GEORGE TOWN, NUSALY — Jarak sekitar 600 kilometer melintasi Selat Malaka yang memisahkan Penang, Malaysia, dengan daratan Aceh, seketika luruh oleh rasa belas kasih. Di saat warga di kawasan Nosar hingga Paya Reje, Aceh Tengah, berjuang bangkit dari lumpur sisa banjir bandang dan tanah longsor, dukungan justru datang dari seberang lautan.
Humaniora Malaysia Filantropi, sebuah organisasi nirlaba yang berbasis di George Town, Penang, bergerak cepat mengirimkan bantuan pokok. Langkah ini dipimpin oleh Caca Rayborn Seroja Sartika, seorang impresario konser dan tokoh industri hiburan Malaysia yang memiliki kedekatan emosional dengan Indonesia. Bagi Caca, bantuan ini bukan sekadar bantuan darurat, melainkan “belas kasih dari jauh” yang menunjukkan bahwa korban bencana tidak berjalan sendirian.
“Ini adalah kemanusiaan yang tulus. Ada kewajiban moral untuk menunjukkan belas kasih, terutama bagi mereka yang kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian. Mereka berhak atas keadilan dan perlindungan,” ujar Caca Rayborn saat ditemui di kantornya di Penang, Jumat (26/12/2025).
Kolaborasi Pelajar dan Edukasi Filantropi
Hal yang membuat gerakan ini menonjol dalam kacamata sosiologis adalah keterlibatan aktif Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) SMA Negeri 4 Takengon. Di wilayah yang terdampak bencana, para pelajar ini tidak hanya menjadi penerima, tetapi juga menjadi simpul distribusi (konjungsi) yang krusial.
Sejak 12 Desember 2025, para siswa ini terjun langsung membagikan bahan pokok seperti beras, gula, dan kebutuhan harian lainnya ke titik-titik tersulit seperti Toweren dan Kenawat. Plt Kepala Sekolah SMAN 4 Takengon, Aprianti Lubis, menegaskan bahwa keterlibatan siswa adalah bagian dari kurikulum kehidupan.
“Menjadikan sekolah sebagai tempat edukasi filantropi sejak usia muda sangatlah penting. Kami ingin siswa memiliki peka sosial yang tajam. Mereka menggalang dana, membersihkan lingkungan, hingga memberikan dukungan psikososial bagi teman-temannya yang terdampak,” jelas Aprianti.
Keterlibatan anak muda di garda terdepan bencana di Aceh Tengah ini memberikan harapan baru bagi ketahanan sosial lokal. Pendidikan tidak lagi hanya sebatas di dalam ruang kelas, tetapi mewujud dalam simulasi bencana dan kesiapsiagaan nyata di lapangan.
Tiga Dekade Menjaga Marwah Kemanusiaan
Akar dari Humaniora Malaysia Filantropi sejatinya tertanam kuat di tanah air. Organisasi ini merupakan representasi dari Yayasan Humaniora Rumah Kemanusiaan yang didirikan oleh pekerja sosial dan budayawan Eddie Karsito pada 17 Februari 1995 di Jakarta. Selama 30 tahun, lembaga ini telah bertransformasi dari sebuah gerakan kecil para seniman dan wartawan menjadi NGO lintas negara yang disegani.
Di Indonesia sendiri, yayasan ini memikul beban sosial yang tidak ringan. Mereka membina sedikitnya 229 pemulung di kawasan Bekasi dan Bandung, termasuk lansia berusia hingga 97 tahun yang hidup di bawah garis kemiskinan. Eddie Karsito melihat bahwa hubungan Indonesia-Malaysia tidak seharusnya hanya dipandang dari kacamata politik atau ekonomi formal.
“Penting bagi kita untuk membangun hubungan kemanusiaan Indonesia-Malaysia lewat kegiatan sosial. Ini mempererat persaudaraan sebagai bangsa serumpun. Kolaborasi tanggap darurat seperti ini memperkuat ketahanan sosial dan menciptakan lingkungan yang damai,” ungkap Eddie.
Rekam jejak lembaga ini juga didukung oleh barisan panjang pesohor Indonesia, mulai dari Iwan Fals, Raffi Ahmad, hingga Krisdayanti, yang menunjukkan bahwa kekuatan figur publik jika dikelola dengan manajemen filantropi yang transparan dapat menghasilkan dampak nyata bagi kaum duafa.
Shelter: Memutus Mata Rantai Kemiskinan
Visi jangka panjang Humaniora kini terfokus pada pembangunan “Humaniora Shelter Rumah Kemanusiaan”. Proyek wakaf ini dirancang bukan sekadar menjadi rumah singgah sementara bagi warga miskin kota, melainkan pusat pembelajaran terpadu.
Konsep yang diusung cukup progresif: pengelolaan sampah yang produktif dikombinasikan dengan pengembangan daya kreatif anak berbasis budi pekerti seni. Tujuannya ambisius namun mulia, yakni memutus mata rantai kemiskinan agar anak-anak pemulung tidak kembali menjadi pemulung di masa depan.
Bantuan untuk Aceh Tengah kali ini hanyalah satu dari sekian banyak bab dalam buku besar kemanusiaan serumpun. Namun, ia memberikan pesan yang sangat jernih kepada publik: bahwa di tengah sekat-sekat batas negara dan krisis iklim yang memicu bencana, empati adalah satu-satunya bahasa yang tetap dapat dimengerti tanpa perlu diterjemahkan.
Kemanusiaan tidak mengenal paspor, dan persaudaraan serumpun teruji justru saat lumpur dan air mata membanjiri beranda rumah saudara kita.
(dhi)
NUSALY Channel
Dapatkan kabar pilihan editor dan breaking news di Nusaly.com WhatsApp Channel. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
