Kolom

Menelusuri Luka Sungai Komering, Antara Rumput Liar, Eceng Gondok, dan Krisis Tanggung Jawab

Menelusuri Luka Sungai Komering, Antara Rumput Liar, Eceng Gondok, dan Krisis Tanggung Jawab
Menelusuri Luka Sungai Komering, Antara Rumput Liar, Eceng Gondok, dan Krisis Tanggung Jawab

Oleh: Adhie Rasmiadi, Co Leader World CleanUp Day Regional Sumatera Selatan

Di jantung Kota Kayu Agung, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, terbentang luka yang menganga – Sungai Komering. Aliran air yang seharusnya menjadi sumber kehidupan kini diselimuti bayang-bayang keputusasaan. Rumput liar dan eceng gondok menjamur, bagaikan monster air yang siap menelan nafas kehidupan sungai.

Masyarakat menjerit, meradang melihat sungai yang kian kotor dan tak terawat. Mereka menuding pemerintah, menyalahkan kelalaian dan kurangnya perhatian. Tapi, benarkah pemerintah sepenuhnya bertanggung jawab atas tragedi ini? Ataukah ini cerminan krisis tanggung jawab kolektif yang lebih kelam?

Menelusuri Akar Permasalahan

Untuk menjawab pertanyaan itu, mari kita selami lebih dalam akar permasalahannya. Sampah, biang keladi utama pencemaran Sungai Komering, bagaikan buangan tak beradab yang mencemari sungai tanpa henti. Entah dari mana datangnya, mereka menari di atas air, bagaikan penghinaan terhadap alam. Botol-botol plastik, kantong kresek, sisa makanan, dan berbagai macam sampah lainnya, bercampur aduk dengan air, menciptakan aroma busuk yang menusuk hidung.

Eceng gondok, si pengganggu hijau, tak mau kalah. Meskipun telah dihalangi penahan, mereka tetap lolos, bagaikan pasukan gerilya yang tak kenal menyerah. Daun-daunnya yang rimbun menutupi permukaan air, menghambat aliran dan mengganggu ekosistem sungai. Tak hanya itu, eceng gondok juga menjadi sarang nyamuk, menambah deretan masalah di Sungai Komering.

Pemerintah dan Masyarakat: Antara Upaya dan Apatisme

Pemerintah, di sisi lain, seolah terpaku dalam kebingungan. Program pembersihan terkesan setengah-setengah, infrastruktur penahan eceng gondok tak kunjung menunjukkan hasil. Edukasi? Terdengar asing di telinga masyarakat yang terbiasa hidup dalam budaya “buang sampah sembarangan”.

Hukum? Bagaikan macan ompong, tak mampu menggetarkan hati para pencemar. Sanksi lemah, patroli minim, membuat sungai bagaikan surga bagi para pelanggar. Denda kecil tak mampu menjadi efek jera, dan rasa takut tertangkap nihil.

Masyarakat pun tak luput dari kritik. Mereka terjebak dalam apathy, terlena dalam kebiasaan membuang sampah sembarangan. Gotong royong? Hanya angin lalu. Kesadaran? Masih terkubur dalam egoisme pribadi. Memikirkan diri sendiri, tanpa peduli dengan dampaknya terhadap lingkungan.

Momentum World Water Forum ke-10 di Bali

Di tengah gegap gempita penyelenggaraan World Water Forum ke-10 di Bali, luka Sungai Komering menjadi tamparan keras bagi komitmen kita terhadap kelestarian air. Rumput liar dan eceng gondok menjamur, mencekik nafas kehidupan sungai, bagaikan ironi di tengah pembahasan isu air global.

World Water Forum ke-10 menjadi momentum penting untuk merefleksikan diri dan mengambil langkah nyata. Kita harus bahu membahu, bergandengan tangan untuk menyelamatkan Sungai Komering.

Gotong royong, edukasi, dan penegakan hukum yang tegas harus menjadi prioritas utama. Masyarakat perlu disadarkan bahwa Sungai Komering bukan tempat sampah, dan pemerintah harus menunjukkan komitmen yang lebih kuat dalam program pelestarian sungai.

Mencari Solusi: Menuju Sungai Komering yang Bersih dan Lestari

Sungai Komering bukan hanya milik pemerintah. Dia adalah milik kita semua, milik masyarakat yang bergantung pada airnya untuk minum, mengairi sawah, dan sumber kehidupan lainnya. Tapi, di mana rasa memiliki itu? Di mana tanggung jawab kolektif untuk menjaga kelestariannya?

Sudah saatnya kita berbenah diri. Masyarakat harus sadar bahwa Sungai Komering adalah milik bersama, bukan tempat sampah. Gotong royong, edukasi, dan penegakan hukum yang tegas harus menjadi prioritas utama.

Pemerintah, di sisi lain, harus menunjukkan komitmen yang lebih kuat. Program yang terencana, infrastruktur yang memadai, dan penegakan hukum yang tegas adalah kunci untuk menyelamatkan Sungai Komering.

Perlu ada kerjasama yang erat antara pemerintah dan masyarakat. Kampanye edukasi yang masif harus dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga kebersihan sungai. Program pembersihan sungai secara berkala, dengan melibatkan masyarakat, harus menjadi agenda rutin.

Pemerintah perlu menyediakan tempat sampah yang memadai di sekitar sungai, dan memperketat pengawasan terhadap pencemaran sungai. Sanksi tegas bagi pelanggar harus ditegakkan tanpa pandang bulu.

Masyarakat juga harus didorong untuk berpartisipasi dalam program-program pelestarian sungai. Pembentukan komunitas pecinta sungai dapat menjadi solusi untuk meningkatkan kepedulian dan partisipasi masyarakat.

Menyelamatkan Sungai Komering bukan tugas yang mudah. Tapi, dengan tekad yang kuat dan kerjasama yang solid, bukan mustahil untuk mengembalikan Sungai Komering ke masa kejayaannya.

Mari jadikan Sungai Komering sebagai contoh nyata komitmen kita terhadap kelestarian air. Jangan biarkan luka ini menjadi luka permanen, menggerogoti masa depan generasi penerus.

Bersama-sama, kita ciptakan Sungai Komering yang bersih dan lestari, demi masa depan yang lebih baik.

Exit mobile version