Pemprov Sumsel 1000x250 Pemkab Muba 1000x250
Hukum

Sidang Korupsi Jalan Ogan Ilir Ungkap Dugaan Pemalsuan Tanda Tangan Putri Terdakwa dan Pengaturan Pemenang Lelang

×

Sidang Korupsi Jalan Ogan Ilir Ungkap Dugaan Pemalsuan Tanda Tangan Putri Terdakwa dan Pengaturan Pemenang Lelang

Sebarkan artikel ini

Saksi yang Tercatat sebagai Direktur Perusahaan Pelaksana Proyek Bersaksi Tak Tahu Menahu Jabatan dan Sebut Tanda Tangannya Palsu; Kerugian Negara Capai Ratusan Juta Rupiah.

Sidang Korupsi Jalan Ogan Ilir Ungkap Dugaan Pemalsuan Tanda Tangan Putri Terdakwa dan Pengaturan Pemenang Lelang
Persidangan kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam proyek peningkatan jalan pada Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Ogan Ilir untuk tahun anggaran 2018-2021. Foto: Dok. Sumeks.co

Ogan Ilir, NUSALY — Persidangan kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam proyek peningkatan jalan pada Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Ogan Ilir untuk tahun anggaran 2018-2021 terus bergulir, mengungkap tabir dugaan penyimpangan serius.

Dalam agenda persidangan yang digelar pada hari ini, Selasa (22/4/2025), terungkap adanya dugaan pemalsuan tanda tangan hingga pengaturan pemenang lelang proyek yang diduga menjadi penyebab kerugian negara hingga ratusan juta rupiah.

Dalam sidang kali ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Ogan Ilir menghadirkan sebanyak delapan orang saksi.

Para saksi tersebut terdiri dari anggota tim Kelompok Kerja (Pokja) pengadaan barang dan jasa serta saksi bernama Wanda, yang diketahui merupakan anak dari salah satu terdakwa dalam perkara ini, yaitu terdakwa Ali Irawan.

Saksi Wanda dihadirkan karena ia tercatat sebagai Direktur dari CV Musi Persada Lestari (MPL), perusahaan yang bertindak sebagai pelaksana proyek peningkatan jalan tersebut. Persidangan dipimpin oleh majelis hakim yang diketuai oleh Masriati SH MH.

Di hadapan majelis hakim, saksi Wanda banyak dicecar dengan pertanyaan mengenai struktur jabatannya dalam perusahaan pelaksana proyek. Hakim anggota melontarkan pertanyaan langsung terkait statusnya.

“Sebagaimana dakwaan disebutkan saksi Wanda sebagai direktur CV MPL selaku pemenang lelang proyek, benarkah?” tanya hakim anggota, merujuk pada keterangan dalam surat dakwaan Jaksa.

Pengakuan Mengejutkan Saksi: Tak Tahu Jabatan, Tanda Tangan Palsu

Jawaban dari saksi Wanda di persidangan cukup mengejutkan. Ia menjawab bahwa dirinya sama sekali tidak mengetahui menahu soal struktur jabatan atau posisinya sebagai Direktur di perusahaan pelaksana proyek, CV MPL.

Pengakuan Wanda ini beralasan, sebab ia menyatakan saat ini dirinya masih berstatus sebagai pelajar atau masih menempuh pendidikan.

Bahkan, saksi Wanda mengaku baru mengetahui adanya nama dan jabatannya sebagai Direktur perusahaan tersebut saat ia turut dipanggil dan diperiksa oleh tim penyidik Kejari Ogan Ilir dalam proses penyelidikan kasus ini.

“Baru tahu saat saya dipanggil dan diperiksa penyidik tentang jabatan sebagai Direktur itu,” ungkap saksi Wanda, menunjukkan bahwa ia tidak pernah merasa mengetahui atau menjalankan peran sebagai direktur perusahaan.

Lebih parah lagi, saksi Wanda juga membeberkan bahwa ayahnya, terdakwa Ali Irawan, yang ia tahu bekerja sebagai petani, juga tidak pernah memberitahukan kepadanya mengenai status dirinya sebagai direktur CV MPL atau keterlibatannya dalam proyek tersebut.

Puncak pengakuan mengejutkan dari saksi Wanda adalah ketika ia ditanya mengenai dokumen kontrak proyek. Wanda dengan tegas membantah bahwa ia pernah merasa menandatangani kontrak kerja sebagai pemenang lelang proyek peningkatan jalan tersebut atas nama jabatannya sebagai Direktur CV MPL.

“Saya tidak pernah merasa tanda tangan, Pak. Tiba-tiba ada tanda tangan itu, saya tidak tahu. Itu palsu, Pak,” ungkapnya lagi, menunjuk adanya dugaan pemalsuan tanda tangan dirinya dalam dokumen resmi proyek.

Ketika ditanya siapa yang mungkin melakukan tanda tangan tersebut, Wanda memberikan indikasi. “Ayah saya sepertinya yang tanda tangan itu semua, Pak,” tambahnya, menunjuk kepada terdakwa Ali Irawan.

Pengakuan saksi Wanda ini mengindikasikan adanya praktik penggunaan nama orang lain (nominee) dan pemalsuan dokumen dalam proses lelang dan pelaksanaan proyek, yang diduga dilakukan oleh pihak-pihak terkait, termasuk salah satu terdakwa.

Proyek dan Penyimpangan yang Dituduhkan JPU

Dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), terungkap bahwa kasus korupsi ini berawal dari proyek peningkatan jalan Ruas Kuang Dalam-Beringin yang dilaksanakan pada tahun 2019.

Proyek ini dianggarkan dengan nilai yang cukup besar, yaitu sebesar Rp2 miliar, yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Ogan Ilir.

Terdakwa Juni Eddy, yang dalam proyek ini bertindak selaku pengguna anggaran, didakwa oleh JPU tidak melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam pengelolaan keuangan negara dan pengadaan barang/jasa pemerintah.

Ia juga didakwa tidak melakukan pengawasan dan pemeriksaan secara cermat terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh CV Musi Persada Lestari selaku pelaksana proyek.

Lebih lanjut, JPU menduga bahwa terdakwa Juni Eddy telah mengarahkan pemenang lelang dalam proses pengadaan proyek ini, yang seharusnya dilakukan secara objektif dan kompetitif. Selain itu, ia juga didakwa tidak melaporkan kemajuan fisik proyek secara benar dan sesuai dengan kondisi di lapangan.

Penyimpangan dalam pelaksanaan proyek juga terungkap berdasarkan laporan hasil pemeriksaan dari ahli konstruksi yang dihadirkan dalam penyidikan.

Ahli konstruksi menemukan bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh pelaksana proyek tidak sesuai dengan volume dan spesifikasi yang tertuang dalam kontrak. Kekurangan volume terjadi pada pekerjaan penyiapan badan jalan dan pekerjaan lapis pondasi agregat kelas B.

Secara spesifik, ketebalan lapis pondasi agregat kelas B yang seharusnya terpasang dengan ketebalan minimal 15 cm berdasarkan spesifikasi teknis, ternyata di lapangan hanya terpasang dengan ketebalan antara 3 cm hingga 6 cm saja.

Ketebalan ini jauh di bawah standar minimum dan melebihi batas toleransi maksimal yang diperbolehkan dalam kontrak (batas toleransi maksimal seharusnya hanya 2 cm).

Ahli konstruksi juga menemukan adanya material yang digunakan tidak sesuai spesifikasi berdasarkan hasil analisa laboratorium terhadap material yang diayak dengan saringan ukuran 0,075 mm, 25 mm, dan 37,5 mm.

Kerugian Negara dan Ancaman Pidana Korupsi

Akibat dari perbuatan para terdakwa, yaitu Ali Irawan (selaku pihak pelaksana) dan Juni Eddy (selaku pengguna anggaran) dalam pengelolaan dan pelaksanaan proyek peningkatan jalan tersebut, negara diduga mengalami kerugian keuangan. Berdasarkan hasil perhitungan ahli dan tim penyidik, kerugian negara dalam perkara ini mencapai angka Rp894.078.082,05.

Atas perbuatannya, terdakwa Ali Irawan dan Juni Eddy didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Pasal 2 dan 3 UU Tipikor mengatur mengenai perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara, sementara Pasal 55 KUHP mengatur mengenai penyertaan atau bersama-sama melakukan tindak pidana. Ancaman pidana bagi para terdakwa dalam perkara korupsi ini cukup berat.

Persidangan kasus korupsi peningkatan jalan di Ogan Ilir ini menjadi penting dalam upaya penegakan hukum terhadap penyalahgunaan anggaran publik dan memastikan akuntabilitas dalam pelaksanaan proyek infrastruktur.

Pengakuan saksi yang mengejutkan mengenai dugaan pemalsuan tanda tangan dan praktik nominee menambah kompleksitas dan bobot pembuktian dalam perkara ini. Persidangan akan dilanjutkan dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi lainnya dan alat bukti lain yang relevan. (wir)

NUSALY Channel

Dapatkan kabar pilihan editor dan breaking news di Nusaly.com WhatsApp Channel. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.