Headline

Menguji Keadilan Digital di Balik Ambisi Verifikasi Wajah dan Risiko Eksklusi Warga Pesisir

×

Menguji Keadilan Digital di Balik Ambisi Verifikasi Wajah dan Risiko Eksklusi Warga Pesisir

Sebarkan artikel ini

Rencana pemerintah menerapkan registrasi kartu SIM berbasis biometrik wajah mulai 2026 menjadi pertaruhan besar bagi kelompok masyarakat rentan. Di wilayah pesisir seperti Tulung Selapan, kebijakan ini tak sekadar soal teknologi, tetapi ancaman hilangnya akses komunikasi bagi pemilik ponsel lawas hingga potensi kebocoran data pribadi yang bersifat permanen.

Menguji Keadilan Digital di Balik Ambisi Verifikasi Wajah dan Risiko Eksklusi Warga Pesisir
Ilustrasi Verifikasi Wajah. Generate by AI

KAYUAGUNG, NUSALY — Langkah pemerintah untuk memperketat keamanan siber melalui sistem verifikasi wajah (face recognition) dalam pendaftaran kartu SIM per 1 Januari 2026 memicu gelombang kekhawatiran di akar rumput.

Di tengah ambisi memutus rantai penipuan digital, kebijakan ini dihantui oleh realitas kesenjangan infrastruktur yang menganga. Bagi warga di pelosok pesisir, aturan ini bisa menjadi “tembok tinggi” yang memutus hak dasar mereka untuk berkomunikasi.

Di Desa Simpang Tiga Makmur, Kecamatan Tulung Selapan, Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, teknologi canggih terasa seperti cerita dari dunia lain.

Desa seluas 279,95 kilometer persegi ini terletak di ujung tenggara kabupaten, berbatasan langsung dengan perairan laut dan dikelilingi rimbunnya hutan mangrove.

Dengan jarak tempuh mencapai 175 kilometer dari ibukota kabupaten, akses informasi di desa ini adalah kemewahan yang sulit didapat.

Sudarman (58), salah satu warga desa, menunjukkan ponsel tombol miliknya yang sudah kusam. Ponsel itu tidak memiliki fitur kamera, apalagi kemampuan memproses verifikasi biometrik.

“Di sini sinyal saja susah dicari, sering hilang sama sekali. Sekarang muncul aturan baru harus pindai wajah. Bagaimana kami yang tidak punya HP canggih ini bisa tetap punya nomor telepon? Masa orang kecil dipaksa beli HP baru jutaan rupiah hanya supaya kartunya bisa aktif?” keluh Sudarman saat ditemui di sela kesibukannya memantau pasang surut air laut, Jum’at (26/12/2025).

Berdasarkan data tahun 2023, Desa Simpang Tiga Makmur yang berpenduduk 1.475 jiwa ini memang tidak memiliki menara telepon seluler (BTS) satu pun. Kekuatan sinyal di wilayah ini tercatat sangat lemah, bahkan sering kali nihil.

Kondisi geografis yang ekstrem dan jarak 100 kilometer dari pusat kecamatan membuat penetrasi teknologi smartphone sangat rendah.

Fenomena ini menjadi bukti nyata bahwa pendekatan kebijakan digital yang seragam di seluruh Indonesia berpotensi mengabaikan realitas masyarakat di wilayah pesisir yang terisolasi secara digital.

Ancaman Terhentinya Ekonomi Mikro di Perdesaan

Kebijakan ini juga mengirimkan sinyal bahaya bagi para pelaku ekonomi mikro. Wiwik (36), seorang penjual kartu SIM di wilayah Tulung Selapan, mengungkapkan kecemasannya terhadap keberlangsungan usahanya yang selama ini mengandalkan transaksi dari warga lokal.

“Masyarakat di sini kalau beli kartu SIM itu minta bantuan kita untuk registrasi lewat SMS. Banyak pelanggan saya yang hanya punya HP jadul. Kalau nanti diwajibkan scan wajah, sistemnya pasti butuh aplikasi berat dan sinyal internet yang kencang. Padahal di Tulung Selapan ini sinyalnya tidak stabil. Penjualan kartu pasti mati total kalau prosedurnya serumit itu bagi orang kampung,” ungkap Wiwik.

Kerepotan teknis bagi penjual pulsa di kampung-kampung menjadi isu strategis yang luput dari pembahasan pemerintah.

Baca juga  4 Pelaku Pengeroyokan Tewaskan Madrasah di OKI Ditangkap: Tewas Ditusuk Sajam dan Diinjak

Jika operator seluler mewajibkan verifikasi wajah tanpa opsi manual, maka ribuan UMKM seluler di pelosok terancam kehilangan omzet secara drastis karena konsumen enggan menghadapi birokrasi digital yang rumit.

Selain itu, biaya investasi perangkat verifikasi bagi penjual kecil tentu akan membebani margin keuntungan mereka yang sudah tipis.

Belajar dari Tragedi Kebocoran Data Dukcapil

Selain persoalan akses fisik, bayang-bayang keamanan data pribadi menjadi isu paling krusial yang disorot oleh para ahli.

Pakar keamanan siber dari Vaksincom, Alfons Tanujaya, mengingatkan agar pemerintah tidak melupakan preseden buruk kebocoran data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil) pada 2023.

Sebanyak 337 juta data kependudukan, mulai dari NIK hingga nomor akta nikah, dilaporkan dijual di forum daring.

“Kalau sistemnya dibobol atau tumbang (down), itu harus menjadi perhatian khusus mengingat pengalaman sebelumnya di mana data kependudukan bocor dengan gegap gempita dan dieksploitasi penipu sampai hari ini,” kata Alfons.

Ia menilai, memaksakan teknologi pengenalan wajah di atas fondasi perlindungan data yang masih rapuh hanyalah langkah yang berisiko tinggi bagi kedaulatan data warga negara.

Alfons juga menyoroti inefisiensi yang mungkin timbul dari sisi teknis sistem. Pengalamannya sendiri menunjukkan bahwa verifikasi wajah sering kali gagal karena ketidakcocokan data dengan foto KTP lama hasil perekaman tahun 2014 yang kualitas gambarnya relatif rendah dan beresolusi kecil.

“Karena saya melakukan verifikasi wajah bank dengan data foto KTP yang ada gagal berkali-kali. Bukannya memudahkan, malah menambahkan birokrasi dan inefisiensi yang tidak perlu,” tambahnya.

Hal ini dipertegas oleh Alamsyah Saragih, Komisioner Ombudsman RI periode 2016–2021. Alamsyah menekankan bahwa data biometrik memiliki karakter yang sangat berbeda dengan kata sandi (password) konvensional.

“Biometrik bukan password yang bisa diganti secara berkala. Sekali wajah Anda terekam dan bocor, data itu akan melekat seumur hidup. Tidak bisa diperbaiki dan bisa disalahgunakan oleh penipu berkali-kali,” ujar Alamsyah dengan nada memperingatkan.

Risiko ini bersifat permanen karena biometrik melekat pada fisik manusia secara genetik dan anatomis.

Dilema Infrastruktur 2G dan Wilayah Terpencil

Kekhawatiran terhadap wilayah 3T didukung oleh data Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi). Hingga tahun 2023, masih terdapat 154.416 infrastruktur BTS 2G yang tersebar di 34 provinsi.

Sebagian besar perangkat ini berada di wilayah terpencil yang hanya mampu melayani panggilan suara dan SMS sederhana. Keberadaan teknologi ini menunjukkan bahwa transisi menuju 4G atau 5G belum merata secara nasional.

Direktur Eksekutif ICT Institute, Heru Sutadi, menyatakan bahwa penetrasi smartphone yang belum merata dan literasi digital yang rendah menjadi tantangan utama yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan regulasi.

“Ada keterbatasan akses biometrik di wilayah-wilayah tertentu. Jika ini tidak dimitigasi dengan baik melalui infrastruktur pendukung, kebijakan ini justru akan menjadi sumber kekacauan publik,” kata Heru.

Ia mengusulkan agar pemerintah menerapkan pendekatan asimetris. Artinya, regulasi tidak boleh dipukul rata untuk semua wilayah tanpa melihat kesiapan sarana.

Baca juga  Waspada Penyalahgunaan Data Biometrik, Kominfo Blokir Worldcoin dan WorldID

Untuk desa-desa terpencil seperti Simpang Tiga Makmur, pemerintah seharusnya menyediakan opsi registrasi offline di tingkat kecamatan atau desa dengan perangkat pemindai portabel, serta memberikan masa adaptasi yang jauh lebih panjang bagi warga lokal.

Heru juga mewanti-wanti adanya risiko exclusion error, yaitu kondisi di mana warga negara yang sah secara hukum kehilangan hak atas layanan komunikasi bukan karena kesalahan mereka, melainkan karena sistem biometrik yang gagal mengenali identitas mereka.

Hal ini mencakup kelompok rentan seperti lansia yang sidik jarinya sudah memudar atau wajahnya mengalami perubahan signifikan dibandingkan data e-KTP lama.

“Verifikasi wajah tidak boleh menjadi satu-satunya mekanisme. Harus ada kanal pengaduan dan eskalasi layanan yang sederhana bagi warga yang terkendala sistem,” jelasnya.

Menuju Transisi 2026: Keamanan atau Peminggiran?

Pemerintah berencana menjalankan masa transisi secara hybrid mulai 1 Januari hingga akhir Juni 2026. Dalam periode ini, registrasi berbasis wajah bersifat sukarela. Namun, per 1 Juli 2026, seluruh pelanggan baru diwajibkan menggunakan mekanisme ini secara penuh tanpa pengecualian.

Implementasi kebijakan ini pada akhirnya menjadi batu uji bagi komitmen inklusivitas digital nasional. Keamanan siber memang mendesak untuk menekan angka kriminalitas digital yang kian canggih dan menjadikan nomor seluler sebagai gerbang utama berbagai modus penipuan.

Namun, upaya tersebut tidak boleh dibayar dengan pengorbanan data pribadi yang bersifat permanen atau peminggiran hak warga seperti Sudarman di pelosok pesisir OKI.

Prinsip minimisasi data (data minimization) harus diterapkan secara ketat. Operator seluler tidak boleh diberikan kewenangan untuk menyimpan ulang data biometrik wajah dalam peladen mereka.

Mekanisme yang ideal adalah verifikasi satu-ke-satu (1:1 matching) yang terhubung langsung ke basis data terpusat milik pemerintah. Tanpa pengawasan ketat, pengumpulan data wajah secara masif oleh perusahaan swasta telekomunikasi justru akan menjadi ladang baru bagi eksploitasi data di masa depan.

Negara memiliki kewajiban untuk menyediakan jaminan keamanan yang paripurna sebelum mengambil data biologis rakyatnya. Kegagalan dalam memitigasi risiko keamanan hanya akan meruntuhkan kepercayaan publik terhadap ekosistem digital yang sedang dibangun.

Selain itu, kesiapan infrastruktur di wilayah pesisir harus dipercepat agar digitalisasi tidak hanya dinikmati oleh warga di pusat kota.

Transformasi digital yang sesungguhnya harus membawa keadilan, bukan sekadar memindahkan kerumitan birokrasi ke ruang virtual yang tidak terjangkau oleh semua lapisan.

Negara berkewajiban menjamin bahwa setiap warganya, baik yang berada di pusat kota maupun di bibir pantai mangrove Tulung Selapan, tetap memiliki hak yang sama untuk terhubung.

Kesuksesan kebijakan ini di tahun 2026 tidak akan diukur dari seberapa banyak wajah yang berhasil terekam dalam sistem, melainkan dari seberapa mampu pemerintah melindungi hak akses masyarakat yang paling rentan terhadap isolasi digital.

Keadilan digital harus menjadi panglima dalam setiap perumusan kebijakan di era otomatisasi ini.

(dhi)

NUSALY Channel

Dapatkan kabar pilihan editor dan breaking news di Nusaly.com WhatsApp Channel. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.