Pendidikan

Quo Vadis Ilmu Politik: Antara Kemunduran Demokrasi dan Mandat Getol APSIPOL

×

Quo Vadis Ilmu Politik: Antara Kemunduran Demokrasi dan Mandat Getol APSIPOL

Sebarkan artikel ini

Di tengah krisis keahlian politisi dan surutnya demokrasi global, Asosiasi Program Studi Ilmu Politik Indonesia (APSIPOL) mengukuhkan komitmen untuk menjadi "barisan terakhir" yang mempertahankan marwah keilmuan politik.

Quo Vadis Ilmu Politik: Antara Kemunduran Demokrasi dan Mandat Getol APSIPOL
Pelantikan Pengurus Asosiasi Program Studi Ilmu Politik Indonesia (APSIPOL). (Dok. Istimewa)

DEPOK, NUSALY – Aula FISIP Universitas Indonesia pada Kamis, 20 November 2025, terasa sarat makna. Di satu sisi, ruangan itu menjadi saksi pelantikan resmi pengurus Asosiasi Program Studi Ilmu Politik Indonesia (APSIPOL) periode 2025–2028. Di sisi lain, suasana formalitas tersebut seketika bergeser menjadi arena pertarungan intelektual ketika diskusi beralih ke pertanyaan paling mendasar: “Kemana arah masa depan ilmu politik?”

Kegiatan yang bertajuk “Bergerak Bersama Membangun APSIPOL yang Lebih Maju dan Berdampak” ini menyatukan para Ketua Program Studi, dosen, dan pengawas dari seluruh Indonesia, baik secara luring maupun daring. Mereka berkumpul bukan sekadar untuk seremoni, tetapi untuk menyusun strategi keilmuan di tengah pusaran tantangan politik global dan domestik yang semakin kompleks.

Ketika Ilmu Politik Dipertanyakan

Palu godam dalam diskusi dilemparkan langsung oleh Ketua Umum APSIPOL periode 2025–2028, Dr. Asep A. Sahid Gatara, M.Si. Ia membuka kuliah umum dengan sebuah premis yang tidak hanya retoris, tetapi juga kritis: Quo Vadis ilmu politik?

Asep dengan jujur mengakui, keberadaan dan relevansi ilmu politik saat ini banyak dipertanyakan. Alasannya tidak main-main, sebab disiplin ilmu ini dihadapkan pada dua fenomena global yang saling terkait dan memprihatinkan:

Pertama, tren kemunduran demokrasi di sejumlah negara, termasuk yang selama ini dianggap sebagai kiblat demokrasi dunia seperti Amerika Serikat, dan juga di negara-negara Asia Tenggara. Kemunduran ini diukur dari beberapa aspek fundamental: proses Pemilu yang pluralis, fungsi pemerintahan yang bebas dari pengaruh militer dan asing, partisipasi politik yang setara, budaya politik berbasis konsensus, dan kebebasan sipil dalam berekspresi.

Kedua, munculnya masalah tentang kemandegan kompetensi mayoritas politisi. Kompetensi yang dimaksud mencakup pengetahuan politik, sikap, perilaku, hingga keterampilan praktis.

“Pertanyaan ‘hendak ke mana ilmu politik pergi’ pada dasarnya secara tersirat juga mempertanyakan ‘ke mana saja ilmu politik selama ini’,” ujar Asep. Ia menyinggung keramaian disiplin ilmu lain yang kini terlibat langsung dalam masalah politik, termasuk dalam perhelatan Pemilu, seakan-akan mengambil peran yang seharusnya diampu oleh ilmu politik.

Kondisi ini menempatkan APSIPOL, yang didirikan oleh para penggagas di Universitas Brawijaya pada 2 November 2016, pada posisi strategis sekaligus defensif. Asosiasi ini hadir belakangan, setelah Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI), dengan mimpi yang sama: terjalinnya kolaborasi antar pengelola Program Studi dan terwujudnya ilmu politik yang tidak hanya berkembang tetapi juga berdampak.

Baca juga  Munas Apsipol 2025 di Unpad, Merumuskan Arah Ilmu Politik dan Etika Demokrasi

Tiga Mandat Menjawab Krisis

Menanggapi tantangan eksistensial ini, Ketua Dewan Penasehat APSIPOL, Prof. Dr. Caroline Paskarina, S.IP., M.Si., menetapkan tiga mandat utama yang harus diperkuat oleh kepengurusan baru. Prof. Caroline menekankan bahwa momentum pelantikan dan rapat kerja ini memiliki arti penting bagi keberlanjutan peran APSIPOL sebagai organisasi keilmuan.

“Dalam beberapa tahun terakhir, APSIPOL telah menunjukkan kontribusi nyata dalam memperkuat kualitas penyelenggaraan pendidikan tinggi Ilmu Politik. Namun, tantangan global menuntut kita untuk semakin adaptif,” kata Prof. Caroline.

Tiga mandat strategis tersebut adalah:

  1. Memperkokoh Fondasi Keilmuan: Melalui pengembangan standar akademik, forum akademik, dan kolaborasi keilmuan antarinstitusi. Penguatan ini vital untuk memastikan Ilmu Politik tetap relevan dan memiliki kontribusi strategis bagi kehidupan bernegara.
  2. Meningkatkan Kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM): Baik melalui pelatihan, penguatan metodologi, pengembangan profesi, maupun penciptaan ruang pengembangan karier yang lebih sistematis. Prof. Caroline menegaskan bahwa SDM yang kuat merupakan prasyarat utama bagi kualitas pendidikan dan riset politik di Indonesia.
  3. Mewujudkan Keterhubungan dengan Pembangunan Nasional: Kontribusi ilmiah harus diarahkan pada penguatan tata kelola demokrasi, perumusan kebijakan publik, dan peningkatan kualitas pemerintahan yang beretika dan berintegritas. Dalam konteks ini, APSIPOL berperan sebagai jembatan antara dunia akademik dan dinamika kebutuhan masyarakat.

Pelantikan Pengurus APSIPOL periode 2025–2028, yang dilanjutkan dengan rapat kerja seluruh bagian dan koordinator wilayah, menandai dimulainya periode kerja baru yang menuntut komitmen, integritas, dan kolaborasi yang kuat.

Perkembangan Fisik yang Perlu Diimbangi

Dalam perspektif sejarah, Prof. Dr. Maswadi Rauf, MA memberikan konteks mengenai perkembangan fisik disiplin ilmu politik di Indonesia. Data yang disajikan menunjukkan bahwa secara kuantitas, ilmu politik telah mengalami pertumbuhan pesat dalam 50 tahun terakhir.

Prof. Maswadi merinci lonjakan ini: pada tahun 1982 hingga 2025, Program Studi Ilmu Politik S1 meningkat drastis dari hanya 3 menjadi 54 prodi; S2 dari dua menjadi 17 prodi; dan S3 dari 2 menjadi 6 prodi.

“Perkembangan jumlah Program Studi S1, S2, dan S3 ini menunjukkan bahwa ilmu politik telah mengalami perkembangan yang pesat. Pemahaman masyarakat dan pemerintah terhadap ilmu politik juga semakin membaik, sehingga ilmu politik tidak lagi dianggap sebagai ilmu yang asing,” jelas Prof. Maswadi.

Baca juga  AIPI Sumsel Kukuhkan Pengurus Baru, Ilmu Politik Dituntut Hadapi Era Kecerdasan Buatan dan Tantangan Otsus

Namun, ia memberikan catatan kritis yang krusial: “Perkembangan fisik ini perlu diimbangi dengan perbaikan kurikulum sehingga kurikulum yang digunakan oleh Jurusan/Departemen Ilmu Politik adalah benar-benar kurikulum ilmu politik yang kuat, relevan, dan kontekstual.”

Tantangan Prof. Maswadi ini sejalan dengan mandat Prof. Caroline dan Dr. Asep, yaitu perlunya memastikan kualitas keilmuan tidak dikorbankan demi kuantitas.

APSIPOL Getol: Gerbang Keilmuan dan Lambang Kemanfaatan
Rapat Kerja, Kuliah Umum Tentang Arah dan Perkembangan Ilmu Politik di Indonesia, dan Sosialisasi Lamspak. (Dok. Istimewa)

APSIPOL Getol: Gerbang Keilmuan dan Lambang Kemanfaatan

Menutup diskusinya tentang Quo Vadis, Dr. Asep A. Sahid Gatara menawarkan identitas dan solusi yang menjadi ciri khas APSIPOL: “APSIPOL Getol.”

Filosofi ini lahir dari mimpi para pendiri untuk mewujudkan ilmu politik yang tidak hanya berkembang, tetapi juga bermanfaat dan berdampak. Untuk mencapai dampak tersebut, APSIPOL harus bekerja dan berkarya dengan berfondasikan nilai-nilai fundamental politik itu sendiri, yaitu kebaikan (goodness), terutama kebaikan bersama (bonum commune).

Jika filsuf klasik memaknai bonum commune secara berbeda (Socrates: Keadilan, Plato: Pengetahuan, Aristoteles: Kebahagiaan), maka APSIPOL merumuskan bonum commune dalam konteks modern sebagai: Keadilan (equity), Kesetaraan (equality), Kepercayaan (trust), Keterbukaan (openness), dan Kecintaan (love).

Kelima nilai ini disingkat menjadi “GETOL”.

“Bingkai ‘APSIPOL Getol’ ini adalah penciri asosiasi yang dapat menjadi penyemangat, pengingat, dan sekaligus pengikat hubungan erat antara anggota,” tegas Asep. Ia juga merupakan sarana pendekat antara asosiasi dengan semua lapisan masyarakat, termasuk pengguna lulusan.

Secara harfiah, Getol bermakna rajin, tekun dalam mencari, dan bersemangat. Dalam konteks APSIPOL:

  • Makna Semangat membayangkan asosiasi dapat berperan dalam keilmuan dengan penuh kesungguhan, menjadi barisan terakhir dari pengelola dan cendekiawan yang mempertahankan dan sekaligus mengembangkan marwah ilmu politik.
  • Makna Rajin dan Tekun membayangkan asosiasi dapat terus-menerus membawa peran dalam kemanfaatan.

Dengan demikian, bingkai “APSIPOL Getol” pada dasarnya berintisarikan gerbang keilmuan di satu sisi, dan lambang kelembagaan serta ruang-ruang kemanfaatan di sisi lain.

Ilmu politik yang ditanamkan dan dikembangkan sejatinya harus lebih mengarah pada keberdampakan dan kecintaan. Berdampak bagi negara dan dunia yang lebih baik, serta terbangun rasa cinta dalam setiap akhlak atau tata gaul kehidupan publik manusia hingga terwujud kedamaian. Inilah jawaban tegas APSIPOL atas pertanyaan Quo Vadis yang kritis.

Catatan: Selain pelantikan, rapat kerja ini juga menyelenggarakan Sosialisasi Lamspak (Lembaga Akreditasi Mandiri Sosial, Politik, dan Administrasi Publik), yang merupakan bagian integral dari upaya APSIPOL untuk memperkuat standar akademik dan kualitas program studi di Indonesia.

(sbr)