Kami datang hari ini untuk memberi peringatan bahwa apa yang perusahaan lakukan itu salah. Mereka merusak lingkungan dan ruang kehidupan kami.”
Dampak asap tak hanya dirasakan secara fisik, tapi juga mental. Dada sesak, pernapasan terganggu, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), hanyalah sebagian kecil dari dampak kesehatan yang mereka alami. Aktivitas sehari-hari, seperti menggarap sawah, menyadap karet, atau mencari ikan, menjadi terhambat. Bahkan, kegiatan sosial dan ibadah pun terganggu.
Marda Ellius, penggugat lainnya, mengungkapkan kecemasannya. “Saat kabut asap terjadi, saya khawatir dengan kesehatan anak dan diri sendiri. Ekonomi keluarga juga terganggu karena kami tak bisa bekerja,” katanya. “Saya berharap perusahaan dan pemerintah lebih memikirkan lingkungan hidup.”
Gugatan Bersejarah
Ipan Widodo, kuasa hukum dari LBH Palembang yang juga Ketua Persatuan Advokat Dampak Krisis Ekologi (PADEK), menyebut gugatan ini sebagai babak baru. “Ini pertama kalinya masyarakat menuntut pertanggungjawaban mutlak dari badan hukum atas kerugian akibat pencemaran lingkungan,” tegasnya. “Perjuangan ini akan menjadi tonggak penting dalam perkembangan hukum lingkungan di Indonesia.”
Karhutla di wilayah izin ketiga perusahaan tersebut telah berkontribusi besar pada kabut asap di Palembang pada 2015, 2019, dan 2023. Luas areal terbakar dalam konsesi mereka pada 2015-2020 mencapai 254.787 hektare, hampir empat kali luas DKI Jakarta.
Krisis Iklim dan Konflik Agraria
Belgis Habiba, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, menyoroti dampak ekologis yang lebih luas. “Konsesi mereka berada di lanskap gambut, yang penting untuk menyimpan karbon. Rusaknya gambut memicu karhutla dan memperburuk krisis iklim,” jelasnya.
Untung Saputra, Koordinator KPA Wilayah Sumatera Selatan, menambahkan, “Selain konflik agraria, ketiga perusahaan ini juga menimbulkan dampak ekologis yang merusak. Ini saatnya masyarakat melawan untuk menunjukkan kedaulatan atas ruang hidupnya.”
Gugatan 12 warga Sumatera Selatan ini bukan sekadar tuntutan ganti rugi. Ini adalah perjuangan untuk merdeka dari asap, untuk mendapatkan kembali hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Ini adalah babak baru dalam perjuangan melawan krisis iklim dan ketidakadilan ekologis. Akankah gugatan ini menjadi titik balik? Hanya waktu yang akan menjawab. (dhi)
NUSALY Channel
Dapatkan kabar pilihan editor dan breaking news di Nusaly.com WhatsApp Channel. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.