Fokus

Korupsi Dispora OKI: Vonis Ringan dan Dilema Akuntabilitas Pengguna Anggaran

Empat pejabat teknis Dispora OKI divonis ringan 1 tahun 10 bulan atas korupsi Rp 1,1 Miliar. Di balik keberhasilan pemulihan kerugian negara secara penuh, sorotan tajam mengarah pada Mantan Kepala Dinas selaku Pengguna Anggaran yang luput dari jerat hukum, mendapat promosi jabatan, dan belakangan terungkap terlibat dalam kasus suap "jaksa gadungan".

Korupsi Dispora OKI: Vonis Ringan dan Dilema Akuntabilitas Pengguna Anggaran
Vonis ringan 1 tahun 10 bulan korupsi Dispora OKI Rp 1,1 Miliar setelah pengembalian penuh kerugian negara. Sorotan pada Pengguna Anggaran yang dipromosikan dan terjerat jaksa gadungan, memicu kritik keras ahli hukum dan etika birokrasi. (Dok. Istimewa/Nusaly.com)

PALEMBANG, NUSALY – Setelah melalui proses persidangan, Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Palembang menjatuhkan vonis 1 tahun 10 bulan penjara kepada empat pejabat teknis Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) dalam perkara korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2022. Vonis ini jauh lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri OKI yang sebelumnya menuntut 2 tahun 6 bulan penjara.

Putusan ini memicu sorotan tajam publik, bukan hanya karena ringannya hukuman, tetapi juga karena dilema hukum yang mendasar: berdasarkan rilis Kejaksaan Negeri OKI, seluruh kerugian negara sebesar Rp 1.103.251.916,- (Satu Miliar Seratus Tiga Juta Dua Ratus Lima Puluh Satu Ribu Sembilan Ratus Enam Belas Rupiah) telah dikembalikan penuh oleh para terdakwa, menjadikan status kerugian negara secara yuridis berstatus nihil.

Empat terpidana yang divonis—Imam Tohari (Kabid Keolahragaan & PPTK), Harun (Kabid Pemberdayaan Pemuda & PPTK), Muslim (Bendahara Pengeluaran periode Jan-Jun), dan Aprilian Saputra (Bendahara Pengeluaran periode Jun-Des)—dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Perbuatan mereka melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.

Pemulihan Aset Negara versus Erosi Kepercayaan Publik

Dalam amar putusannya, majelis hakim yang diketuai Idi Il Amin SH MH dengan anggota Ardian Angga SH MH dan Waslam Makhsid, selain menjatuhkan pidana penjara 1 tahun 10 bulan, juga menetapkan denda Rp 50 juta subsider 1 bulan kurungan kepada masing-masing terpidana. Faktor utama yang sangat meringankan hukuman adalah pengembalian penuh kerugian negara, sebuah prestasi dari segi pemulihan aset (asset recovery) oleh Kejaksaan Negeri OKI.

Rincian pengembalian uang pengganti yang dibayarkan oleh para terdakwa sebelum vonis adalah sebagai berikut: Harun sebesar Rp 82.840.000,-; Aprilian Saputra sebesar Rp 159.914.875,-; Muslim sebesar Rp 219.000.000,-; dan Imam Tohari sebesar Rp 640.582.500,-. Total pengembalian ini memastikan kas negara pulih seratus persen.

Meskipun demikian, vonis 1 tahun 10 bulan di tengah kasus korupsi dengan nilai kerugian Rp 1,1 Miliar kembali memicu perdebatan mengenai efek jera. Fenomena ini seringkali dikritik karena menciptakan preseden di mana pelaku korupsi cenderung mendapatkan keringanan hukuman signifikan setelah mengembalikan uang hasil kejahatan.

Infografis Korupsi Dispora OKI. (Dok. Nusaly.com)

Sobirin SH MH, Pakar Hukum dari Jaringan Advokasi Gerakan Amanah (JAGA), menilai bahwa keberhasilan pemulihan kerugian negara tidak boleh mengeliminasi nilai kejahatan itu sendiri.

“Jika ancaman pidana penjara hanya di bawah dua tahun untuk korupsi miliaran Rupiah, pesan yang dikirimkan ke birokrasi adalah, ‘silakan ambil uangnya, asalkan siap mengembalikan jika tertangkap’,” ujar Sobirn.

Lebih jauh, Alumni STIHPADA dan Unversitas Muhammadiyah Palembang ini mengungkapkan jika hukum seolah hanya menjadi mekanisme cicilan bagi koruptor, maka publik akan menilai lembaga peradilan hanya berpihak pada pemulihan finansial, bukan keadilan substantif. Ini melumpuhkan upaya edukasi anti-korupsi di akar rumput birokrasi.

Anomali Etik: Bayang-Bayang Jaksa Gadungan pada Pejabat Promosi

Isu vonis ringan ini menjadi semakin problematik ketika dikaitkan dengan akuntabilitas Muhammad Refly (MR), yang menjabat sebagai Kepala Dinas Dispora OKI pada tahun anggaran 2022. Sebagai Kepala Dinas, MR adalah Pengguna Anggaran (PA) dan penanggung jawab tertinggi atas seluruh otorisasi dan pertanggungjawaban dana. Keempat terpidana yang divonis adalah bawahan langsung MR.

MR hanya diperiksa sebagai saksi—sementara anak buahnya dipidana. Kontroversi memuncak ketika, jauh dari sanksi administratif, MR justru dipromosikan ke jabatan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten OKI, sebuah instansi strategis dengan alokasi anggaran yang jauh lebih besar.

Anomali etika ini semakin diperkuat dengan terungkapnya fakta bahwa MR, saat menjabat Kepala Dinas Pendidikan, diduga kuat menjadi korban pemerasan oleh “jaksa gadungan” bernama Bobby Asia.

Dalam konferensi pers Kejaksaan Negeri (Kejari) OKI pada 7 Oktober 2025, Kepala Kejaksaan Negeri OKI Sumantri SH MH mengungkapkan, MR menyerahkan uang total lebih dari Rp 10 juta kepada oknum tersebut melalui sopir pribadinya.

“Oknum Jaksa Gadungan Bobby Asia dua kali menerima uang dari Kadis Pendidikan OKI. MR menyerahkan uang itu melalui sopir pribadinya. Pertama MR mentransfer Rp5 juta, kedua Rp2,5 juta, dan terakhir MR menyerahkan tunai sebesar Rp3 juta,” jelas Kajari Sumantri.

Fakta ini menimbulkan tanda tanya besar: mengapa seorang pejabat publik, yang institusi sebelumnya (Dispora OKI) tengah menghadapi kasus korupsi, dengan mudah menyerahkan dana pribadi kepada seseorang yang mengaku sebagai jaksa? Kejadian ini, yang terjadi bahkan setelah MR dipromosikan, mempertegas adanya bayang-bayang masalah akuntabilitas dan etika yang serius pada sosok Pengguna Anggaran yang luput dari jerat hukum.

Pengamat politik dan pemerintahan Sumatera Selatan, Bagindo Togar, menilai promosi ini sebagai bentuk nyata lemahnya pengawasan internal dan etika birokrasi di lingkungan Pemkab OKI.

“Promosi terhadap pejabat yang institusinya baru saja terbukti melakukan korupsi Rp 1,1 Miliar adalah anomali etika yang serius. Hal ini menunjukkan bahwa sistem meritokrasi dan integritas di OKI telah gagal,” kritik Bagindo.

“Kasus Dispora adalah masalah akuntabilitas; kasus jaksa gadungan menunjukkan masalah integritas dan kerentanan moral pejabat. Pejabat yang rentan suap, bahkan dari penipu, adalah risiko besar bagi instansi vital seperti pendidikan. Ini membuktikan bahwa mekanisme pengawasan karir di Pemkab OKI lumpuh total,” tambahnya.

Tantangan Bagi Kejaksaan

Saat ini, bola panas berada di tangan Kejaksaan Negeri OKI. Vonis yang secara eksplisit menyebut tindak pidana dilakukan secara bersama-sama adalah dasar yuridis yang kuat. Putusan ini, ditambah dengan fakta baru mengenai dugaan suap kepada oknum jaksa gadungan, membuka pintu bagi pengembangan penyidikan guna mengusut sejauh mana peran dan kelalaian pejabat yang berada di level komando, termasuk Pengguna Anggaran.

Kepala Kejaksaan Negeri OKI, melalui Kasi Intel, Agung Setiawan SH MH, menyatakan pihaknya akan mempelajari pertimbangan majelis hakim terlebih dahulu untuk menentukan sikap dalam waktu yang telah ditentukan.

Jika Kejaksaan memilih untuk tidak melakukan pengembangan, maka kasus ini akan dicatat sebagai kegagalan sistem dalam menegakkan keadilan secara utuh. Keadilan sejati menuntut pemeriksaan tuntas atas seluruh rantai pertanggungjawaban keuangan Dispora OKI, terlepas dari keberhasilan pemulihan aset negara.

(dhi)

NUSALY Channel

Dapatkan kabar pilihan editor dan breaking news di Nusaly.com WhatsApp Channel. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Exit mobile version