Palembang, NUSALY – Jelang Pilkada Palembang 2024, Public Trust Institute (Putin) memprediksi adanya peningkatan standar tarif suara pemilih. Praktik politik uang yang dikenal dengan slogan “NPWP” (Nomor Piro Wani Piro) diyakini akan kembali marak.
Tarif Suara Naik
“Jika saat Pileg lalu tarifnya berkisar antara Rp 150 ribu-Rp 300 ribu, Pilkada nanti diprediksi naik menjadi Rp 200 ribu-Rp 300 ribu. NPWP masih akan berlaku, makanya 2024 ini bisa dikatakan Pemilu paling brutal,” ujar Korwil Public Trust Institute (Putin), Fatkurohman, Selasa (20/8/2024).
Money Politics Tingkatkan Partisipasi, Tapi…
Fatkurohman mengungkapkan bahwa praktik money politics ini menjadi salah satu penyebab meningkatnya partisipasi masyarakat dalam Pemilu tahun ini. Namun, di sisi lain, hal ini juga menurunkan kualitas demokrasi.
“Memang partisipasi pemilih meningkat, tapi kualitas demokrasinya menurun. Itu jadi problem kekinian,” katanya.
Riset: Separuh Lebih Pemilih Mau Terima Uang
Riset yang dilakukan Putin pada Januari 2024 untuk Pileg dan Pilpres 14 Februari lalu menunjukkan bahwa 59% pemilih di Palembang bersedia menerima uang, dan 42% di antaranya bahkan bisa mengubah pilihan mereka karena uang. Persentase ini didasarkan pada jumlah daftar pemilih tetap (DPT) Palembang yang mencapai 1 jutaan orang.
“Artinya separuh lebih dari jumlah pemilih mau menerima uang,” ungkap Fatkurohman. “Ke depan, Pilkada itu akan ditentukan oleh pemilih transaksional yang sebesar 42% dari jumlah DPT 1 jutaan orang tadi.”
Pemilih Transaksional: Mayoritas dari Kalangan Ekonomi Menengah Bawah
Fatkurohman juga menjelaskan bahwa mayoritas pemilih yang tergoda oleh politik uang berasal dari kalangan ekonomi menengah bawah dengan tingkat pendidikan SD hingga SMA.
“Kalau pendidikan tinggi mereka lebih rasional,” katanya.
Politik Transaksional Juga Terjadi di Tingkat Parpol
Politik transaksional tidak hanya terjadi di tingkat pemilih, tetapi juga merambah ke tingkat partai politik. Sejumlah kandidat yang memiliki finansial kuat diduga mampu membeli dukungan Parpol untuk memenuhi syarat pendaftaran. Akibatnya, kandidat lain yang memiliki kapabilitas namun tidak memiliki sumber daya finansial yang cukup kesulitan mendapatkan dukungan.
Kegagalan Kaderisasi Parpol
Kondisi ini, menurut Fatkurohman, menunjukkan adanya kegagalan kaderisasi partai politik. “Di lapangan kita melihat banyak kader Parpol yang punya kapabilitas tapi tak bisa bersaing di Pilkada,” ungkapnya.
Bawaslu Sumsel: Upaya Pencegahan Telah Dilakukan
Ketua Bawaslu Sumsel, Kurniawan, menyatakan bahwa pihaknya telah melakukan berbagai upaya sosialisasi terkait money politics dan dampaknya terhadap kepemimpinan kepala daerah hasil Pilkada yang curang.
“Sudah banyak upaya Bawaslu dalam menyosialisasikan pencegahan potensi politik uang. Aturan larangan politik uang dan sanksi pidana yang bisa didapatkan dan sebagainya,” ujar Kurniawan.
Posko Pengaduan hingga Tingkat Kecamatan
Bawaslu juga telah membentuk posko pengaduan hingga tingkat kecamatan untuk menerima laporan dari masyarakat terkait praktik politik uang.
“Kita juga punya posko pengaduan hingga tingkat kecamatan jika masyarakat menemukan kecurangan silakan lapor,” tukasnya.
Fenomena money politics atau politik uang menjadi ancaman serius bagi kualitas demokrasi di Pilkada Palembang 2024. Praktik ini tidak hanya merusak integritas pemilu, tetapi juga dapat menghasilkan pemimpin yang tidak kompeten dan hanya mementingkan kepentingan pribadi atau kelompoknya.
Semua pihak, termasuk masyarakat, partai politik, dan penyelenggara pemilu, harus bekerja sama untuk mencegah dan memberantas praktik money politics agar Pilkada Palembang 2024 dapat menghasilkan pemimpin yang berkualitas dan amanah. ***
NUSALY Channel
Dapatkan kabar pilihan editor dan breaking news di Nusaly.com WhatsApp Channel. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.