Kayuagung, NUSALY – Ingat kasus “paru-paru kota” yang menghisap hak warga? Ya, sengketa hutan kota Kayuagung kembali memanas. Persidangan di Pengadilan Negeri Kayuagung yang mempertentangkan ahli waris H. Jalil dengan Pemkab OKI semakin mengungkap kejanggalan. Klaim ganti rugi tahun 1984 yang dilontarkan Pemkab OKI semakin menguap seiring dengan terungkapnya fakta-fakta baru yang justru memperkuat posisi ahli waris.
Ningmas, Ahmad Rifai, dan Nurmala Dewi, ketiganya ahli waris H. Jalil, berpegang teguh pada surat wasiat yang diwariskan turun-temurun sebagai bukti kepemilikan lahan seluas 61.000 meter persegi di Kelurahan Kedaton. Di atas lahan tersebut, kini berdiri hutan kota dan SMKN 3 Kayuagung. Namun, Pemkab OKI bersikukuh bahwa lahan tersebut telah menjadi aset mereka sejak tahun 1984, setelah dilakukan pembayaran ganti rugi.
Persidangan pun berlangsung alot. Sejumlah fakta terungkap, namun justru menimbulkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Kesaksian H. Tarmos, mantan Lurah Kedaton, yang dihadirkan sebagai saksi oleh Pemkab OKI pada persidangan yang digelar Senin 30 September kemarin, justru menjadi bumerang. Ia mengaku dilibatkan dalam proses ganti rugi tahun 1984, namun tak mampu menunjukkan bukti-bukti yang valid.
“Saya diperintahkan untuk merintis lahan dan mengumumkan kepada masyarakat yang merasa memiliki lahan di sana,” ujar H. Tarmos dengan raut wajah tegang. “Ada delapan orang yang mengklaim memiliki lahan, termasuk saya sendiri, Diumumkan secara lisan.”
Namun, ketika ditanya mengenai dokumen resmi terkait ganti rugi, H. Tarmos hanya bisa geleng-geleng kepala. Ia juga tidak mengetahui berapa besaran ganti rugi yang diberikan dan bagaimana proses pengukuran lahan yang dilakukan. “Saya kurang tahu,” akunya.
Misteri Ganti Rugi Hutan Kota Kayuagung di Kelurahan Cintaraja
Lebih lanjut, H. Tarmos mengungkapkan bahwa dari delapan orang yang dijanjikan ganti rugi, hanya tiga nama yang diketahuinya telah menerima ganti rugi, yaitu dirinya sendiri, H. Saleh, dan Sarnubi. “Saya tidak tahu pasti apakah yang lain juga menerima,” ujarnya.
Yang membuat H. Tarmos heran, proses ganti rugi justru dilakukan di kantor kelurahan Cintaraja, padahal objek lahan dan para pemilik lahan berada di Kelurahan Kedaton. “Saya juga tidak tahu mengapa bisa begitu,” ungkapnya.
Kejanggalan ini semakin menambah misteri seputar proses ganti rugi tahun 1984. Apakah ada upaya sistematis untuk mengaburkan proses ganti rugi dan menghilangkan jejaknya?
Arsip yang Raib, Sertifikat yang “Hilang”
Kejanggalan semakin nyata ketika saksi dari Bidang Aset Pemkab OKI mengaku tidak memiliki arsip atau dokumen resmi terkait ganti rugi tahun 1984. “Kami tidak memiliki data tersebut,” ujarnya singkat. Pemkab OKI sendiri mengklaim memiliki sertifikat tanah, namun hingga persidangan berlangsung, dokumen tersebut tak kunjung ditunjukkan.
“Sertifikatnya ada, tapi kami belum menemukannya,” ujar saksi lain dari Pemkab OKI dengan nada gugup. Jawaban yang ambigu ini justru memperkuat dugaan ahli waris bahwa Pemkab OKI tidak memiliki bukti kepemilikan yang sah.
Di tengah kebuntuan itu, muncul fakta baru yang semakin membingungkan. Saksi dari dinas kehutanan menyebutkan bahwa pada tahun 2009 mereka melakukan percobaan penanaman di lokasi tersebut. Artinya, saat itu lahan tersebut belum menjadi aset Pemkab OKI. Lalu, atas dasar apa mereka melakukan kegiatan di lahan tersebut?
Hutan Kota atau Lahan Sengketa?
Fakta lain yang tak kalah menarik adalah lahan tersebut baru tercatat sebagai aset Pemkab OKI pada tahun 2022, setelah permasalahan ini muncul ke permukaan. “Ini sangat janggal,” ujar kuasa hukum ahli waris H. Jalil, Sugiarto. “Lahan yang disengketakan tiba-tiba ‘muncul’ sebagai aset Pemkab OKI setelah polemik ini muncul dan klien kami mengklaim lahan tersebut.”
Sementara itu, hutan kota yang kini berdiri di atas lahan sengketa tersebut ditetapkan berdasarkan SK Bupati OKI Nomor 66/KEP/D.KEHUT/2011. Pertanyaannya, apakah SK tersebut dikeluarkan dengan memperhatikan status kepemilikan lahan yang sebenarnya?
Sekolah di Atas Lahan Abu-abu
Tak hanya hutan kota, di atas lahan yang sama juga berdiri SMKN 3 Kayuagung. Sekretaris Dinas Pendidikan Kabupaten OKI menyatakan bahwa bangunan sekolah mulai dibangun pada tahun 2011 dan 2012, berdasarkan SK Pendirian Sekolah dengan nomor 206/KEP/D.Dik/2010.
“Pembangunan sekolah itu dimulai sebelum lahan tersebut tercatat sebagai aset Pemkab OKI,” ujar kuasa hukum ahli waris H. Jalil. “Ini menunjukkan adanya ketidaktertiban administrasi dan potensi pelanggaran hukum.”
Jejak SHP dan GS
Dalam persidangan juga terungkap bahwa di atas lahan tersebut pernah terbit Surat Hak Pakai (SHP) seluas 1,8 hektar berdasarkan SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Selatan Nomor 593.321/01/III/1985 tanggal 4 Januari 1985 dan Gambaran Status (GS) seluas 8,2 hektar. Namun, pihak Pemkab OKI tidak mengetahui kapan surat hak pakai tersebut dibuat dan hingga kapan masa berlakunya.
“Kami tidak memiliki data tersebut,” ujar saksi dari Pemkab OKI. Jawaban yang sering diulang-ulang ini semakin menimbulkan kecurigaan adanya upaya untuk mengaburkan fakta sebenarnya.
Kuasa hukum ahli waris H. Jalil Krisnaldi menunjukkan dokumen SK Gubernur tahun 1985 yang mendasari keluarnya SHP seluas 1,8 hektar. “SHP ini dikeluarkan untuk perumahan dan perkantoran, dan masa berlakunya hanya 25 tahun,” jelasnya. “Artinya, SHP tersebut sudah habis masa berlakunya sejak tahun 2009.”
Analisis dan Dugaan
Ketiadaan arsip ganti rugi, sertifikat yang “hilang”, kemunculan aset yang tiba-tiba, jejak SHP dan GS, serta tumpang tindih penggunaan lahan, semua fakta ini mengarah pada dugaan adanya kejanggalan dalam proses perolehan lahan oleh Pemkab OKI.
“Ini modus lama yang sering digunakan untuk merampas tanah rakyat,” ujar Ketua LSM Front Masyarakat Bersatu (FMB) Sumsel Sarmedi Udan. “Lahan sengaja ‘dibiarkan’ setelah ganti rugi agar status kepemilikannya kabur dan mudah diambil alih oleh pihak lain.” imbuh pria yang akrab disapa Pak Boy ini.
Apakah ada indikasi penggelapan aset atau penyalahgunaan wewenang oleh oknum pejabat di masa lalu? Apakah ada kepentingan politik tertentu di balik pembangunan hutan kota dan sekolah di lahan yang disengketakan? Semua pertanyaan ini masih menunggu jawaban seiring dengan berjalannya persidangan.
Plang Baru di Tengah Sengketa
Di tengah proses persidangan yang masih berlangsung, Pemkab OKI melalui Kejaksaan Negeri OKI justru memasang plang baru di atas lahan sengketa. Tindakan ini semakin memanaskan situasi dan memicu protes dari ahli waris H. Jalil.
“Kami keberatan. Ini provokasi! Mereka seolah-olah ingin menunjukkan kekuasaan dan mengabaikan proses hukum yang sedang berjalan,” ujar kuasa hukum ahli waris.
Pemasangan plang baru ini juga menimbulkan pertanyaan baru. Lahan yang dipasangi plang bukan hanya lahan yang digugat oleh ahli waris, tetapi juga lahan yang berbatasan dengan lahan tersebut, yakni lahan milik Sidik Bin Bangun. Apakah ini indikasi bahwa Pemkab OKI berambisi menguasai lahan yang lebih luas dari yang seharusnya?
“Ini jelas melanggar hukum,” tegas kuasa hukum ahli waris. “Mereka tidak punya hak untuk memasang plang di lahan yang bukan milik mereka.”
Keadilan untuk Siapa?
Sengketa lahan ini bukan hanya pertarungan antara ahli waris H. Jalil dan Pemkab OKI. Ini juga pertaruhan bagi tegaknya hukum dan keadilan di Indonesia. Akankah pengadilan mampu mengungkap kebenaran dan memberikan keadilan bagi yang berhak?
Publik menunggu. Masyarakat Kayuagung menunggu. Ahli waris H. Jalil menunggu keadilan. Semoga pengadilan tidak terpengaruh oleh intervensi apapun dan memutuskan perkara ini secara objektif berdasarkan fakta dan bukti yang ada. (dhi)
NUSALY Channel
Dapatkan kabar pilihan editor dan breaking news di Nusaly.com WhatsApp Channel. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.