OGAN ILIR, NUSALY.com – Upaya DPD Jaringan Anti Korupsi (JAKOR) Kabupaten Ogan Ilir untuk memperjuangkan hak pekerja melalui permohonan tripartit terganjal. Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) Kabupaten Ogan Ilir menolak permohonan tersebut dengan dalih Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tidak berhak mengajukan permohonan tripartit. Penolakan ini memicu ketegangan dan menimbulkan pertanyaan besar: siapa yang sebenarnya berhak mendampingi pekerja dalam perselisihan hubungan industrial?
Permohonan tripartit yang diajukan oleh JAKOR ini, menurut informasi yang dihimpun NUSALY, merupakan upaya untuk memediasi perselisihan antara pekerja dan perusahaan tempat mereka bekerja. Namun, langkah tersebut terhenti di meja Dinas Ketenagakerjaan Ogan Ilir. Meri, selaku moderator dari pihak Disnaker Ogan Ilir, berdalih bahwa yang berhak dan menerima kuasa untuk mengajukan permohonan tripartit hanyalah:
- Pengurus serikat pekerja/buruh pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan pada perusahaan yang bersangkutan.
- Pengurus Federasi Serikat Buruh yang merupakan gabungan serikat pekerja yang terbentuk pada perusahaan.
Dasar penolakan tersebut, menurut Meri, mengacu pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 07 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. “Itulah dasar kami,” ujar Meri, Kamis, 23 Agustus 2025, seperti yang dikutip dari keterangan yang diterima NUSALY.
JAKOR Menyayangkan: Disnaker Ogan Ilir Dinilai Kurang Paham SEMA 07/2012
Ketua DPD JAKOR Kabupaten Ogan Ilir Ardi Wiranata SH, melalui wakilnya, Iwan Suganda, menyayangkan penolakan tersebut. “Menurut kami, pihak Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Ogan Ilir kurang memahami SEMA Nomor 07 Tahun 2012,” ujar Iwan dalam keterangan tertulis yang diterima NUSALY pada Kamis, 23 Januari 2025. Iwan berargumen bahwa SEMA tersebut ditujukan sebagai pedoman bagi pengadilan, bukan untuk membatasi pengajuan permohonan tripartit.
“Menurut kami surat Edaran Nomor 07 Tahun 2012 itu ditujukan untuk pelaksanaan tugas bagi pengadilan, sementara ranah kita belum sampai ke sana,” tegas Iwan. “Yang kita ajukan hanya permohonan tripartit atau permohonan mediasi dimana sebelumnya kami sudah menerima kuasa dari pekerja,” tambahnya, menjelaskan bahwa JAKOR telah menerima kuasa dari pekerja yang bersangkutan.
Surat Disnaker Provinsi Sumsel: Bola Panas di Tangan Disnaker OI
Lebih lanjut, Iwan mengungkapkan bahwa DPD JAKOR sebelumnya telah menyurati dan mengajukan permohonan tripartit kepada Disnaker Provinsi Sumatera Selatan. Namun, permohonan tersebut dialihkan ke Disnaker Kabupaten Ogan Ilir. “Dan sudah menerima balasan dimana dalam surat dari Disnaker Provinsi Sumatera Selatan nomor : 500.15.15.2/Nakertrans/2015 perihal permohonan tripartit hanya bisa dilakukan di Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Ogan Ilir,” ungkap Iwan.
Menurut Iwan, surat balasan dari Disnaker Provinsi Sumsel tersebut secara tidak langsung mengarahkan agar permohonan tripartit diajukan ke Disnaker Kabupaten Ogan Ilir. “Berarti secara tidak langsung Disnaker Provinsi Sumatera Selatan mengarahkan untuk mengajukan permohonan tripartit ke Disnaker Kabupaten Ogan Ilir,” katanya. Ironisnya, permohonan tersebut justru ditolak oleh Disnaker Kabupaten Ogan Ilir dengan alasan LSM tidak berhak mengajukan. “Dan tidak ada penjelasan bahwa LSM tidak bisa mengajukan tripartit,” imbuh Iwan, menunjukkan kekecewaannya.
Tripartit: Jalur Mediasi untuk Menyelesaikan Perselisihan Hubungan Industrial
Untuk memahami duduk perkara ini, penting untuk memahami terlebih dahulu apa itu tripartit. Secara sederhana, tripartit adalah forum perundingan yang melibatkan tiga pihak, yaitu pekerja/buruh, pengusaha, dan pemerintah. Dalam konteks ketenagakerjaan, tripartit digunakan sebagai mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan.
Tujuan utama dari tripartit adalah untuk mencapai kesepakatan yang adil dan saling menguntungkan bagi semua pihak yang terlibat. Proses mediasi dalam tripartit difasilitasi oleh mediator yang netral dan imparsial, yang biasanya berasal dari instansi pemerintah yang berwenang di bidang ketenagakerjaan, dalam hal ini Disnaker.
Perselisihan Hubungan Industrial: Ketika Hak dan Kewajiban Bertemu
Perselisihan hubungan industrial bisa muncul karena berbagai faktor, mulai dari perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK), hingga perselisihan antar serikat pekerja/buruh dalam satu perusahaan. Ketika perselisihan semacam ini terjadi, tripartit menjadi salah satu jalur yang dapat ditempuh untuk mencari solusi.
Proses Tripartit: Dari Permohonan Hingga Kesepakatan
Proses tripartit biasanya diawali dengan pengajuan permohonan oleh salah satu pihak yang berselisih, baik itu pekerja/buruh maupun pengusaha. Permohonan ini diajukan kepada instansi yang berwenang, yang kemudian akan menunjuk mediator untuk memfasilitasi perundingan.
Dalam perundingan tripartit, mediator akan berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak dan mencapai kesepakatan yang dapat diterima oleh semua pihak. Jika kesepakatan tercapai, maka akan dibuat perjanjian bersama yang mengikat kedua belah pihak. Namun, jika kesepakatan tidak tercapai, maka perselisihan tersebut dapat dilanjutkan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
Pertanyaan Krusial: Siapa yang Berhak Mewakili Pekerja dalam Tripartit?
Inilah yang menjadi pangkal persoalan dalam kasus yang dihadapi JAKOR di Ogan Ilir. Disnaker Kabupaten Ogan Ilir, dengan merujuk pada SEMA Nomor 07 Tahun 2012, berpendapat bahwa hanya pengurus serikat pekerja/buruh atau pengurus federasi serikat buruh yang berhak mengajukan permohonan tripartit dan menerima kuasa dari pekerja. Sementara itu, JAKOR, sebagai LSM, berargumen bahwa SEMA tersebut hanya berlaku untuk pengadilan, dan tidak membatasi hak LSM untuk mendampingi pekerja dalam proses tripartit, apalagi jika sudah mendapatkan kuasa dari pekerja yang bersangkutan.
Menelisik SEMA Nomor 07 Tahun 2012: Apakah Relevan untuk Membatasi Hak LSM?
SEMA Nomor 07 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung memang memuat rumusan hukum yang berkaitan dengan penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Namun, perlu dicermati bahwa SEMA tersebut diterbitkan sebagai pedoman bagi pengadilan, bukan untuk mengatur secara rinci mekanisme pengajuan permohonan tripartit.
Interpretasi yang Berbeda: Antara Disnaker dan JAKOR
Perbedaan interpretasi terhadap SEMA Nomor 07 Tahun 2012 inilah yang menjadi akar masalah dalam kasus ini. Disnaker Ogan Ilir tampaknya menginterpretasikan SEMA tersebut secara letterlijk (harfiah), sehingga membatasi hak LSM untuk mengajukan permohonan tripartit. Sementara itu, JAKOR berpendapat bahwa SEMA tersebut tidak relevan untuk dijadikan dasar penolakan, karena ranahnya berbeda. JAKOR berargumen bahwa yang mereka ajukan adalah permohonan mediasi melalui jalur tripartit, bukan gugatan ke pengadilan.
Dampak Penolakan: Hak Pekerja Terhambat, Akses terhadap Keadilan Terbatasi
Penolakan Disnaker Ogan Ilir terhadap permohonan tripartit yang diajukan JAKOR ini berpotensi menghambat akses pekerja terhadap keadilan. Pekerja yang merasa dirugikan oleh perusahaan, dan telah memberikan kuasa kepada JAKOR, kehilangan kesempatan untuk menyelesaikan perselisihan mereka melalui jalur mediasi. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas dan keberpihakan Disnaker Ogan Ilir dalam melindungi hak-hak pekerja.
LSM dan Pendampingan Pekerja: Peran Penting dalam Memperjuangkan Hak
Di banyak kasus, LSM seperti JAKOR memainkan peran yang sangat penting dalam mendampingi dan memperjuangkan hak-hak pekerja, terutama bagi pekerja yang tidak tergabung dalam serikat pekerja/buruh. LSM seringkali menjadi satu-satunya harapan bagi pekerja untuk mendapatkan bantuan hukum dan advokasi dalam menghadapi perselisihan dengan perusahaan. Oleh karena itu, membatasi hak LSM untuk mendampingi pekerja dalam proses tripartit sama saja dengan membatasi akses pekerja terhadap keadilan.
Perlunya Klarifikasi dan Ketegasan Regulasi: Menghindari Tafsir yang Beragam
Kasus ini menunjukkan perlunya klarifikasi dan ketegasan regulasi terkait mekanisme pengajuan permohonan tripartit dan pihak-pihak yang berhak mewakili pekerja. Ketidakjelasan regulasi dapat menimbulkan multitafsir dan menghambat penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan, perlu segera turun tangan untuk memberikan penjelasan yang komprehensif dan memastikan bahwa hak pekerja untuk didampingi dalam proses tripartit tidak dibatasi.
Menuju Hubungan Industrial yang Harmonis dan Berkeadilan: Tanggung Jawab Bersama
Mewujudkan hubungan industrial yang harmonis dan berkeadilan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, pengusaha, pekerja, dan masyarakat. Diperlukan komitmen yang kuat dari semua pihak untuk menghormati hak dan kewajiban masing-masing, serta menyelesaikan perselisihan dengan cara-cara yang damai dan konstruktif. Tripartit, sebagai salah satu mekanisme penyelesaian perselisihan, harus dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkannya, tanpa diskriminasi.
Penolakan Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) Kabupaten Ogan Ilir terhadap permohonan tripartit yang diajukan oleh DPD Jaringan Anti Korupsi (JAKOR) atas dasar LSM tidak berhak mengajukan, memicu polemik dan perdebatan hukum. Disnaker berpegang pada interpretasi letterlijk Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 07 Tahun 2012, sementara JAKOR, yang diwakili oleh Wakil Ketua Iwan Suganda, berargumen bahwa SEMA tersebut hanya relevan untuk ranah pengadilan, bukan untuk proses mediasi tripartit.
Kasus ini menyoroti pentingnya kejelasan regulasi mengenai mekanisme tripartit dan hak pendampingan pekerja, terutama bagi mereka yang tidak tergabung dalam serikat pekerja. Penolakan ini juga berpotensi menghambat akses pekerja terhadap keadilan dan menunjukkan perlunya evaluasi terhadap efektivitas dan keberpihakan Disnaker dalam melindungi hak-hak pekerja.
LSM seperti JAKOR memainkan peran krusial dalam mendampingi dan mengadvokasi pekerja, dan membatasi hak mereka sama saja dengan membatasi hak pekerja untuk mendapatkan perlindungan dan keadilan.
Diperlukan klarifikasi dan ketegasan regulasi dari pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan, untuk menghindari multitafsir dan memastikan bahwa mekanisme tripartit dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkannya, demi terwujudnya hubungan industrial yang harmonis dan berkeadilan di Indonesia.
Kasus ini juga menggarisbawahi pentingnya peran media dalam mengawal isu-isu ketenagakerjaan dan mendorong terciptanya iklim yang kondusif bagi penegakan hukum dan perlindungan hak-hak pekerja. (dhi)
NUSALY Channel
Dapatkan kabar pilihan editor dan breaking news di Nusaly.com WhatsApp Channel. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.