Banner Pemprov Sumsel Pemutihan Pajak
Headline

Infrastruktur OKI Terancam, Dana Desa Dipangkas Rp 40 Triliun untuk Cicilan Program Pusat

×

Infrastruktur OKI Terancam, Dana Desa Dipangkas Rp 40 Triliun untuk Cicilan Program Pusat

Sebarkan artikel ini

Pemotongan Dana Desa (DD) 2026 hingga Rp 40 triliun untuk mencicil program pusat menghapus dua per tiga anggaran di OKI. Kades khawatir pembangunan mandek, menjadi cerminan risiko sistemik yang kini mengancam ribuan desa di Tanah Air.

Infrastruktur OKI Terancam, Dana Desa Dipangkas Rp 40 Triliun untuk Cicilan Program Pusat
Foto: Ilustrasi (Dok. Generate by AI)

OGAN KOMERING ILIR, NUSALY — Bagi kepala desa di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), rencana pemangkasan Dana Desa (DD) Tahun 2026 bukan sekadar urusan administrasi pusat, melainkan ancaman nyata bagi kelanjutan program pembangunan yang telah disusun bersama masyarakat.

Besaran DD yang diprediksi anjlok hingga sekitar Rp 250 juta per desa menghilangkan dua per tiga dana yang biasanya dikelola untuk infrastruktur lokal.

Kekhawatiran ini disuarakan tegas oleh Ketua Forum Kades Kabupaten OKI, Bambang Erawan. Anggaran sebesar Rp 600 juta yang biasa dikelolanya saja sudah dinilai kurang untuk menutup kebutuhan pembangunan desa.

Jika dipotong drastis, Bambang meyakini, pembangunan jangka panjang yang telah disepakati dalam RPJMDesa (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa) akan tersendat.

“Dimana dana (sebelumnya) tersebut masih kurang untuk program pembangunan infrastruktur. Karena menurutnya setiap desa tentu sudah memiliki program pembangunan jangka panjang. Kalau memang nantinya Dana Desa turun menjadi Rp 250 juta, dipastikan pembangunan di desa akan tersendat,” kata Bambang.

Keresahan di OKI ini menjadi cerminan dari gelombang protes yang lebih luas, setelah Kementerian Keuangan mengonfirmasi pemotongan sekitar Rp 40 triliun dari total DD Rp 60 triliun, yang dialokasikan untuk mencicil pembiayaan program nasional Koperasi Merah Putih.

Protes Nasional dan Konflik Prioritas Pembangunan

Kepastian alokasi DD 2026 sebagai pembayaran cicilan Koperasi Merah Putih selama enam tahun dikonfirmasi oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa.

”Memang PMK itu tidak berlaku, dicabut kalau tidak salah, direvisi. Tapi, yang jelas, dana desanya Rp 60 triliun (untuk tahun anggaran 2026), sekitar Rp 40 triliun per tahun untuk mencicil Koperasi Merah Putih 6 tahun ke depan,” kata Menkeu Purbaya di Jakarta, Jumat (14/11/2025).

Alokasi yang mencapai lebih dari 60 persen DD 2026 ini memicu kekecewaan Papdesi (Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia). Papdesi memprotes kebijakan ini, terutama karena dilakukan setelah penghentian pencairan DD Tahap II Tahun 2025 untuk kategori non-earmark.

Sekretaris Papdesi Kabupaten Purworejo, Dwinanto, menilai kebijakan fiskal ini sangat memberatkan.

“Jawaban yang kami terima belum menyentuh akar persoalan yang dihadapi desa. Kondisi ini sangat memberatkan, karena desa tetap dituntut menjalankan program pelayanan dan pembangunan, sementara anggarannya dipangkas,” tegas Dwinanto usai audiensi di Kemenkeu.

Konflik prioritas terasa kuat di OKI. Kades Bambang Erawan menyoroti pemaksaan program yang berbeda fokus.

“Kalau Koperasi Merah Putih kan fokus pada kegiatan jual beli sembako. Sedangkan Dana Desa lebih pada pembangunan infrastruktur, seperti jalan usaha tani, jembatan, atau irigasi. Jadi kuranglah jika pemerintah menggelontorkan Dana Desa hanya Rp 250 juta,” jelas Bambang, menegaskan bahwa kebutuhan pokok desa adalah modal fisik, bukan modal dagang.

Risiko Sistemik: Hilangnya Jaminan Kredit dan Moral Hazard

Langkah kebijakan yang mendasari pemotongan DD ini—yaitu Inpres No 17/2025 yang mencabut PMK No 49/2025—juga menjadi pintu masuk analisis mendalam para pakar ekonomi. Mereka menilai, hilangnya PMK yang awalnya mengatur skema jaminan atas kredit macet, menghilangkan aspek mitigasi risiko secara signifikan.

Baca juga  Pemkab OKI Gandeng Gen Z untuk Berantas Stunting

Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef, Rizal Taufikurahman seperti dikutip dari KOMPAS.ID, berpendapat bahwa penghilangan mekanisme mitigasi risiko ini dapat memunculkan moral hazard dan meningkatkan eksposur kredit secara sistemik.

”Dalam kondisi percepatan pembentukan kopdes (koperasi desa), absennya mekanisme mitigasi risiko mudah memunculkan moral hazard, salah kelola, hingga kenaikan NPL (kredit macet),” tegas Rizal.

Menurutnya, setiap potensi gagal bayar kini sepenuhnya membebani koperasi dan lembaga pembiayaan. Pemerintah daerah tidak lagi memiliki kewajiban penjaminan seiring hilangnya dasar hukum penggunaan dana desa sebagai penjamin. Rizal menyimpulkan bahwa koperasi kini menjadi penanggung utama (first loss) dari pembiayaan tersebut.

Senada, Kepala Riset Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Trioksa Siahaan yang kembali dikutip dari KOMPAS.ID menekankan perlunya skema penjaminan yang memadai.

“Yang bertanggung jawab bila kredit macet adalah pihak-pihak yang menandatangani perjanjian kredit. Koperasi seharusnya memiliki usaha prospektif, dikelola dengan baik dan transparan serta memiliki kemampuan membayar yang baik atas kredit,” ujar Siahaan, menggarisbawahi perlunya fungsi kelayakan kredit yang ketat.

Sementara itu, Associate Director LPEM FEB UI Jahen Fachrul Rezki menyoroti dampak perubahan kebijakan yang berulang kali, yang menurutnya, menggambarkan kurang jelasnya pengambilan kebijakan Program Koperasi Merah Putih.

“Saya rasa yang penting adalah pembuatan kebijakan yang sifatnya bertahap dulu, terus dievaluasi secara berkala sehingga nanti bisa terlihat apa hal-hal yang masih perlu dikembangkan lagi,” sarannya.

Menjaga Harapan di Tengah Ketidakpastian

Di tengah gejolak ini, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa Provinsi Sumatera Selatan, H Sutoko, mencoba meredam kekecewaan, dengan meminta para kepala desa di OKI berpikir positif. “Kita harus berpikir positif apa yang telah diwacanakan pemerintah pusat pasti baik,” ungkap Sutoko.

Baca juga  Dapur Makanan Bergizi di OKI Dihentikan Sementara Setelah Terkontaminasi Bakteri E.Coli

Namun, semangat untuk menuntut kejelasan fiskal tetap tinggi. Papdesi menyatakan siap mengambil langkah lanjutan jika dalam satu minggu tidak ada perkembangan.

Sementara itu, Kades OKI Bambang Erawan menyatakan kesiapannya untuk berkoordinasi dari tingkat kabupaten, provinsi, hingga pusat untuk meminta agar kebijakan ini dipertimbangkan kembali, meskipun ada kepala desa lain, seperti Sarmada di Mesuji Makmur, yang mengaku pasrah.

Melalui protes keras yang disuarakan para pemimpin di OKI, daerah ini telah menjadi representasi yang menuntut kejelasan kebijakan fiskal pusat.

Ini adalah upaya menguat dari daerah yang berharap kebijakan yang diambil di Jakarta dapat dipertimbangkan kembali, agar pembangunan infrastruktur lokal tidak dikorbankan demi program nasional, sehingga mampu menginspirasi nusantara untuk menjaga keseimbangan fiskal dan integritas program pembangunan desa.

(dhi)

NUSALY Channel

Dapatkan kabar pilihan editor dan breaking news di Nusaly.com WhatsApp Channel. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.