Palembang, NUSALY.COM – Di tengah gemerlap kain songket dan jumputan yang telah mendunia, tersimpan sebuah warisan budaya tak benda khas Palembang yang tak kalah memukau, yaitu kain angkinan. Kain berbahan beludru yang disulam dengan benang emas ini, dulunya merupakan simbol kemewahan dan kerap dikenakan pada acara-acara resmi seperti pernikahan adat Palembang.
Menelusuri Jejak Sejarah Kain Angkinan
Kain angkinan memiliki sejarah panjang yang berakar dari era kejayaan Kerajaan Sriwijaya. Kala itu, para perempuan di lingkungan kerajaan gemar menghiasi kain beludru dengan sulaman benang emas sebagai bentuk ekspresi seni dan identitas budaya. Tradisi ini kemudian diwariskan secara turun-temurun hingga sampai ke tangan para perajin di Kampung Angkinan Sunan, Jalan Mayor Zein, Kelurahan Sungai Lais, Kecamatan Kalidoni, Palembang.
Di kampung inilah, sekelompok perajin yang tergabung dalam Kelompok Angkinan Sunan, dengan tekun menjaga nyala api tradisi pembuatan kain angkinan agar tetap bersinar di tengah gempuran modernitas. Ayu, ketua kelompok tersebut, merupakan generasi keempat yang mewarisi keahlian menyulam kain angkinan dari nenek moyangnya.
“Kerajinan kain angkinan ini merupakan hasil kerajinan turun-temurun dari nenek moyang, dan saya terus melestarikan dengan mengajak saudara dan kerabat untuk terus membuatnya agar tetap dikenal, tidak hanya songket dan jumputan,” tutur Ayu dengan penuh semangat.
Melestarikan Warisan Leluhur di Tengah Tantangan Zaman
Kelompok Angkinan Sunan beranggotakan 50 orang yang sebagian besar merupakan saudara dan kerabat Ayu yang tinggal di sekitar Kampung Angkinan Sunan. Mereka bahu-membahu menghidupkan kembali kejayaan kain angkinan yang sempat meredup.
“Pembuatan kain angkinan ini berbeda dengan songket. Kalau songket ditenun, kain angkinan disulam dengan bahan dasar kain beludru dengan ciri khas benang emas,” ujar Ayu menjelaskan perbedaan kedua jenis kain khas Palembang tersebut.
Proses pembuatan kain angkinan membutuhkan ketelitian dan kesabaran ekstra. Pertama-tama, kain beludru dipotong sesuai dengan ukuran yang diinginkan. Kemudian, para perajin akan membuat pola di atas kain beludru dengan menggunakan kapur jahit. Setelah pola terbentuk, barulah proses penyulaman dengan benang emas dimulai.
Keindahan Motif Kain Angkinan yang Sarat Makna
Kain angkinan memiliki 15 motif yang masing-masing memiliki makna dan filosofi tersendiri. Motif-motif tersebut antara lain:
- Sulur-sulur: Melambangkan kehidupan yang terus berkembang dan berkelanjutan.
- Kuku kelabang: Merepresentasikan kekuatan dan keberanian.
- Papan jari lima: Menyimbolkan persatuan dan kebersamaan.
- Burung: Menggambarkan kebebasan dan keindahan.
- Kembang-kembang: Melambangkan keindahan dan kecantikan.
- Kipas lurus dan kipas miring: Menyimbolkan keanggunan dan kewibawaan.
- Biji pala: Menunjukkan kemakmuran dan kesejahteraan.
Menjangkau Pasar yang Lebih Luas Melalui Media Sosial
Di masa lalu, kain angkinan umumnya digunakan sebagai bahan pakaian pengantin. Namun seiring perkembangan zaman, kain angkinan kini juga diaplikasikan pada berbagai produk, seperti sarung bantal, souvenir, taplak meja, dan gandi.
Ayu dan kelompoknya aktif memasarkan kain angkinan melalui berbagai jalur, baik offline maupun online. “Untuk pemasarannya, selama ini dijual ke Pasar 16 Ilir dan Komplek Ilir Barat Permai. Namun saat ini, karena sudah ada media sosial, jadi penjualan kain angkinan ini kini juga dipasarkan di media sosial,” jelas Ayu.
Strategi pemasaran melalui media sosial membuka peluang bagi Kain Angkinan untuk menjangkau pasar yang lebih luas, bahkan hingga ke mancanegara. “Sarung bantal dan taplak meja paling best seller. Pesanan sudah dikirim ke Malaysia. Sementara untuk luar kota, baru Jakarta dan Yogyakarta saja,” ungkap Ayu.
Harga Kain Angkinan yang Setimpal dengan Nilai Seni dan Budayanya
Harga kain angkinan bervariasi tergantung pada ukuran, tingkat kerumitan motif, dan jenis produk. Untuk satu set sarung bantal kursi dibanderol dengan harga Rp 750.000, sedangkan untuk souvenir Rp 200.000. Sementara untuk satu set pakaian pengantin, harganya mencapai Rp 17 juta.
Tingginya harga kain angkinan sebanding dengan nilai seni, budaya, dan waktu yang dibutuhkan untuk membuatnya. Pengerjaan satu set sarung bantal saja membutuhkan waktu dua minggu.
Kain Angkinan: Harapan dan Tantangan di Masa Depan
Ayu dan kelompoknya memiliki harapan besar agar kain angkinan dapat terus dilestarikan dan dikenal oleh generasi muda. “Kain angkinan saat ini bersaing dengan kain-kain yang minimalis. Meski begitu, kami akan terus melestarikan kain khas Palembang ini,” tegas Ayu.
Kain Angkinan adalah bukti nyata kekayaan warisan budaya Indonesia. Di tangan para perajin Kampung Angkinan Sunan, kain bersejarah ini terus dijaga kelestariannya. Dengan semangat dan dedikasi yang tinggi, mereka berupaya memperkenalkan keindahan dan keunikan kain angkinan kepada dunia, sekaligus menjaga nyala api tradisi leluhur agar tetap bersinar terang. Semoga kisah inspiratif ini dapat membangkitkan kesadaran kita semua akan pentingnya melestarikan warisan budaya bangsa. (desta)
NUSALY Channel
Dapatkan kabar pilihan editor dan breaking news di Nusaly.com WhatsApp Channel. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.