SAAT lembaran politik Indonesia periode 2024-2029 dibuka, dominasi koalisi partai pendukung pemerintah di parlemen ibarat catur politik yang menantang. Di tengah struktur kekuasaan yang memusat, muncul pertanyaan yang semakin menggema: akankah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mampu berfungsi sebagai penjaga demokrasi sejati atau justru terjebak dalam pengulangan irama politik yang harmonis tanpa disertai kontrol kritis?
Pengalaman lima tahun terakhir telah memberi kita gambaran jelas mengenai bagaimana peta politik yang dikuasai koalisi besar sering kali meminggirkan fungsi pengawasan DPR. Pada saat suara rakyat menjerit karena kebijakan kontroversial yang lahir dari eksekutif, justru minim suara kritis yang terdengar dari parlemen. DPR, dalam perannya yang seharusnya menjadi jangkar pengawasan, acap kali terlihat menyelaraskan nada dengan pemerintah, tanpa memberikan pertanyaan yang substantif.
Politik Dominasi: Kemesraan yang Berbahaya
Koalisi partai pemerintah yang menguasai parlemen tampak seperti pelangi setelah hujan deras: indah dipandang, tetapi berpotensi menutupi badai yang diam-diam menyusun diri. Ketika parlemen, yang seharusnya berdiri sebagai lembaga independen, larut dalam kemesraan dengan eksekutif, saat itulah demokrasi kehilangan satu dari tiga kakinya. Kita menyaksikan bagaimana suara kritis menjadi senyap, padahal tanggung jawab DPR bukanlah sekadar menelurkan undang-undang, tetapi juga memastikan kebijakan yang dilahirkan pemerintah memiliki landasan moral dan rasionalitas yang kokoh.
Sebagai lembaga perwakilan rakyat, DPR seharusnya berani menjadi penyeimbang dalam dinamika politik eksekutif yang dominan. Namun, tantangan terbesar periode ini adalah menjaga independensi di tengah tekanan politik yang semakin menguat, terlebih dengan peta koalisi yang begitu besar. Jika fungsi pengawasan DPR terus-menerus diredam oleh kekuatan koalisi, maka kita tengah mengarungi periode yang sangat rawan bagi keberlangsungan demokrasi yang sehat.
Oposisi: Sang Penjaga yang Tersingkir?
Di bawah bayang-bayang dominasi koalisi, partai-partai oposisi kini seolah berdiri di tepian, hanya menjadi saksi dari permainan politik yang dimainkan oleh mereka yang lebih berkuasa. Dalam sistem politik yang ideal, oposisi memegang peran penting untuk menjaga keseimbangan, menawarkan perspektif berbeda, dan menekan pemerintah ketika kebijakan yang diambil cenderung keluar jalur. Namun, di Indonesia, oposisi kerap kali terjebak dalam posisi lemah—baik secara politik maupun media—sehingga suaranya kurang terdengar lantang.
Masa depan DPR periode ini sangat bergantung pada seberapa jauh oposisi mampu menegakkan kepala dan menjalankan fungsi pengawasan dengan tegas. Jika mereka hanya terjebak dalam dinamika politik yang stagnan, sekadar mengamankan kursi tanpa membawa diskursus kritis, kita patut bertanya: di mana sebenarnya fungsi DPR sebagai lembaga penyeimbang dalam demokrasi?
Menguatkan Integritas Lembaga: Harapan atau Sekadar Ilusi?
Pelantikan 580 anggota DPR yang baru, hasil dari proses pemilihan umum yang melibatkan jutaan suara, menjadi momentum krusial untuk menguatkan kembali integritas lembaga perwakilan rakyat ini. Jumlah yang lebih besar dengan tambahan anggota dari provinsi-provinsi baru di Papua, memberikan warna baru dalam parlemen. Akan tetapi, pertanyaan yang lebih penting adalah, apakah angka yang bertambah ini juga akan membawa kualitas yang lebih baik dalam hal pengawasan dan legislasi?
Publik memiliki harapan besar bahwa DPR dapat memanfaatkan peluang ini untuk menjadi garda terdepan dalam memastikan akuntabilitas pemerintah. Ini bukan tugas yang mudah, mengingat dominasi politik yang begitu kuat. Namun, inilah saatnya bagi DPR untuk menunjukkan bahwa mereka bukan sekadar perpanjangan tangan eksekutif, melainkan lembaga yang mampu menegakkan prinsip-prinsip check and balance dengan tegas.
Refleksi Demokrasi: Antara Taring dan Gigi Tumpul
Dominasi politik di parlemen bukan berarti ruang pengawasan harus berakhir. Justru, ini adalah kesempatan bagi DPR untuk membuktikan diri sebagai institusi yang memiliki keberanian, kapabilitas, dan integritas. Kita berharap bahwa dalam lima tahun ke depan, DPR tidak akan kehilangan taringnya dalam mengawal setiap kebijakan pemerintah yang berdampak langsung pada rakyat. Suara-suara kritis harus tetap bergema, bukan untuk menimbulkan kekacauan, melainkan untuk memperkuat demokrasi.
Parlemen adalah benteng terakhir yang melindungi rakyat dari otoritarianisme terselubung. Saat koalisi pemerintah menjadi begitu kuat, maka taring DPR harus semakin tajam, bukan sebaliknya. Jika demokrasi dibiarkan berjalan tanpa kontrol yang memadai, maka kita tidak hanya kehilangan keseimbangan kekuasaan, tetapi juga mengkhianati kepercayaan rakyat yang telah menempatkan para wakilnya di kursi terhormat.
Dalam setiap kebijakan yang lahir, dalam setiap keputusan yang diambil, DPR harus menjadi pelindung utama suara rakyat. Inilah saatnya bagi para wakil rakyat untuk membuktikan, bahwa meski berada di bawah dominasi politik yang kuat, mereka masih memiliki kekuatan dan keberanian untuk berbeda, untuk mengawasi, dan untuk menegakkan keadilan.
Demokrasi yang Sehat Memerlukan Pengawasan yang Kuat
Di tengah dominasi koalisi partai pemerintah, masa depan DPR terletak pada kemampuan mereka untuk menjaga integritas dan memperkuat fungsi pengawasan. Demokrasi yang sehat hanya bisa terwujud jika DPR mampu menjalankan peran sebagai penyeimbang kekuasaan, mengkritisi setiap kebijakan pemerintah dengan objektivitas dan ketajaman analisis. Inilah tantangan terbesar DPR 2024-2029: membuktikan bahwa mereka lebih dari sekadar institusi politik, tetapi benar-benar lembaga yang melayani rakyat dan mengawal demokrasi Indonesia ke arah yang lebih baik.
Demokrasi kita memerlukan taring DPR yang tajam, bukan gigi tumpul. (dhi)
NUSALY Channel
Dapatkan kabar pilihan editor dan breaking news di Nusaly.com WhatsApp Channel. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.