Politik

Revolusi Pemilu, Menggugat Dikotomi KPU dan Bawaslu, Menanti Lahirnya Badan Penyelenggara Pemilu

Revolusi Pemilu, Menggugat Dikotomi KPU dan Bawaslu, Menanti Lahirnya Badan Penyelenggara Pemilu
Revolusi Pemilu, Menggugat Dikotomi KPU dan Bawaslu, Menanti Lahirnya Badan Penyelenggara Pemilu

Palembang, Nusaly.com – Wacana penggabungan KPU dan Bawaslu menjadi satu lembaga baru bernama Badan Penyelenggara Pemilu (BPP) mengemuka. Ide revolusioner ini digagas oleh pengamat politik Sumatera Selatan, Drs. Bagindo Togar Butar Butar, yang melihat potensi besar dalam menyederhanakan dan meningkatkan efisiensi penyelenggaraan pemilu di Indonesia.

Bayangkan jika di negara kita Indonesia di mana hiruk-pikuk pemilu tak lagi diwarnai drama perseteruan antara dua lembaga penyelenggara. Bayangkan sebuah sistem di mana pengawasan dan pelaksanaan pemilu berjalan mulus dalam satu tarikan napas, tanpa tumpang tindih kewenangan atau saling tuding. Mungkinkah KPU dan Bawaslu Bersatu?

Pengamat politik Sumatera Selatan, Drs. Bagindo Togar Butar Butar, meyakini bahwa mimpi ini bisa jadi kenyataan. Ia melempar wacana radikal: membubarkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), lalu menyatukannya dalam satu wadah baru bernama Badan Penyelenggara Pemilu (BPP). Usulan ini sontak mengguncang panggung politik, memicu perdebatan sengit, sekaligus membuka peluang untuk reformasi besar-besaran dalam sistem demokrasi kita.

Mengapa BPP? Mendiagnosis Penyakit Kronis Penyelenggaraan Pemilu

Bagi Bagindo Togar, dualisme KPU dan Bawaslu adalah akar dari berbagai masalah yang membelit pemilu kita. Kedua lembaga ini, meski memiliki mandat yang berbeda, kerap kali terlibat dalam tarik-menarik kewenangan.

KPU sibuk menyelenggarakan pemilu, sementara Bawaslu sibuk mengawasi, namun seringkali keduanya justru saling tumpang tindih dan berbenturan.

“Seperti dua kapten dalam satu kapal, masing-masing punya komando sendiri. Akibatnya, kapal oleng, penumpang bingung, dan tujuan pelayaran jadi tak jelas,” ujar Bagindo dengan nada getir.

Konflik internal ini bukan hanya menghambat kinerja, tetapi juga memboroskan anggaran. Dana besar yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kualitas pemilu justru habis untuk membiayai dua lembaga yang fungsinya bisa jadi digabungkan. Belum lagi potensi konflik kepentingan yang bisa muncul dari dualisme ini.

“BPP adalah obat mujarab untuk menyembuhkan penyakit kronis ini. Dengan menyatukan KPU dan Bawaslu, kita bisa menciptakan sistem pemilu yang lebih sederhana, efisien, dan akuntabel,” tegas Bagindo Togar.

BPP: Bukan Sekadar Merger, Tapi Rekonstruksi Total

BPP bukan sekadar menggabungkan KPU dan Bawaslu, melainkan merombak total struktur dan mekanisme kerja kedua lembaga. BPP akan terdiri dari 7 komisioner terpilih, dengan pembagian tugas yang jelas dan transparan.

Empat komisioner akan fokus pada penyelenggaraan pemilu, mulai dari pendaftaran pemilih hingga penghitungan suara.

Tiga komisioner lainnya akan fokus pada pengawasan, memastikan setiap tahapan pemilu berjalan sesuai aturan dan bebas dari kecurangan.

Anggaran BPP akan dikelola secara terpusat oleh sekretariat pemerintah, bukan komisioner. Hal ini untuk mencegah penyalahgunaan anggaran dan memastikan penggunaan dana yang tepat sasaran.

Selain itu, Bagindo mengusulkan syarat minimal S2 untuk tingkat pusat dan S1 untuk tingkat kabupaten/kota. Proses seleksi akan meniru rekrutmen CPNS, dengan berbagai tahapan seperti ujian tertulis, wawancara, dan penilaian rekam jejak.

“Kita butuh komisioner yang benar-benar kompeten dan berintegritas, bukan sekadar bagi-bagi kursi,” tegas Bagindo.

“Mereka haruslah orang-orang terbaik yang memiliki komitmen kuat terhadap demokrasi dan siap bekerja keras untuk mewujudkan pemilu yang berkualitas.” imbuhnya.

Mimpi atau Realita? Menimbang Untung-Rugi BPP

Usulan Bagindo Togar tentu saja bukan tanpa risiko. Salah satu tantangan terbesar adalah resistensi internal dari KPU dan Bawaslu. Banyak komisioner yang khawatir akan kehilangan posisi dan kekuasaan jika kedua lembaga digabung.

Selain itu, ada juga kekhawatiran bahwa BPP akan menjadi terlalu kuat dan sulit diawasi. Untuk mengatasi hal ini, Bagindo mengusulkan agar BPP tetap diawasi oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang independen.

“DKPP harus diperkuat perannya sebagai pengawas eksternal BPP. Hal ini penting untuk memastikan bahwa BPP tetap akuntabel dan tidak menyalahgunakan kekuasaannya,” ujar Bagindo.

Belajar dari Pengalaman: Mengadopsi Model Koordinasi Lembaga Lain

Bagindo mencontohkan model koordinasi yang sudah berjalan baik di lembaga lain, seperti inspektorat dengan eksekutif, BUMN dengan pengawasnya, kepolisian dengan propam, dan TNI dengan denpom.

“Jika lembaga-lembaga tersebut bisa berkoordinasi dengan baik, mengapa KPU dan Bawaslu tidak?” tanyanya retoris.

Sebuah Taruhan Besar untuk Demokrasi Indonesia

Usulan Bagindo Togar untuk membentuk BPP adalah sebuah taruhan besar. Jika berhasil, BPP bisa menjadi tonggak sejarah dalam reformasi pemilu Indonesia. Namun, jika gagal, BPP bisa menjadi bumerang yang justru memperburuk masalah yang ada.

Oleh karena itu, sebelum memutuskan untuk mengadopsi BPP, perlu dilakukan kajian mendalam dan diskusi publik yang luas. Semua pihak yang berkepentingan harus dilibatkan dalam proses ini, termasuk KPU, Bawaslu, pemerintah, partai politik, akademisi, dan masyarakat sipil.

Namun, satu hal yang pasti: usulan Bagindo Togar telah membuka wacana penting tentang reformasi penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Kita perlu terus berdiskusi dan mencari solusi terbaik untuk menciptakan sistem pemilu yang lebih baik, lebih adil, dan lebih demokratis. ***

NUSALY Channel

Dapatkan kabar pilihan editor dan breaking news di Nusaly.com WhatsApp Channel. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Exit mobile version